Jumat, 11 September 2009

Anak 18 : Puasa (1)

Di dalam Kitabu ash-Shoum Imam Bukhory meriwayatkan hadist dari jalur Abu Hurairah r.a sebagai berikut. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : Sesungguhnya Rasululloh SAW telah bersabda : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.”

Di dalam Kitaabu al-Adaab Imam Bukhory jua merilis hadist serupa, hanya ada sedikit tambahan yaitu al-jahla. Selengkapnya arti hadist tersebut sebagai berikut. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW ia bersabda : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan serta tindakan bodoh (jahil), maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.”

Hari pertama puasa kemarin istri saya bercerita. Sambil meninabobokkan dari dalam rumah, istri saya menyimak pembicaraan anak-anak yang bermain di teras depan rumah. Maklum, karena awal puasa biasanya anak sekolah libur. Dan untuk mengisi waktu luang, pagi buta mereka udah ngumpul sambil ngrumpi ngalor – ngidul dan bermain ala kadarnya. Maklum, namanya juga bocah. Nah, dari obrolan mereka terekam dialog yang membuat kita orang yang tua-tua pengin ketawa.

Pada awalnya mereka berbicara perihal dirinya. Tepatnya ’nyombong’ kalau dirinya mengerjakan puasa. Tapi, sebentar kemudian ada yang tersinggung karena rebutan mainan atau tindakan yang lain. Akhirnya keluarlah kata umpatan. ”Bego loh!”
Anak yang lebih besar mengingatkan, ”Hey, puasa – puasa nggak boleh ngomong bego.”
Anak yang lain nimpali, ”Batal loh puasanya......”
Tapi si anak yang diingatkan ternyata nggak ngerti apa hubungan puasa dengan umpatan bego. Karena biasanya nggak ada yang melarang. Makanya anak yang merasa sudah mengerti berlagak menjelaskan. Katanya, ”Orang yang puasa nggak boleh ngomong bego, tololll,,,,,!”

Istri saya tertawa cekikikan demi mendengar penjelasan itu. Ngomong bego tidak boleh, tapi malah pakai tolol segala. Setali tiga uang. Itulah anak – anak.

Bagi kita yang sudah baligh dan dewasa tidak ada permasalahan dengan menahan lapar dan dahaga berpuasa. Terkadang yang susah adalah menahan diri dari perkataan dusta dan perbuatan dusta seperti hadist di atas. Apalagi yang kesehariannya sudah menganggap biasa hal-hal itu. Sungguh mengkhawatirkan. Sebab ancamannya tidak lain adalah tidak diterimanya puasa kita. Sayang bukan?

Bagaimana dengan jahla atau jahil? Untuk menjelaskan dan memahami kalimat ini simaklah Surat Al-Baqoroh ayat 67, yaitu ketika Nabi Musa berdoa kepada Allah agar tidak termasuk orang yang bodoh. Ketika itu, Bani Isroil disuruh oleh Allah untuk menyembelih sapi, namun mereka pepeko, seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya, yaitu ayat 69 – 71. Termasuk dalam katagori ini – bodoh – adalah mengerjakan larangan – larangan seperti ngrasani dan menghina (ngenyek) atau perbuatan lain selain perkataan dan perbuatan dusta.

Nah, jika belum bisa melaksanakan hadist di atas berarti puasa kita setingkat dengan puasa anak – anak dong? Padahal kita-kita ini udah dewasa? Ya, itulah garisnya. Tapi itu belum seberapa. Yang menyedihkan adalah jika Allah tidak menerima puasa kita. Karena kita benar-benar tidak bisa meninggalkannya. Oleh karena itu, mari waspadai puasa kita. Hindari hal di atas.

Oleh :Faizunal Abdillah

Rabu, 02 September 2009

Sekilas Tokoh "Imam Tirmidzi"


Imam Tirmidzi

Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.

Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."

Nama dan kelahirannya

Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

Perkembangan dan lawatannya

Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.

Wafat

Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.

Guru-gurunya

Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.

Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.

Murid-muridnya

Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Kekuatan Hafalannya

Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:

"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."

Pandangan para kritikus hadits

Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolongkan Tirmizi ke dalam kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama."

Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.

Fiqh Tirmizi dan Ijtihadnya

Imam Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.

Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
"Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."

Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu berkata: "apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil." Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: "Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil)." Mereka memakai alasan dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim."
Menurut Ishak, maka perkataan "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim" ini adalah "Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu."

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmizi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.

Karya-karyanya

Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab Al-‘Ilal
3. Kitab At-Tarikh
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
5. Kitab Az-Zuhd
6. Kitab Al-Asma’ wal-Kuna

Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.

Sekilas tentang Al-Jami’

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.

Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.

Setelah selesai menyusun kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."

Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.

Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:

1. "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."

2. "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."

Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.

Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

oleh :Teguh Prayogo

Minggu, 30 Agustus 2009

Disayang atau Dilaknat Al Qur’an?

Ambil Al-Quran yang sehari-hari dipakai mengaji. Lalu buka lembar demi lembar. Selamat, bagi yang sudah lancar membaca Al-Quran alias ”Qori” dan sudah khatam bacaan-makna-keterangan. Lalu bagaimana dengan yang makna-keterangan belum khatam, bacaan belum tartil, apalagi yang belum bisa membaca?
Padahal selama hidup sejak aqil baligh, atau sejak insof, sudah ribuan jam waktu dihabiskan untuk membaca (urut abjad): abstracts, artikel, cerbung, cergam, cerpen, diktat, e-book, handbook, jurnal, kamus, komik, koran, majalah, novel, tabloid, textbook, thesaurus dll. Semua orang tahu dalil ini: tolabul ‘ilmi faridlotun ‘alaa kulli muslimin ~ mencari ilmu itu wajib bagi orang muslim. Tetapi ilmu apakah yang wajib dicari?

Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa ilmu yang wajib dicari itu ada tiga, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan Faroidl atau ilmu waris. Selain itu hanyalah keutamaan saja. Belasan tahun sumberdaya enerji, waktu, tenaga, pikiran, dan dana dihabiskan untuk mencari sekian banyak ilmu dunia yang menghasilkan setumpuk ijazah, sementara 3 ilmu yang wajib dicari dan dikuasai yang passsti berakibat terhadap konsekwensi sorga-neraka seseorang, justru diabaikan. Ironis? Nggak lah. Sangka baik kepada Allah ~ husnudzonbillah saja, itu semua terjadi karena kekurang-fahaman atas hadits tadi, bukan karena selainnya. Yang terpenting adalah mengambil langkah-langkah korektif secepatnya.

Kendala Qori
Firman Allah: warottilil qur’aana tartiila ~ dan bacalah Al-Quran dengan tartil, tertib. Suara pun harus terdengar tetapi tidak asbun ~ asal bunyi melainkan harus tepat sesuai makhraj (bunyi keluarnya suara) dari huruf hijaiyyah: alif ba` ta` tsa` dst sampai ya`.
Bagi beberapa etnis orang A’jam (non-Arab), makhroj huruf hijaiyyah saja sudah satu persoalan tersendiri.

Untuk sebagian orang Sunda totok, misalnya, Nauu’dzubillah sulitnya membunyikan fa` yang kerapkali tisoledat ~ tergelincir menjadi pa`. Itu karena rumpun suku Kabayan ini tidak mengenal vocabulary “f” tapi “p”: peuyeum, peureum, peureus,peupeus, peuheur, peungkeur, peureudeuy. So, jangan heran kalau ‘fa-aina’ terdengar jadi ‘pa-aina’, atau bahkan ‘pa-aena’.
Untuk sebagian orang Jawa totok, misalnya lagi, Masya Allah sulitnya membunyikan huruf ‘ain. Maunya ‘ngain terus. Jangan heran kalau sholawat “wa ‘ala ali ibrohim” terdengar ”wa ngala ngali ngibrohim”.

Itu baru huruf hijaiyyah yang adalah ilmu 1 huruf. Ada lagi tajwid atau ilmu 2 huruf, perihal pertemuan 1 huruf dengan 1 huruf lainnya: izh-haar, idghaam, iqlaab, ikhfaa`, qalqalah, madd dan waqaf. Di Indonesia, ada tambahan kendala dimana didalam konvensi literasi huruf hijaiyyah menjadi bahasa Indonesia, bukannya ditulis kho` tapi kha`, `ro tapi `ra, shod tapi shad, dst, dst. Semakin membuat lieur saja, bukan?

Perjalanan Panjang Talaqqi
Belajar membaca Al-Quran adalah perjalanan panjang. Ada yang masih ingat masa kecil dulu ketika masih di level ‘alif-ba-ta’? Saat itu belum ada metoda Iqra temuan KH As’ad Humam. Sepertinya lahiriahnya khusyuk, padahal batiniahnya ketakutan dengan sebatang rotan di tangan ustadz yang siaga-satu siap melayang jika sampai ulangan ke 3 bacaan masih salah.
Belajar sendiri dari kaset atau MP3 player? Tidak bisa. Seperti halnya Fahri didalam “Ayat-Ayat Cinta”. Udara Kairo sepanas apapun tetap ditembusnya demi talaqqi (murid berhadapan langsung) dengan guru bacaan Qiro’ah Sab’ah.

Mengapa? Sebab tanpa talaqqi mana mungkin tahu imalah dimana ditulis “majrooha”, tetapi jika dibaca persis seperti itu, sudah pasti salah. Mana mungkin tahu sakat yang ibarat tombol pause tape atau MP3 player kepencet. Mana mungkin tahu ismam: “laa ta-manna” yang salah-benarnya hanya bisa diketahui dengan mata telanjang, bukan dengan kuping, dst.
Al-Quran bukanlah buku biasa yang siapa saja bisa membacanya tanpa guru. Jibril tidak mengajarkan hijaiyyah dan tajwid kepada Muhammad, kemudian membiarkan Muhammad membaca Al-Quran sendiri.

Al-Quran adalah firman Alloh yang disimpan di Lauh Mahfudz, kemudian disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad kata demi kata, ayat demi ayat. Dimulai dari ’iqro bismirobbikalladzii kholaq’, terus sampai 6.666 ayat, ditutup ‘minal jinnati wannaas’.

Belajar Al Quran haruslah sabar, konsisten dan persisten alias ngotot dalam pengertian positif. Tuh, Rosul saja perlu 23 tahun untuk talaqqi kepada Malaikat. Apalagi kita yang orang A’jam manusia biasa talaqqi kepada guru yang orang A’jam biasa pula.

Bacaan Murottal
Lalu bagaimana dengan kaset dan MP3? Silahkan, tetapi setelah melewati tahap talaqqi. Itu justru sangat bermanfaat untuk mengasah pendengaran, menirukan bacaan dengan makhroj-tajwid yang dipelajari ketika talaqqi, dan mempelajari langgam atau lagu.

Ada bacaan qori Syeikh Abdullah Al Matrud, Abdurrahman As Sudais, Ali Al Khudzaifi, Hani Ar Rifai, Mahmud Al Husori, Misyari Rasyid Al Hafasi, Muhammad Ayub, Sa’ad Al Ghomidi, Su’ud Asy Syuraim. Di Indonesia, ada bacaan qoriah Dra. Hj. Maria Ulfah M.A. www.mariaulfahm.com, dan qori H. Muammar Z.A yang ternyata cukup populer di www.youtube.com.

Sebagai Imam Masjidil Haram, As Sudais dengan suara tenor dan Asy Syuraim dengan suara bariton adalah yang paling populer. Tetapi jika diperhatikan, keduanya memendekkan mad jaiz dari 5 menjadi 2 harakat. Setelah minta pendapat KH Kasmudi Asshidqy yang juga penulis di majalah Nuansa ini, bacaan qori Syeikh Al Ghomidi yang paling pas dengan bacaan hafs di Indonesia.

Alat Bantu: 3-Qori SSG
Dulu, bacaan Al Quran disimpan didalam kaset. Masih terkenang ribet kemana-mana membawa sekotak puluhan kaset. Sekarang dalam format MP3, 30 Juz bisa disimpan dalam 1 keping CD. Kelemahan belajar qiroat dari kaset dan MP3 player, antara lain karena perlu seringnya menekan tombol ”REW” dan ”FF”. Lebih memakan waktu untuk memundur-majukan ayat daripada konsentrasi terhadap belajar qiroat.

Bersyukurlah, saat ini ada Pena Qori, alat digital made in swasta dengan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) yang di launching di MTQ Nasional ke XXII 17 Juni 2008 lalu di Serang, Banten. Dalam suatu demo, mata Pena Qori diarahkan ke ayat-ayat di surat At-Takwir maju-mundur secara acak. Luar bisa kecepatan dan ketepatannya! Hanya dengan menempelkan pena 90 derajat sejarak 0,6 mm dari mushaf ayat 26, terdengarlah suara “Fa aina tadzhabuun” dan terjemahannya “Maka kemanakah kamu akan pergi?”

Resensi banyak media terhadap pena qori digital ini bisa dilihat di www.google.co.id dengan keyword “Pena Digital Fasih Membaca Alquran”. Di kampus IIQ, pena qori digital dijual dengan harga Rp. 1,27 juta, sedangkan di MTQ XXII pena qori dijual dengan harga Rp. 850 ribu. Sampai saat ini baru ada pena qori digital berisikan suara qoriah Maria Ulfah. Sangat praktis, apalagi dilengkapi earphone. Penulis saat ini sedang nego untuk membuat pena digital berisikan suara 3-qori sekaligus Sudais-Syuraim-Ghomidi. Pihak pabrikan setuju. Tetapi karena memakan waktu dan biaya, maka tentu saja ada minimum economics of scale, ada minimum pesanan, Yang bener aja ah, mosok minta dibuatkan pena digital berisi database 19.998 ayat dari 3 orang qori Makkah-Madinah, trus cuma pesen 1 biji! Penulis mengundang para pembaca yang budiman

2 Opsi: Mau Disayang? tau Dilaknat Al Quran?
Fahri bak pahlawan. Dia tidak hidup dengan Siti Nurbaya, zaman sabak. Dia hidup dengan Maria-Aisyah, zaman internet. Dia memberikan pelajaran kepada kita betapa talaqqi tidak bisa tergantikan oleh metoda apapun, tidak dengan kaset, tidak dengan MP3. Dan demi talaqqi, dia terkena meningitis.

Puasa di ambang pintu. Marhaban! Inilah waktu yang tepat untuk talaqqi. Inilah waktu yang pas untuk solat hifdzi. Lalu kebut jadi Qori dengan menggunakan alat bantu mutakhir yang boleh jadi merupakan ‘barang hilangnya’ orang mumin: al hikmatu doollatul mu-miniin.
Sekian tahun menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan dana untuk membaca buku mencari ilmu menuai ijazah, kini tiba saatnya kembali khusyu’ membaca Al-Quran.

Alloohummar hamnaa bil qur’aan
~ Ya Allah, sayangilah kami dengan Al-Quran
Waj’alhu lanaa imaaman wa hudan wa nuuron wa rohmah
~ dan jadikanlah Al Qur’an bagi kami menjadi imam, petunjuk, cahaya, dan rahmat
Alloohumma dzakkirnaa minhu maa nasiinaa
~ Ya Allah, ingatkanlah kami dengan Al Qur’an atas segala apa yang kami lupa
Wa ‘allimnaa minhu maa jahilnaa
~ dan ajarilah dengan Al Quran atas segala apa yang kami bodoh

Rubba qoori-in lil Quraan wal Quraanu yal’anhu ~ Adakalanya orang membaca Al-Quran dan Al-Quran melaknatinya, demikian riwayat sebuah hadits didalam tafsir Haqi dari Aisyah. Jadi kalau yang membaca Al-Quran saja masih diancaman dilaknat Al-Quran, lalu bagaimana dengan yang tidak? Apalagi yang buta baca? Addduhhh! Fa aina tadzhabuun? Sumber: http://nuansaonline.net

Posted by M. Syarifuddin.

Jumat, 21 Agustus 2009

Menyambut Ramadhan --- Marhaban ya Ramadhan


Hingar – bingar menyongsong ramadhan telah terasa. Spanduk dan iklan sudah tertempel di mana – mana. Kegiatan – kegiatan pengiringnya juga tampak di segala penjuru, seperti nyekar (ziarah kubur), bersih – bersih masjid dan asesoris lainnya. Tak kalah juga tayangan televisi pun berubah menjadi ”islami”. Ucapan – ucapan selamat berpuasa dan himbaun yang baik lainnya tertera di sudut – sudut yang enak untuk dibaca mata. Ramadhan big sale! Bulan penuh rahmat. Bulan maghfiroh, penuh berkah dan lain sebagainya.

Tak ketinggalan dengan kita. Selalu ada riuh – rendah menyambutnya. Pengurus selalu melakukan refreshing jelang datangnya bulan mulia ini. Mengkaji ulang ilmu – ilmunya. Meningkatkan nasehat – nasehat bab puasa. Mengingatkan bagi yang punya hutang segera nyahur. Mengingatkan agar bermaaf – maafan sebelumnya. Banyak taubat. Pencanangan 5 sukses yang harus diraih sebagai bench mark ramadhan: sukses puasanya, sukses tarawihnya, sukses i’tikaf dan lailatul qodarnya, sukses baca qurannya dan sukses zakat fitrahnya. Mudah-mudahan ini tidak menjadi rutinitas yang membelenggu. Ramadahan adalah rutinitas tahunan. Sebulan sekali dalam setahun umat islam diwajibkan berpuasa. Yang intinya agar menjadi orang yang taqwa, penuh cinta dan kehambaan pada Yang Kuasa.

Dari berbagai dalil yang sering mengudara di tempat – tempat pengajian, menurut saya ada satu hal yang luput dari perhatian khalayak. Yaitu membedakan antara puasa – shoum dan bulan ramadhan itu sendiri. Sebab, ketika pengertian ini rancu menjadikan kita mati gaya. Puasa adalah amalan ibadah. Dia bisa dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang. Sedangkan ramadhan adalah waktu. Serangkaian hari yang berjumlah 29 atau 30 yang disebut bulan. Waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kelebihan dan keutamaan di dalamnya, yang tidak ada di bulan lain. Di bulan ramadhan diwajibkan puasa, ada lailatul qodar, dilipatkan kebaikan dan keburukannya melebihi bulan lain.

Maka ketika datang waktu yang baik itu, secara otomatis bagi penggiat kebaikan akan bersiap diri, melihat keutamaannya. Bagi para pencari pahala akan bergembira menyambutnya. Bagi para pecinta Tuhan akan segera bergegas mengejarnya. Karena waktu yang barokah, bulan suci yang hanya ada setahun sekali. Karena begitu mulianya bulan ini, maka Allah mewajibkannya mengisi bulan ini dengan cara berpuasa. Maka tersebutlah puasa ramadhan. Sebab puasa adalah amalan yang tiada bandingnya. Allah sendiri yang akan membalas. Puasa berbeda dengan amalan lain. Puasa adalah tameng.
Dari Abu Umamah, r.a., dia berkata, ’Aku berkata, ’Wahai Rasulullah perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ’Berpuasalah karena ia tidak ada yang menyamainya.’ ’Aku berkata, ’Wahai Rasulullah perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ’Berpuasalah karena ia tidak ada yang menyamainya.’ (Rowahu An-Nasa’i)

Sufyan bin Uyainah ditanya tentang firmanNya: ”Setiap amal anak adam itu untuknya kecuali puasa, ia adalah untukKu,” maka dia berkata, ”Pada hari Kiamat Allah menghisap hambanya, dia membayar kedhaliman yang dilakukannya di dunia dari seluruh amal baiknya sehingga ketika yang tersisa adalah puasa, maka Allah menanggung kedhaliman yang tersisa dan memasukkannya ke surga.”

Dari Abu hurairoh ra. Dari Nabiyullah SAW, dia bersabda, ”Puasa itu perisai/tameng dan benteng yang kokoh dari neraka.” (Rowahu Ahmad)

Mudah-mudahan dengan sedikit catatan di atas menjadi jelas bagi kita mengapa orang antusias ketika datang bulan ramadhan. Saking berkahnya di bulan ini ada yang namanya THR, ada mudik, halal – bilhalal dan kebarokahan – kebarokahan yang lain. Nah, bagi para pencari Tuhan mungkin dalil berikut ini pantas untuk direnungkan.

Beliau SAW bersabda, ’Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata, ”Semoga jauh dari surga orang yang mendapatkan ramadhan lalu dia tidak diampuni.” Maka aku berkata, ’Amin.’ (Rowahu Hakim).

Dan hendaknya setiap amalan yang dilakukan di bulan ramadhan ini dilakukan dengan imanan wahtisaban. Semoga kita bisa mengisi full ramadhan ini dengan kebaikan dan kebaikan, mengurangi dan menghilangkan kejelekan. Yaa baghiyal khoir aqbil, wayaa baghiyasy syarri aqshir. Juga maknailah bulan ini sebagai bulan pelatihan bukan bulan ujian atau peperangan. Sebab jin dan syaitan telah dibelenggu oleh Allah. Selama 30 hari latihlah diri kita untuk benar – benar bisa menemukan jalan cinta kepada Allah agar mendapat gelar taqwa. Dengan demikian tak salah jika kita menyapa Marhabban ya ramadhan – selamat datang ramadhan karena memang ia istimewa.

Untuk alasan itu semua, maka ijinkanlah saya mohon maaf jika ada kekurangan dan kekhilafan selama ini. Semoga kita semua bisa menghadapi bulan latihan ini dengan khusyu dan ihsan. Juga, mungkin selama ramadhan, akan banyak berkurang tayangannya, karena lagi melatih diri, meguru, menimba ilmu, mburu target dan mengepolkan kemampuan yang ada. Jika ada waktu dan kesempatan insya allah dengan senang hati akan on air lagi dengan topik – topik berikutnya.

Oleh :Faizunal Abdillah