Jumat, 18 September 2009
Jumat, 11 September 2009
Anak 18 : Puasa (1)
Di dalam Kitabu ash-Shoum Imam Bukhory meriwayatkan hadist dari jalur Abu Hurairah r.a sebagai berikut. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : Sesungguhnya Rasululloh SAW telah bersabda : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.”
Di dalam Kitaabu al-Adaab Imam Bukhory jua merilis hadist serupa, hanya ada sedikit tambahan yaitu al-jahla. Selengkapnya arti hadist tersebut sebagai berikut. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW ia bersabda : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan serta tindakan bodoh (jahil), maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.”
Hari pertama puasa kemarin istri saya bercerita. Sambil meninabobokkan dari dalam rumah, istri saya menyimak pembicaraan anak-anak yang bermain di teras depan rumah. Maklum, karena awal puasa biasanya anak sekolah libur. Dan untuk mengisi waktu luang, pagi buta mereka udah ngumpul sambil ngrumpi ngalor – ngidul dan bermain ala kadarnya. Maklum, namanya juga bocah. Nah, dari obrolan mereka terekam dialog yang membuat kita orang yang tua-tua pengin ketawa.
Pada awalnya mereka berbicara perihal dirinya. Tepatnya ’nyombong’ kalau dirinya mengerjakan puasa. Tapi, sebentar kemudian ada yang tersinggung karena rebutan mainan atau tindakan yang lain. Akhirnya keluarlah kata umpatan. ”Bego loh!”
Anak yang lebih besar mengingatkan, ”Hey, puasa – puasa nggak boleh ngomong bego.”
Anak yang lain nimpali, ”Batal loh puasanya......”
Tapi si anak yang diingatkan ternyata nggak ngerti apa hubungan puasa dengan umpatan bego. Karena biasanya nggak ada yang melarang. Makanya anak yang merasa sudah mengerti berlagak menjelaskan. Katanya, ”Orang yang puasa nggak boleh ngomong bego, tololll,,,,,!”
Istri saya tertawa cekikikan demi mendengar penjelasan itu. Ngomong bego tidak boleh, tapi malah pakai tolol segala. Setali tiga uang. Itulah anak – anak.
Bagi kita yang sudah baligh dan dewasa tidak ada permasalahan dengan menahan lapar dan dahaga berpuasa. Terkadang yang susah adalah menahan diri dari perkataan dusta dan perbuatan dusta seperti hadist di atas. Apalagi yang kesehariannya sudah menganggap biasa hal-hal itu. Sungguh mengkhawatirkan. Sebab ancamannya tidak lain adalah tidak diterimanya puasa kita. Sayang bukan?
Bagaimana dengan jahla atau jahil? Untuk menjelaskan dan memahami kalimat ini simaklah Surat Al-Baqoroh ayat 67, yaitu ketika Nabi Musa berdoa kepada Allah agar tidak termasuk orang yang bodoh. Ketika itu, Bani Isroil disuruh oleh Allah untuk menyembelih sapi, namun mereka pepeko, seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya, yaitu ayat 69 – 71. Termasuk dalam katagori ini – bodoh – adalah mengerjakan larangan – larangan seperti ngrasani dan menghina (ngenyek) atau perbuatan lain selain perkataan dan perbuatan dusta.
Nah, jika belum bisa melaksanakan hadist di atas berarti puasa kita setingkat dengan puasa anak – anak dong? Padahal kita-kita ini udah dewasa? Ya, itulah garisnya. Tapi itu belum seberapa. Yang menyedihkan adalah jika Allah tidak menerima puasa kita. Karena kita benar-benar tidak bisa meninggalkannya. Oleh karena itu, mari waspadai puasa kita. Hindari hal di atas.
Oleh :Faizunal Abdillah
Di dalam Kitaabu al-Adaab Imam Bukhory jua merilis hadist serupa, hanya ada sedikit tambahan yaitu al-jahla. Selengkapnya arti hadist tersebut sebagai berikut. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW ia bersabda : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan serta tindakan bodoh (jahil), maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya.”
Hari pertama puasa kemarin istri saya bercerita. Sambil meninabobokkan dari dalam rumah, istri saya menyimak pembicaraan anak-anak yang bermain di teras depan rumah. Maklum, karena awal puasa biasanya anak sekolah libur. Dan untuk mengisi waktu luang, pagi buta mereka udah ngumpul sambil ngrumpi ngalor – ngidul dan bermain ala kadarnya. Maklum, namanya juga bocah. Nah, dari obrolan mereka terekam dialog yang membuat kita orang yang tua-tua pengin ketawa.
Pada awalnya mereka berbicara perihal dirinya. Tepatnya ’nyombong’ kalau dirinya mengerjakan puasa. Tapi, sebentar kemudian ada yang tersinggung karena rebutan mainan atau tindakan yang lain. Akhirnya keluarlah kata umpatan. ”Bego loh!”
Anak yang lebih besar mengingatkan, ”Hey, puasa – puasa nggak boleh ngomong bego.”
Anak yang lain nimpali, ”Batal loh puasanya......”
Tapi si anak yang diingatkan ternyata nggak ngerti apa hubungan puasa dengan umpatan bego. Karena biasanya nggak ada yang melarang. Makanya anak yang merasa sudah mengerti berlagak menjelaskan. Katanya, ”Orang yang puasa nggak boleh ngomong bego, tololll,,,,,!”
Istri saya tertawa cekikikan demi mendengar penjelasan itu. Ngomong bego tidak boleh, tapi malah pakai tolol segala. Setali tiga uang. Itulah anak – anak.
Bagi kita yang sudah baligh dan dewasa tidak ada permasalahan dengan menahan lapar dan dahaga berpuasa. Terkadang yang susah adalah menahan diri dari perkataan dusta dan perbuatan dusta seperti hadist di atas. Apalagi yang kesehariannya sudah menganggap biasa hal-hal itu. Sungguh mengkhawatirkan. Sebab ancamannya tidak lain adalah tidak diterimanya puasa kita. Sayang bukan?
Bagaimana dengan jahla atau jahil? Untuk menjelaskan dan memahami kalimat ini simaklah Surat Al-Baqoroh ayat 67, yaitu ketika Nabi Musa berdoa kepada Allah agar tidak termasuk orang yang bodoh. Ketika itu, Bani Isroil disuruh oleh Allah untuk menyembelih sapi, namun mereka pepeko, seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya, yaitu ayat 69 – 71. Termasuk dalam katagori ini – bodoh – adalah mengerjakan larangan – larangan seperti ngrasani dan menghina (ngenyek) atau perbuatan lain selain perkataan dan perbuatan dusta.
Nah, jika belum bisa melaksanakan hadist di atas berarti puasa kita setingkat dengan puasa anak – anak dong? Padahal kita-kita ini udah dewasa? Ya, itulah garisnya. Tapi itu belum seberapa. Yang menyedihkan adalah jika Allah tidak menerima puasa kita. Karena kita benar-benar tidak bisa meninggalkannya. Oleh karena itu, mari waspadai puasa kita. Hindari hal di atas.
Oleh :Faizunal Abdillah
Rabu, 02 September 2009
Sekilas Tokoh "Imam Tirmidzi"
Imam Tirmidzi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Nama dan kelahirannya
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."
Pandangan para kritikus hadits
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolongkan Tirmizi ke dalam kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmizi dan Ijtihadnya
Imam Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
"Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu berkata: "apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil." Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: "Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil)." Mereka memakai alasan dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim."
Menurut Ishak, maka perkataan "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim" ini adalah "Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu."
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmizi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab Al-‘Ilal
3. Kitab At-Tarikh
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
5. Kitab Az-Zuhd
6. Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyusun kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
1. "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
2. "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
oleh :Teguh Prayogo
Minggu, 30 Agustus 2009
Disayang atau Dilaknat Al Qur’an?
Ambil Al-Quran yang sehari-hari dipakai mengaji. Lalu buka lembar demi lembar. Selamat, bagi yang sudah lancar membaca Al-Quran alias ”Qori” dan sudah khatam bacaan-makna-keterangan. Lalu bagaimana dengan yang makna-keterangan belum khatam, bacaan belum tartil, apalagi yang belum bisa membaca?
Padahal selama hidup sejak aqil baligh, atau sejak insof, sudah ribuan jam waktu dihabiskan untuk membaca (urut abjad): abstracts, artikel, cerbung, cergam, cerpen, diktat, e-book, handbook, jurnal, kamus, komik, koran, majalah, novel, tabloid, textbook, thesaurus dll. Semua orang tahu dalil ini: tolabul ‘ilmi faridlotun ‘alaa kulli muslimin ~ mencari ilmu itu wajib bagi orang muslim. Tetapi ilmu apakah yang wajib dicari?
Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa ilmu yang wajib dicari itu ada tiga, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan Faroidl atau ilmu waris. Selain itu hanyalah keutamaan saja. Belasan tahun sumberdaya enerji, waktu, tenaga, pikiran, dan dana dihabiskan untuk mencari sekian banyak ilmu dunia yang menghasilkan setumpuk ijazah, sementara 3 ilmu yang wajib dicari dan dikuasai yang passsti berakibat terhadap konsekwensi sorga-neraka seseorang, justru diabaikan. Ironis? Nggak lah. Sangka baik kepada Allah ~ husnudzonbillah saja, itu semua terjadi karena kekurang-fahaman atas hadits tadi, bukan karena selainnya. Yang terpenting adalah mengambil langkah-langkah korektif secepatnya.
Kendala Qori
Firman Allah: warottilil qur’aana tartiila ~ dan bacalah Al-Quran dengan tartil, tertib. Suara pun harus terdengar tetapi tidak asbun ~ asal bunyi melainkan harus tepat sesuai makhraj (bunyi keluarnya suara) dari huruf hijaiyyah: alif ba` ta` tsa` dst sampai ya`.
Bagi beberapa etnis orang A’jam (non-Arab), makhroj huruf hijaiyyah saja sudah satu persoalan tersendiri.
Untuk sebagian orang Sunda totok, misalnya, Nauu’dzubillah sulitnya membunyikan fa` yang kerapkali tisoledat ~ tergelincir menjadi pa`. Itu karena rumpun suku Kabayan ini tidak mengenal vocabulary “f” tapi “p”: peuyeum, peureum, peureus,peupeus, peuheur, peungkeur, peureudeuy. So, jangan heran kalau ‘fa-aina’ terdengar jadi ‘pa-aina’, atau bahkan ‘pa-aena’.
Untuk sebagian orang Jawa totok, misalnya lagi, Masya Allah sulitnya membunyikan huruf ‘ain. Maunya ‘ngain terus. Jangan heran kalau sholawat “wa ‘ala ali ibrohim” terdengar ”wa ngala ngali ngibrohim”.
Itu baru huruf hijaiyyah yang adalah ilmu 1 huruf. Ada lagi tajwid atau ilmu 2 huruf, perihal pertemuan 1 huruf dengan 1 huruf lainnya: izh-haar, idghaam, iqlaab, ikhfaa`, qalqalah, madd dan waqaf. Di Indonesia, ada tambahan kendala dimana didalam konvensi literasi huruf hijaiyyah menjadi bahasa Indonesia, bukannya ditulis kho` tapi kha`, `ro tapi `ra, shod tapi shad, dst, dst. Semakin membuat lieur saja, bukan?
Perjalanan Panjang Talaqqi
Belajar membaca Al-Quran adalah perjalanan panjang. Ada yang masih ingat masa kecil dulu ketika masih di level ‘alif-ba-ta’? Saat itu belum ada metoda Iqra temuan KH As’ad Humam. Sepertinya lahiriahnya khusyuk, padahal batiniahnya ketakutan dengan sebatang rotan di tangan ustadz yang siaga-satu siap melayang jika sampai ulangan ke 3 bacaan masih salah.
Belajar sendiri dari kaset atau MP3 player? Tidak bisa. Seperti halnya Fahri didalam “Ayat-Ayat Cinta”. Udara Kairo sepanas apapun tetap ditembusnya demi talaqqi (murid berhadapan langsung) dengan guru bacaan Qiro’ah Sab’ah.
Mengapa? Sebab tanpa talaqqi mana mungkin tahu imalah dimana ditulis “majrooha”, tetapi jika dibaca persis seperti itu, sudah pasti salah. Mana mungkin tahu sakat yang ibarat tombol pause tape atau MP3 player kepencet. Mana mungkin tahu ismam: “laa ta-manna” yang salah-benarnya hanya bisa diketahui dengan mata telanjang, bukan dengan kuping, dst.
Al-Quran bukanlah buku biasa yang siapa saja bisa membacanya tanpa guru. Jibril tidak mengajarkan hijaiyyah dan tajwid kepada Muhammad, kemudian membiarkan Muhammad membaca Al-Quran sendiri.
Al-Quran adalah firman Alloh yang disimpan di Lauh Mahfudz, kemudian disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad kata demi kata, ayat demi ayat. Dimulai dari ’iqro bismirobbikalladzii kholaq’, terus sampai 6.666 ayat, ditutup ‘minal jinnati wannaas’.
Belajar Al Quran haruslah sabar, konsisten dan persisten alias ngotot dalam pengertian positif. Tuh, Rosul saja perlu 23 tahun untuk talaqqi kepada Malaikat. Apalagi kita yang orang A’jam manusia biasa talaqqi kepada guru yang orang A’jam biasa pula.
Bacaan Murottal
Lalu bagaimana dengan kaset dan MP3? Silahkan, tetapi setelah melewati tahap talaqqi. Itu justru sangat bermanfaat untuk mengasah pendengaran, menirukan bacaan dengan makhroj-tajwid yang dipelajari ketika talaqqi, dan mempelajari langgam atau lagu.
Ada bacaan qori Syeikh Abdullah Al Matrud, Abdurrahman As Sudais, Ali Al Khudzaifi, Hani Ar Rifai, Mahmud Al Husori, Misyari Rasyid Al Hafasi, Muhammad Ayub, Sa’ad Al Ghomidi, Su’ud Asy Syuraim. Di Indonesia, ada bacaan qoriah Dra. Hj. Maria Ulfah M.A. www.mariaulfahm.com, dan qori H. Muammar Z.A yang ternyata cukup populer di www.youtube.com.
Sebagai Imam Masjidil Haram, As Sudais dengan suara tenor dan Asy Syuraim dengan suara bariton adalah yang paling populer. Tetapi jika diperhatikan, keduanya memendekkan mad jaiz dari 5 menjadi 2 harakat. Setelah minta pendapat KH Kasmudi Asshidqy yang juga penulis di majalah Nuansa ini, bacaan qori Syeikh Al Ghomidi yang paling pas dengan bacaan hafs di Indonesia.
Alat Bantu: 3-Qori SSG
Dulu, bacaan Al Quran disimpan didalam kaset. Masih terkenang ribet kemana-mana membawa sekotak puluhan kaset. Sekarang dalam format MP3, 30 Juz bisa disimpan dalam 1 keping CD. Kelemahan belajar qiroat dari kaset dan MP3 player, antara lain karena perlu seringnya menekan tombol ”REW” dan ”FF”. Lebih memakan waktu untuk memundur-majukan ayat daripada konsentrasi terhadap belajar qiroat.
Bersyukurlah, saat ini ada Pena Qori, alat digital made in swasta dengan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) yang di launching di MTQ Nasional ke XXII 17 Juni 2008 lalu di Serang, Banten. Dalam suatu demo, mata Pena Qori diarahkan ke ayat-ayat di surat At-Takwir maju-mundur secara acak. Luar bisa kecepatan dan ketepatannya! Hanya dengan menempelkan pena 90 derajat sejarak 0,6 mm dari mushaf ayat 26, terdengarlah suara “Fa aina tadzhabuun” dan terjemahannya “Maka kemanakah kamu akan pergi?”
Resensi banyak media terhadap pena qori digital ini bisa dilihat di www.google.co.id dengan keyword “Pena Digital Fasih Membaca Alquran”. Di kampus IIQ, pena qori digital dijual dengan harga Rp. 1,27 juta, sedangkan di MTQ XXII pena qori dijual dengan harga Rp. 850 ribu. Sampai saat ini baru ada pena qori digital berisikan suara qoriah Maria Ulfah. Sangat praktis, apalagi dilengkapi earphone. Penulis saat ini sedang nego untuk membuat pena digital berisikan suara 3-qori sekaligus Sudais-Syuraim-Ghomidi. Pihak pabrikan setuju. Tetapi karena memakan waktu dan biaya, maka tentu saja ada minimum economics of scale, ada minimum pesanan, Yang bener aja ah, mosok minta dibuatkan pena digital berisi database 19.998 ayat dari 3 orang qori Makkah-Madinah, trus cuma pesen 1 biji! Penulis mengundang para pembaca yang budiman
2 Opsi: Mau Disayang? tau Dilaknat Al Quran?
Fahri bak pahlawan. Dia tidak hidup dengan Siti Nurbaya, zaman sabak. Dia hidup dengan Maria-Aisyah, zaman internet. Dia memberikan pelajaran kepada kita betapa talaqqi tidak bisa tergantikan oleh metoda apapun, tidak dengan kaset, tidak dengan MP3. Dan demi talaqqi, dia terkena meningitis.
Puasa di ambang pintu. Marhaban! Inilah waktu yang tepat untuk talaqqi. Inilah waktu yang pas untuk solat hifdzi. Lalu kebut jadi Qori dengan menggunakan alat bantu mutakhir yang boleh jadi merupakan ‘barang hilangnya’ orang mumin: al hikmatu doollatul mu-miniin.
Sekian tahun menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan dana untuk membaca buku mencari ilmu menuai ijazah, kini tiba saatnya kembali khusyu’ membaca Al-Quran.
Alloohummar hamnaa bil qur’aan
~ Ya Allah, sayangilah kami dengan Al-Quran
Waj’alhu lanaa imaaman wa hudan wa nuuron wa rohmah
~ dan jadikanlah Al Qur’an bagi kami menjadi imam, petunjuk, cahaya, dan rahmat
Alloohumma dzakkirnaa minhu maa nasiinaa
~ Ya Allah, ingatkanlah kami dengan Al Qur’an atas segala apa yang kami lupa
Wa ‘allimnaa minhu maa jahilnaa
~ dan ajarilah dengan Al Quran atas segala apa yang kami bodoh
Rubba qoori-in lil Quraan wal Quraanu yal’anhu ~ Adakalanya orang membaca Al-Quran dan Al-Quran melaknatinya, demikian riwayat sebuah hadits didalam tafsir Haqi dari Aisyah. Jadi kalau yang membaca Al-Quran saja masih diancaman dilaknat Al-Quran, lalu bagaimana dengan yang tidak? Apalagi yang buta baca? Addduhhh! Fa aina tadzhabuun? Sumber: http://nuansaonline.net
Posted by M. Syarifuddin.
Padahal selama hidup sejak aqil baligh, atau sejak insof, sudah ribuan jam waktu dihabiskan untuk membaca (urut abjad): abstracts, artikel, cerbung, cergam, cerpen, diktat, e-book, handbook, jurnal, kamus, komik, koran, majalah, novel, tabloid, textbook, thesaurus dll. Semua orang tahu dalil ini: tolabul ‘ilmi faridlotun ‘alaa kulli muslimin ~ mencari ilmu itu wajib bagi orang muslim. Tetapi ilmu apakah yang wajib dicari?
Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa ilmu yang wajib dicari itu ada tiga, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan Faroidl atau ilmu waris. Selain itu hanyalah keutamaan saja. Belasan tahun sumberdaya enerji, waktu, tenaga, pikiran, dan dana dihabiskan untuk mencari sekian banyak ilmu dunia yang menghasilkan setumpuk ijazah, sementara 3 ilmu yang wajib dicari dan dikuasai yang passsti berakibat terhadap konsekwensi sorga-neraka seseorang, justru diabaikan. Ironis? Nggak lah. Sangka baik kepada Allah ~ husnudzonbillah saja, itu semua terjadi karena kekurang-fahaman atas hadits tadi, bukan karena selainnya. Yang terpenting adalah mengambil langkah-langkah korektif secepatnya.
Kendala Qori
Firman Allah: warottilil qur’aana tartiila ~ dan bacalah Al-Quran dengan tartil, tertib. Suara pun harus terdengar tetapi tidak asbun ~ asal bunyi melainkan harus tepat sesuai makhraj (bunyi keluarnya suara) dari huruf hijaiyyah: alif ba` ta` tsa` dst sampai ya`.
Bagi beberapa etnis orang A’jam (non-Arab), makhroj huruf hijaiyyah saja sudah satu persoalan tersendiri.
Untuk sebagian orang Sunda totok, misalnya, Nauu’dzubillah sulitnya membunyikan fa` yang kerapkali tisoledat ~ tergelincir menjadi pa`. Itu karena rumpun suku Kabayan ini tidak mengenal vocabulary “f” tapi “p”: peuyeum, peureum, peureus,peupeus, peuheur, peungkeur, peureudeuy. So, jangan heran kalau ‘fa-aina’ terdengar jadi ‘pa-aina’, atau bahkan ‘pa-aena’.
Untuk sebagian orang Jawa totok, misalnya lagi, Masya Allah sulitnya membunyikan huruf ‘ain. Maunya ‘ngain terus. Jangan heran kalau sholawat “wa ‘ala ali ibrohim” terdengar ”wa ngala ngali ngibrohim”.
Itu baru huruf hijaiyyah yang adalah ilmu 1 huruf. Ada lagi tajwid atau ilmu 2 huruf, perihal pertemuan 1 huruf dengan 1 huruf lainnya: izh-haar, idghaam, iqlaab, ikhfaa`, qalqalah, madd dan waqaf. Di Indonesia, ada tambahan kendala dimana didalam konvensi literasi huruf hijaiyyah menjadi bahasa Indonesia, bukannya ditulis kho` tapi kha`, `ro tapi `ra, shod tapi shad, dst, dst. Semakin membuat lieur saja, bukan?
Perjalanan Panjang Talaqqi
Belajar membaca Al-Quran adalah perjalanan panjang. Ada yang masih ingat masa kecil dulu ketika masih di level ‘alif-ba-ta’? Saat itu belum ada metoda Iqra temuan KH As’ad Humam. Sepertinya lahiriahnya khusyuk, padahal batiniahnya ketakutan dengan sebatang rotan di tangan ustadz yang siaga-satu siap melayang jika sampai ulangan ke 3 bacaan masih salah.
Belajar sendiri dari kaset atau MP3 player? Tidak bisa. Seperti halnya Fahri didalam “Ayat-Ayat Cinta”. Udara Kairo sepanas apapun tetap ditembusnya demi talaqqi (murid berhadapan langsung) dengan guru bacaan Qiro’ah Sab’ah.
Mengapa? Sebab tanpa talaqqi mana mungkin tahu imalah dimana ditulis “majrooha”, tetapi jika dibaca persis seperti itu, sudah pasti salah. Mana mungkin tahu sakat yang ibarat tombol pause tape atau MP3 player kepencet. Mana mungkin tahu ismam: “laa ta-manna” yang salah-benarnya hanya bisa diketahui dengan mata telanjang, bukan dengan kuping, dst.
Al-Quran bukanlah buku biasa yang siapa saja bisa membacanya tanpa guru. Jibril tidak mengajarkan hijaiyyah dan tajwid kepada Muhammad, kemudian membiarkan Muhammad membaca Al-Quran sendiri.
Al-Quran adalah firman Alloh yang disimpan di Lauh Mahfudz, kemudian disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad kata demi kata, ayat demi ayat. Dimulai dari ’iqro bismirobbikalladzii kholaq’, terus sampai 6.666 ayat, ditutup ‘minal jinnati wannaas’.
Belajar Al Quran haruslah sabar, konsisten dan persisten alias ngotot dalam pengertian positif. Tuh, Rosul saja perlu 23 tahun untuk talaqqi kepada Malaikat. Apalagi kita yang orang A’jam manusia biasa talaqqi kepada guru yang orang A’jam biasa pula.
Bacaan Murottal
Lalu bagaimana dengan kaset dan MP3? Silahkan, tetapi setelah melewati tahap talaqqi. Itu justru sangat bermanfaat untuk mengasah pendengaran, menirukan bacaan dengan makhroj-tajwid yang dipelajari ketika talaqqi, dan mempelajari langgam atau lagu.
Ada bacaan qori Syeikh Abdullah Al Matrud, Abdurrahman As Sudais, Ali Al Khudzaifi, Hani Ar Rifai, Mahmud Al Husori, Misyari Rasyid Al Hafasi, Muhammad Ayub, Sa’ad Al Ghomidi, Su’ud Asy Syuraim. Di Indonesia, ada bacaan qoriah Dra. Hj. Maria Ulfah M.A. www.mariaulfahm.com, dan qori H. Muammar Z.A yang ternyata cukup populer di www.youtube.com.
Sebagai Imam Masjidil Haram, As Sudais dengan suara tenor dan Asy Syuraim dengan suara bariton adalah yang paling populer. Tetapi jika diperhatikan, keduanya memendekkan mad jaiz dari 5 menjadi 2 harakat. Setelah minta pendapat KH Kasmudi Asshidqy yang juga penulis di majalah Nuansa ini, bacaan qori Syeikh Al Ghomidi yang paling pas dengan bacaan hafs di Indonesia.
Alat Bantu: 3-Qori SSG
Dulu, bacaan Al Quran disimpan didalam kaset. Masih terkenang ribet kemana-mana membawa sekotak puluhan kaset. Sekarang dalam format MP3, 30 Juz bisa disimpan dalam 1 keping CD. Kelemahan belajar qiroat dari kaset dan MP3 player, antara lain karena perlu seringnya menekan tombol ”REW” dan ”FF”. Lebih memakan waktu untuk memundur-majukan ayat daripada konsentrasi terhadap belajar qiroat.
Bersyukurlah, saat ini ada Pena Qori, alat digital made in swasta dengan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) yang di launching di MTQ Nasional ke XXII 17 Juni 2008 lalu di Serang, Banten. Dalam suatu demo, mata Pena Qori diarahkan ke ayat-ayat di surat At-Takwir maju-mundur secara acak. Luar bisa kecepatan dan ketepatannya! Hanya dengan menempelkan pena 90 derajat sejarak 0,6 mm dari mushaf ayat 26, terdengarlah suara “Fa aina tadzhabuun” dan terjemahannya “Maka kemanakah kamu akan pergi?”
Resensi banyak media terhadap pena qori digital ini bisa dilihat di www.google.co.id dengan keyword “Pena Digital Fasih Membaca Alquran”. Di kampus IIQ, pena qori digital dijual dengan harga Rp. 1,27 juta, sedangkan di MTQ XXII pena qori dijual dengan harga Rp. 850 ribu. Sampai saat ini baru ada pena qori digital berisikan suara qoriah Maria Ulfah. Sangat praktis, apalagi dilengkapi earphone. Penulis saat ini sedang nego untuk membuat pena digital berisikan suara 3-qori sekaligus Sudais-Syuraim-Ghomidi. Pihak pabrikan setuju. Tetapi karena memakan waktu dan biaya, maka tentu saja ada minimum economics of scale, ada minimum pesanan, Yang bener aja ah, mosok minta dibuatkan pena digital berisi database 19.998 ayat dari 3 orang qori Makkah-Madinah, trus cuma pesen 1 biji! Penulis mengundang para pembaca yang budiman
2 Opsi: Mau Disayang? tau Dilaknat Al Quran?
Fahri bak pahlawan. Dia tidak hidup dengan Siti Nurbaya, zaman sabak. Dia hidup dengan Maria-Aisyah, zaman internet. Dia memberikan pelajaran kepada kita betapa talaqqi tidak bisa tergantikan oleh metoda apapun, tidak dengan kaset, tidak dengan MP3. Dan demi talaqqi, dia terkena meningitis.
Puasa di ambang pintu. Marhaban! Inilah waktu yang tepat untuk talaqqi. Inilah waktu yang pas untuk solat hifdzi. Lalu kebut jadi Qori dengan menggunakan alat bantu mutakhir yang boleh jadi merupakan ‘barang hilangnya’ orang mumin: al hikmatu doollatul mu-miniin.
Sekian tahun menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan dana untuk membaca buku mencari ilmu menuai ijazah, kini tiba saatnya kembali khusyu’ membaca Al-Quran.
Alloohummar hamnaa bil qur’aan
~ Ya Allah, sayangilah kami dengan Al-Quran
Waj’alhu lanaa imaaman wa hudan wa nuuron wa rohmah
~ dan jadikanlah Al Qur’an bagi kami menjadi imam, petunjuk, cahaya, dan rahmat
Alloohumma dzakkirnaa minhu maa nasiinaa
~ Ya Allah, ingatkanlah kami dengan Al Qur’an atas segala apa yang kami lupa
Wa ‘allimnaa minhu maa jahilnaa
~ dan ajarilah dengan Al Quran atas segala apa yang kami bodoh
Rubba qoori-in lil Quraan wal Quraanu yal’anhu ~ Adakalanya orang membaca Al-Quran dan Al-Quran melaknatinya, demikian riwayat sebuah hadits didalam tafsir Haqi dari Aisyah. Jadi kalau yang membaca Al-Quran saja masih diancaman dilaknat Al-Quran, lalu bagaimana dengan yang tidak? Apalagi yang buta baca? Addduhhh! Fa aina tadzhabuun? Sumber: http://nuansaonline.net
Posted by M. Syarifuddin.
Jumat, 21 Agustus 2009
Menyambut Ramadhan --- Marhaban ya Ramadhan
Hingar – bingar menyongsong ramadhan telah terasa. Spanduk dan iklan sudah tertempel di mana – mana. Kegiatan – kegiatan pengiringnya juga tampak di segala penjuru, seperti nyekar (ziarah kubur), bersih – bersih masjid dan asesoris lainnya. Tak kalah juga tayangan televisi pun berubah menjadi ”islami”. Ucapan – ucapan selamat berpuasa dan himbaun yang baik lainnya tertera di sudut – sudut yang enak untuk dibaca mata. Ramadhan big sale! Bulan penuh rahmat. Bulan maghfiroh, penuh berkah dan lain sebagainya.
Tak ketinggalan dengan kita. Selalu ada riuh – rendah menyambutnya. Pengurus selalu melakukan refreshing jelang datangnya bulan mulia ini. Mengkaji ulang ilmu – ilmunya. Meningkatkan nasehat – nasehat bab puasa. Mengingatkan bagi yang punya hutang segera nyahur. Mengingatkan agar bermaaf – maafan sebelumnya. Banyak taubat. Pencanangan 5 sukses yang harus diraih sebagai bench mark ramadhan: sukses puasanya, sukses tarawihnya, sukses i’tikaf dan lailatul qodarnya, sukses baca qurannya dan sukses zakat fitrahnya. Mudah-mudahan ini tidak menjadi rutinitas yang membelenggu. Ramadahan adalah rutinitas tahunan. Sebulan sekali dalam setahun umat islam diwajibkan berpuasa. Yang intinya agar menjadi orang yang taqwa, penuh cinta dan kehambaan pada Yang Kuasa.
Dari berbagai dalil yang sering mengudara di tempat – tempat pengajian, menurut saya ada satu hal yang luput dari perhatian khalayak. Yaitu membedakan antara puasa – shoum dan bulan ramadhan itu sendiri. Sebab, ketika pengertian ini rancu menjadikan kita mati gaya. Puasa adalah amalan ibadah. Dia bisa dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang. Sedangkan ramadhan adalah waktu. Serangkaian hari yang berjumlah 29 atau 30 yang disebut bulan. Waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kelebihan dan keutamaan di dalamnya, yang tidak ada di bulan lain. Di bulan ramadhan diwajibkan puasa, ada lailatul qodar, dilipatkan kebaikan dan keburukannya melebihi bulan lain.
Maka ketika datang waktu yang baik itu, secara otomatis bagi penggiat kebaikan akan bersiap diri, melihat keutamaannya. Bagi para pencari pahala akan bergembira menyambutnya. Bagi para pecinta Tuhan akan segera bergegas mengejarnya. Karena waktu yang barokah, bulan suci yang hanya ada setahun sekali. Karena begitu mulianya bulan ini, maka Allah mewajibkannya mengisi bulan ini dengan cara berpuasa. Maka tersebutlah puasa ramadhan. Sebab puasa adalah amalan yang tiada bandingnya. Allah sendiri yang akan membalas. Puasa berbeda dengan amalan lain. Puasa adalah tameng.
Dari Abu Umamah, r.a., dia berkata, ’Aku berkata, ’Wahai Rasulullah perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ’Berpuasalah karena ia tidak ada yang menyamainya.’ ’Aku berkata, ’Wahai Rasulullah perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ’Berpuasalah karena ia tidak ada yang menyamainya.’ (Rowahu An-Nasa’i)
Sufyan bin Uyainah ditanya tentang firmanNya: ”Setiap amal anak adam itu untuknya kecuali puasa, ia adalah untukKu,” maka dia berkata, ”Pada hari Kiamat Allah menghisap hambanya, dia membayar kedhaliman yang dilakukannya di dunia dari seluruh amal baiknya sehingga ketika yang tersisa adalah puasa, maka Allah menanggung kedhaliman yang tersisa dan memasukkannya ke surga.”
Dari Abu hurairoh ra. Dari Nabiyullah SAW, dia bersabda, ”Puasa itu perisai/tameng dan benteng yang kokoh dari neraka.” (Rowahu Ahmad)
Mudah-mudahan dengan sedikit catatan di atas menjadi jelas bagi kita mengapa orang antusias ketika datang bulan ramadhan. Saking berkahnya di bulan ini ada yang namanya THR, ada mudik, halal – bilhalal dan kebarokahan – kebarokahan yang lain. Nah, bagi para pencari Tuhan mungkin dalil berikut ini pantas untuk direnungkan.
Beliau SAW bersabda, ’Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata, ”Semoga jauh dari surga orang yang mendapatkan ramadhan lalu dia tidak diampuni.” Maka aku berkata, ’Amin.’ (Rowahu Hakim).
Dan hendaknya setiap amalan yang dilakukan di bulan ramadhan ini dilakukan dengan imanan wahtisaban. Semoga kita bisa mengisi full ramadhan ini dengan kebaikan dan kebaikan, mengurangi dan menghilangkan kejelekan. Yaa baghiyal khoir aqbil, wayaa baghiyasy syarri aqshir. Juga maknailah bulan ini sebagai bulan pelatihan bukan bulan ujian atau peperangan. Sebab jin dan syaitan telah dibelenggu oleh Allah. Selama 30 hari latihlah diri kita untuk benar – benar bisa menemukan jalan cinta kepada Allah agar mendapat gelar taqwa. Dengan demikian tak salah jika kita menyapa Marhabban ya ramadhan – selamat datang ramadhan karena memang ia istimewa.
Untuk alasan itu semua, maka ijinkanlah saya mohon maaf jika ada kekurangan dan kekhilafan selama ini. Semoga kita semua bisa menghadapi bulan latihan ini dengan khusyu dan ihsan. Juga, mungkin selama ramadhan, akan banyak berkurang tayangannya, karena lagi melatih diri, meguru, menimba ilmu, mburu target dan mengepolkan kemampuan yang ada. Jika ada waktu dan kesempatan insya allah dengan senang hati akan on air lagi dengan topik – topik berikutnya.
Oleh :Faizunal Abdillah
Jumat, 07 Agustus 2009
Taubat (3)
Konon, sering diperdengarkannya kata taubat, taubat dan taubat, adalah bagian dari sosialisasi. Maksudnya pemasyarakatan kata taubat, sehingga tidak menjadi angker. Biar familiar. Nyegurah. Taubat itu baik. Taubat itu terhormat. Taubat itu bagian dari amal sholih. Taubat itu bagian yang tak terpisahkan dari ubudiyah. Taubat adalah rangkaian ibadah. Sama seperti wudhu. Bukan untuk ditakuti atau dibenci. Bukan untuk dibuang dan dilupakan. Tapi untuk dipahami dan didalemi - nresep, dihayati dan dirasakan - mantep, sehingga mendarah daging, menjadi ciri, menjadi thobiat. Semakin sering diucap, diharapkan semakin nancep di hati. Semakin sering diperdengarkan semakin terbiasa. Gendang telinga nggak aneh lagi. Sehingga tidak terkejut atau sakit hati, ketika menjalani ritual taubat yang sejati.
Untuk memahami lebih luas dan lebih padang, cuplikan hadits berikut rasanya perlu dicermati bersama, agar wawasan dan pandangan tentang taubat bisa nlisir. Godir ngalih. Jembar kalangane. Padang rembulane. Wening. Hingga akhirnya hilang semua bimbang dan keraguan, menuju kesenangan untuk bertaubat ketika berbuat salah atau dosa.
Dari Ibnu Abbas ra., dia mengatakan, ”Orang Quraisy pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, ’Berdoalah engkau Muhammad kepada Rabbmu untuk kami agar dia menjadikan Bukit Shofa menjadi emas. Jika Bukit Shofa berubah menjadi emas, maka kami akan mengikutimu.’ Maka Rasulullah SAW berdoa kepada Rabbnya. Lalu datanglah malaikat Jibril dan berkata, ’Sesungguhnya Rabbmu menitipkan salam buatmu dan berfirman untukmu, ’Jika kamu mau, maka Bukit Shofa akan menjadi emas buat mereka, tapi jika ada yang kufur setelah itu, maka Aku akan siksa mereka dengan siksa yang tidak pernah Kutimpakan atas siapapun juga. Dan jika engkau mau, maka Aku bukakan buat mereka pintu taubat dan rahmat.’ Rasulullah SAW menjawab, ’Pintu taubat dan rahmat saja.” (Rowahu ath-Thabrani)
Jalan taubat adalah jalan kembali menemukan rahmat Allah yang tiada batas. Taubah adalah berkah yang pol. Dan adalah rahmat, sebab taubat bisa dilakukan asal ajal belum sampai tenggorokan dan qiyamat belum datang. Ada jeda. Interval. Waktu tunggu yang merupakan suatu pemberian Allah yang tiada terperi. Bayangkan seandainya Rasulullah SAW tidak memilihnya. Alangkah berdosanya ketika kita menyia-nyiakan pilihan agung itu. Itu adalah pilihan Nabi SAW atas umatnya. Pilihan terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Sepenuh masa. Lebih baik dari dunia dan seisinya. Pilihan yang tiada taranya. Yang lebih luas dan menjangkau. Berlaku sampai kiamat tiba. Sebutan apa yang cocok ketika ada yang menyepelekan pilihan itu? Dan orang yang menyepelekan adalah orang yang alergi dengan taubat. Orang yang termasuk menyepelekan adalah orang yang benci bertaubat. Orang yang menyepelekan adalah orang yang malas bertaubat ketika berbuat salah. Hanya menganggap seperti lalat yang lewat di depan hidung saja. Sekali gibas hilang. Pergi. Mabur. Tapi kembali dan kembali lagi, tak pernah merasa menyesali. Dimana letak yu’adhimnya? Ketika masih ada rasa berat itu, mari bangkitkan lagi semangat pengagungan terhadap syariat, syair - syair yang telah dipilih dan ditetapkan Allah dan Rasul untuk kita.
Melalui atsar – atsar ini, bisa kita garis – bawahi bahwa ketika bersalah gandengannya adalah taubat dan pulihannya harus banyak beramal sholih, amal yang baik. Seperti orang kalau sakit, harus ke dokter dan minum obat agar cepat kembali sehat. Jika kita sakit, tetapi dibiarkan saja, atau malah dibuat kerja keras terus, alamat bencana yang akan diterima. Bukan malah sembut tapi malah akut, tambah parah. Dan bisa – bisa jadi binasa, mati sia - sia. Adakah yang mau seperti itu? Tentu tidak bukan?
Oleh :Faizunal Abdillah
Taubat (2)
Banyak sekali contoh – contoh pertaubatan yang rekam – jejaknya bisa kita temui di sejumlah atsar, baik di al-Quran maupun al-Hadits, yang dilakukan oleh hamba - hamba Allah tempo dulu. Darinya kita bisa ambil pelajaran dan suri tauladan. Salah satu yang populer adalah taubatnya seorang jagoan yang telah membunuh 100 orang. Dalam akhir kisahnya sang jagoan diterima taubatnya, walaupun lewat pertengkaran dan split decision, kemenangan tipis. Karena jarak ke desa yang mau dituju – tempat orang – orang sholeh - oleh sang jagoan lebih dekat satu jengkal dibanding dengan desa asal, maka Allah menghukumi menerima taubatnya dan memasukkannya ke surga. Berikut hadits versi panjangnya.
Dari Abu Said al-Khudri ra., bahwasanya Nabi Allah SAW bersabda, ’Pada umat sebelum kalian terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, lalu dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling banyak ilmunya, lalu ditunjukkan kepada seorang rahib/pendeta. Dia mendatangi pendeta dan menceritakan bahwa dia telam membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, bisakah dia bertaubat? Si pendeta menjawab, ’Tidak.’ Si lelaki tadi lalu membunuh pendeta itu. Dengan demikian dia telah melengkapi menjadi seratus. Kemudian dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling banyak ilmunya, lalu dia ditunjukkan kepada seorang alim. Kemudian dia menceritakan bahwa dia telah membunuh seratus jiwa, bisakah dia bertaubat? Si alim menjawab, ’Ya, siapakah yang bisa menghalangi antara dia dan taubat?’ Pergilah kamu ke negeri ini dan ini. Di sana ada sekelompok orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Janganah kamu kembali ke negerimu, karena ia adalah tempat yang buruk.’ Maka dia pun berangkat, ketika sampai di tengah perjalanan dia meninggal. Maka malaikat rahmat dan malaikat adzab pun memperebutkannya. Malaikat rahmat mengatakan, ’Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadap kepada Allah dengan hatinya.’ Malaikat adzab mengatakan, ’Dia tidak melakukan perbuatan baik sama sekali.’ Kemudian malaikat lain datang dalam wujud seorang manusia. Lalu ketiga malaikat itu meletakkannya di antara mereka. Lalu malaikat yang baru datang mengatakan, ’Ukurlah jarak antara dua tempat itu. Kearah mana yang lebih dekat, berarti dialah yang lebih berhak atas orang ini.’ Meraka pun mengukur jarak dan mereka dapatkan bahwa lelaki itu lebih dekat (sejengkal) ke arah tempat yang dituju, maka malaikat rahmat pun mengambilnya.” (Rowahu Muslim)
Nah, sekarang mari kita bandingkan dengan kisah pertaubatannya Firaun yang disebutkan dalam surat Yunus ayat 90 – 91. Ketika berhasil mengejar Musa dan kaumnya sampai di tepi laut merah, si Gemblung Firaun yakin kalau dia bisa menghancurkannya. Tetapi ternyata Musa bisa menyeberangi lautan. Dan Firaun mau tenggelam ketika menyusul Musa. Allah berfirman; ”Dan Kami melewatkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dua kasus ini hampir mirip, serupa, tetapi hasilnya jelas beda. Si lelaki pembunuh 100 orang masuk surga, sedangkan Firaun menjadi penghuni neraka. Kenapa bisa? Hadits berikut ini adalah jawabannya.
Dari Abdullah bin Umar r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (Rowahu Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
Pada kasus Firaun, pada saat menjelang ajal baru dia mau taubat dan beriman, oleh karena itu tobatnya tidak diterima. Ditolak. Sudah sekarat baru tobat. Dalam sejumlah tafsir dijelaskan bahwa malaikat menjejali/nyawur lumpur ke mulut Firaun sehingga tidak bisa berucap sempurna. Maka dia masuk ke neraka. Sedangkan pada kasus pembunuh berdarah dingin ini, jelas dia memulai mengikrakkan niatnya untuk bertaubat sejak telah membunuh 99 orang. Kemudian setelah ketemu si alim dia memutuskan pergi ke negeri kaum sholih. Dengan demikian posisi si pembunuh dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sekarat. Maka ketika datang mati, posisinya dalam keadaan berangkat mau bertaubat walaupun belum kesampaian. Oleh karena itu, diampuni dan digolongkan sebagai penduduk yang sholih.
Nah, sesuai dengan komparasi ini perlu disimak dan direnungi kembali Surat al-An’am 158 berikut ini, sebagai warning bagi kita semua. Allah berfirman; “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu (qiyamat). Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)."
Karenanya, isilah selalu keimanan kita dengan kebaikan sebelum ajal tiba. Dan jangan lupa untuk banyak taubat. Ya, taubat….
Oleh :Faizunal Abdillah
Taubat
Jujur saja, in my mind, dulu taubat itu sesuatu yang harus dijauhi. Kalau perlu jangan sampai dilakukan. Dia seakan sebuah prestige dan prestasi, jika sedikit melakukan taubat. Sedikit taubat berarti hebat. Sedikit taubat berarti sedikit salah. “Anda layak dapat bintang,” itu kira – kira. Apalagi bagi mereka yang pernah mengalami masa perploncoan ketika jadi mahasiswa. Dimana dituntut perfect, tidak boleh salah sedikit pun. Kalau salah itu jelek. Salah itu aib. Salah itu harus diganjar dengan hukuman yang berat. Ini kultur kita. Walhasil, banyak yang jera melakukan kesalahan. Kalau sampai berbuat salah sebisa mungkin ditutupi. Ditutupi yang rapat supaya tidak ketahuan. Dan tidak kena hukuman.
Awal – awal saya mengaji juga begitu. Nuansa taubat tidak jauh berbeda. Ia masih menjadi momok yang menakutkan bagi setiap diri. Belum ada apresiasi yang benar mengenai taubat. Hanya sebatas taubat itu baik, tapi implementasi, sosialisasi dan lingkungannya masih kontra produktif. Belum mendukung sepenuhnya satu sama lain. Bagaimana kita mau melihat taubat itu baik, kala kita tertimpa kesalahan dan disuruh taubat, yang lain malah sorak kegirangan? Banyak yang masih memandang sebelah mata, memandang “hina” kala kita menjalani taubat. Banyak yang seolah nyukurin dan seolah arena balas dendam. Akhirnya kata taubat menjadi jargon hampir di setiap pembicaraan; “Awas taubat lho!” Sebagai sindiran karena seringnya disuruh taubat oleh pengurus dan atau kiat bagaimana memilih jalan agar terhindar dari taubat. Jangan sampai kena taubat. Begitulah, Naudzubillah.
Beruntung, dari dulu saya diberi kepahaman bahwa salah itu biasa dan benar juga biasa. Tidak ada manusia yang sempurna. Alhamdulillah. Semenjak dulu saya punya prinsip jangan takut berbuat salah. Oleh karena itu, rentetan kejadian yang pernah menimpa diri ini, seakan mengalir dan semakin membuat diri ini kuat dan kuat dalam menghadapi berbagai hal. Mendapatkan pelajaran yang berharga, yang mungkin tidak didapatkan oleh yang lain. Dan yang penting, itu semua tidak menjadikan sakit hati, dendam atau kemarahan. Justru merupakan cikal bakal pemahaman yang lebih baik dan lebih sempurna tentang arti taubat. Hikmah yang membahana untuk mengerti arti qodar yag sesungguhnya. Ditengah memudarnya pesona taubat di kalangan kita. Demikianlah Allah paring.
Mungkin pengalaman masa lalu, atau rasa malas yang berlebih, atau rasa superiornya, banyak yang berprinsip taubat itu kan urusan kita dengan Allah? Maksudnya disirkan saja. Disamarkan. Diam – diam saja. Betul, tetapi sudah benarkah cara melakukannya? Seberapa rutinkah kita taubat kepada Allah? Atas kesalahan apa? Banyak kita yang sok suci, nggak tahu apa salahnya ketika disodori blanko taubat. Bahkan ada yang bertanya kepada teman sebelahnya, apa ya salah saya? Saking bingungnya. Terus terang, banyak di antara kita yang terjangkit penyakit seperti ini, merasa tidak punya salah dan dosa.
Untuk mendalami dan menyelami arti penting dan indahnya taubat, mari kita cermati hadits berikut ini. Dari Abu Huroiroh ra., dari Nabi SAW beliau bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sekiranya kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, maka niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan mengganti dengan kaum yang melakukan dosa lalu mereka memohon ampun (taubat) kepada Allah dan Allah pun mengampuni kepada mereka.” (Rowahu Muslim)
Menurut saya, ini hadits yang harus dicamkan betul sebagai dasar pemahaman qodar salah/dosa dan pengembangan arti pentingya masalah taubat bagi setiap diri ke depan. Sebab hadits ini memaklumatkan penggantian diri, penggantian kaum yang tidak pernah melakukan dosa. Diawali dengan sumpah lagi. Kenapa kok diganti? Sebab itu sudah menyalahi ketentuan Allah. Sebab Allah telah mengdodar setiap insan itu punya salah dan dosa. Dengan salah dan dosa itu bukan berarti Allah benci atau tidak adil kepada hambanya. Akan tetapi dengan salah dan dosa itu, justru merupakan jalan bagi seorang hamba untuk mendapatkan rahmat Allah yang lebih baik dan lebih tinggi di sisiNya. Jalan itu disebut taubat (yang artinya adalah kembali). Jadi Allah sangat, sangat senang jika mendapati seorang hamba bertaubat setelah melakukan kesalahan. Bahkan di hadits lain senangnya lebih sangat daripada kembalinya tunggangan seorang musafir di padang tandus lengkap dengan perbekalannya.
Nah, mulai sekarang dan ke depan mari kita sadari bersama bahwa taubat adalah salah satu jalan untuk memperoleh keridhoanNya, memperoleh kecintaanNya, sebagaimana Allah sebutkan dalam kitabnya: Innallaaha yuhibbut tauwwabiin – Sesungguhnya Allah senang kepada orang – orang yang bertaubat. Dengan demikian, taubat tidak dipandang lagi sebagai beban atau hukuman, melainkan sebuah jalan untuk memperoleh kembali kehormatan di sisiNya. Dan telinga kita tidak alergi lagi ketika mendengar kata; taubat, tobat dan tobat...lho!
Oleh :Faizunal Abdillah
PUISI INDAH DARI RENDRA
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Oleh :WS Rendra
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Oleh :WS Rendra
Selasa, 21 Juli 2009
Esai kehidupan 12
Mencermati riuh – rendahnya kehidupan ini, terbentang sejarah panjang peran kesabaran. Bukanlah dikatakan sebuah kehidupan tanpa kesabaran di dalamnya. Hidup adalah kesabaran; meniti waktu, melintasi hari, menyeberangi bulan, melewati tahun, menikmati suka, megarungi duka dan menunggu rangkaian kejadian – kejadian lain sampai datangnya waktu: mati. Kesabaran adalah kunci hidup dalam menghadapi hukum Allah di muka bumi ini dan nanti. Berbahagialah orang yang sabar. Beruntunglah orang yang mempunyai jiwa kesabaran.
Dari Abi Sa’id, sesungguhnya segolongan manusia dari kaum Anshor meminta kepada Nabi SAW, maka Nabi pun memberi kepada mereka. Kemudian mereka kembali meminta kepada Nabi, maka Nabi pun memberikannya (untuk yang kedua kali). Kemudian Nabi SAW bersabda, “Apa – apa kebaikan yang ada di sisiku, maka tidak akan aku sembunyikan dari kalian. Dan barangsiapa yang merasa kaya, maka Allah akan memberikan kaya kepadanya. Dan barangsiapa yang minta penjagaan, maka Allah akan memberi penjagaan padanya. Dan barangsiapa yang minta kesabaran, maka Allah akan memberikan kesabaran padanya. Dan tidaklah seseorang diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih luas (lapang/serba guna) dibandingkan diberi kesabaran.” (Rowahu Tirmidzi abwaabu albirr 180/K. Adab hal. 16).
Mari kita perhatikan hadits di atas. Mari kita dalami dan teliti untuk menyibak arti kesabaran darinya. Hadits ini dimulai dengan cerita tentang sikap meminta – minta orang – orang Anshor kepada Nabi SAW. Kemudian dengan sikap dermawannya Nabi, permintaan itu selalu dipenuhi. Nabi tidak pernah menyembunyikan apa yang dia miliki. Tidak pernah ditolak. Selagi dia punya, selagi dia ada, pasti permintaan itu dipenuhi. Baru pada permintaan yang kedua Nabi SAW memberikan perkeling, sebab pada dasarnya sikap meminta – minta, apalagi yang keterusan, akan berakibat buruk. Terutama bagi sisi spiritual. Meminta – minta menghasilkan mental yang loyo. Mentalitas jalan pintas. Mau cepet dan enaknya saja. Oleh karena itu, Nabi mulai menyelipkan pituah hilangkanlah meminta – minta dengan memulai menumbuhkan sikap merasa kaya, niscaya Allah akan memberikan kaya. Namun, dengan kaya saja belum menjamin akan hilangnya sikap meminta – minta. Bahkan bisa semakin grangsang, minta terus dan terus. Maka selanjutnya Nabi mengingatkan untuk meminta sifat terjaga. Bagi yang sudah kaya agar terjaga dirinya dari sifat pelit. Terjaga dari sifat rakus dan akhirnya bisa berpuas diri, menikmati dan membelanjakan harta sesuai dengan aturannya. Bagi yang belum kaya, bisa terjaga dari meminta – minta, prawiro, sebab hatinya sudah kaya. Nah, yang lebih penting lagi adalah meminta kesabaran, untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Kesabaran diperlukan untuk mendampingi tumbuhnya sikap terjaga. Kesabaran diperlukan untuk mengiringi kepemilikan harta benda.
Jika orang tersebut diberi kekayaan, dengan kesabarannya orang itu akan tetap beribadah. Orang itu akan tetap ingat, bagaimana membelanjakan harta dan bagaimana tidak diperbudak oleh harta. Akan tetapi tetap menjadi tuannya, untuk mengatur harta sebagaimana hukumnya. Tidak lupa infaq, dermawan dan tidak pelit serta tahu diri dan tahu waktu. Kesabaran menuntun orang tersebut mengendalikan harta benda. Kesabaran akan mengarahkan orang tersebut semeleh – down to earth, mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Jika orang tersebut tidak dikodar kaya, kesabaran akan mengiringi sifat ta’afufnya. Kesabaran mendampingi sifat keterjagaan sehingga menumbuhkan hati yang benar – benar kaya – nyegoro, kaya diri dan kaya hati. Tidak meminta – minta dan banyak tawakal dan ridho dengan hukum Allah. Kesabaran juga menuntunnya untuk tetap bersyukur kepada Allah sepanjang masa. Dengan fungsi kesabaran seperti itulah, maka Nabi mengunci pituahnya bahwa tak ada yang lebih baik dan lebih luas, serba – guna kegunaannya dibandingkan dengan kesabaran. Lebih baik, karena kesabaran akan membentuk pribadi – pribadi pilihan baik miskin maupun kaya. Lebih luas karena kesabaran diperlukan di setiap lini untuk mengawal kehidupan ini menjadi yang diingini.
Menilik pada atsar di atas, kesabaran pegang peranan yang krusial dalam kehidupan ini. Kesabaran adalah fundamental hidup. Kesabaran tidak hanya harus dimiliki orang yang sedang susah. Kesabaran juga tidak hanya harus dimiliki orang yang miskin. Kesabaran pun harus dimiliki oleh mereka yang sedang kaya dan lagi mendapat kesenangan. Kesabaran harus ada di mana - mana untuk menopang semua sisi – sisi kehidupan untuk melaju sesuai kaidah dan sunnatullah. Dan bagi kita yang telah meraihnya, pasti akan melihat dan merasakan betapa indahnya hidup di dunia. Bagi yang telah meraihnya, tentu akan merasakan betapa membahagiakannya kehidupan di alam semesta ini. Sebab kesabaran adalah kuncinya, Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Allah menetapi pahalanya orang yang sabar tanpa hitungan”. (QS. Az-Zumar 10).
Oleh :Faizunal Abdillah
Dari Abi Sa’id, sesungguhnya segolongan manusia dari kaum Anshor meminta kepada Nabi SAW, maka Nabi pun memberi kepada mereka. Kemudian mereka kembali meminta kepada Nabi, maka Nabi pun memberikannya (untuk yang kedua kali). Kemudian Nabi SAW bersabda, “Apa – apa kebaikan yang ada di sisiku, maka tidak akan aku sembunyikan dari kalian. Dan barangsiapa yang merasa kaya, maka Allah akan memberikan kaya kepadanya. Dan barangsiapa yang minta penjagaan, maka Allah akan memberi penjagaan padanya. Dan barangsiapa yang minta kesabaran, maka Allah akan memberikan kesabaran padanya. Dan tidaklah seseorang diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih luas (lapang/serba guna) dibandingkan diberi kesabaran.” (Rowahu Tirmidzi abwaabu albirr 180/K. Adab hal. 16).
Mari kita perhatikan hadits di atas. Mari kita dalami dan teliti untuk menyibak arti kesabaran darinya. Hadits ini dimulai dengan cerita tentang sikap meminta – minta orang – orang Anshor kepada Nabi SAW. Kemudian dengan sikap dermawannya Nabi, permintaan itu selalu dipenuhi. Nabi tidak pernah menyembunyikan apa yang dia miliki. Tidak pernah ditolak. Selagi dia punya, selagi dia ada, pasti permintaan itu dipenuhi. Baru pada permintaan yang kedua Nabi SAW memberikan perkeling, sebab pada dasarnya sikap meminta – minta, apalagi yang keterusan, akan berakibat buruk. Terutama bagi sisi spiritual. Meminta – minta menghasilkan mental yang loyo. Mentalitas jalan pintas. Mau cepet dan enaknya saja. Oleh karena itu, Nabi mulai menyelipkan pituah hilangkanlah meminta – minta dengan memulai menumbuhkan sikap merasa kaya, niscaya Allah akan memberikan kaya. Namun, dengan kaya saja belum menjamin akan hilangnya sikap meminta – minta. Bahkan bisa semakin grangsang, minta terus dan terus. Maka selanjutnya Nabi mengingatkan untuk meminta sifat terjaga. Bagi yang sudah kaya agar terjaga dirinya dari sifat pelit. Terjaga dari sifat rakus dan akhirnya bisa berpuas diri, menikmati dan membelanjakan harta sesuai dengan aturannya. Bagi yang belum kaya, bisa terjaga dari meminta – minta, prawiro, sebab hatinya sudah kaya. Nah, yang lebih penting lagi adalah meminta kesabaran, untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Kesabaran diperlukan untuk mendampingi tumbuhnya sikap terjaga. Kesabaran diperlukan untuk mengiringi kepemilikan harta benda.
Jika orang tersebut diberi kekayaan, dengan kesabarannya orang itu akan tetap beribadah. Orang itu akan tetap ingat, bagaimana membelanjakan harta dan bagaimana tidak diperbudak oleh harta. Akan tetapi tetap menjadi tuannya, untuk mengatur harta sebagaimana hukumnya. Tidak lupa infaq, dermawan dan tidak pelit serta tahu diri dan tahu waktu. Kesabaran menuntun orang tersebut mengendalikan harta benda. Kesabaran akan mengarahkan orang tersebut semeleh – down to earth, mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Jika orang tersebut tidak dikodar kaya, kesabaran akan mengiringi sifat ta’afufnya. Kesabaran mendampingi sifat keterjagaan sehingga menumbuhkan hati yang benar – benar kaya – nyegoro, kaya diri dan kaya hati. Tidak meminta – minta dan banyak tawakal dan ridho dengan hukum Allah. Kesabaran juga menuntunnya untuk tetap bersyukur kepada Allah sepanjang masa. Dengan fungsi kesabaran seperti itulah, maka Nabi mengunci pituahnya bahwa tak ada yang lebih baik dan lebih luas, serba – guna kegunaannya dibandingkan dengan kesabaran. Lebih baik, karena kesabaran akan membentuk pribadi – pribadi pilihan baik miskin maupun kaya. Lebih luas karena kesabaran diperlukan di setiap lini untuk mengawal kehidupan ini menjadi yang diingini.
Menilik pada atsar di atas, kesabaran pegang peranan yang krusial dalam kehidupan ini. Kesabaran adalah fundamental hidup. Kesabaran tidak hanya harus dimiliki orang yang sedang susah. Kesabaran juga tidak hanya harus dimiliki orang yang miskin. Kesabaran pun harus dimiliki oleh mereka yang sedang kaya dan lagi mendapat kesenangan. Kesabaran harus ada di mana - mana untuk menopang semua sisi – sisi kehidupan untuk melaju sesuai kaidah dan sunnatullah. Dan bagi kita yang telah meraihnya, pasti akan melihat dan merasakan betapa indahnya hidup di dunia. Bagi yang telah meraihnya, tentu akan merasakan betapa membahagiakannya kehidupan di alam semesta ini. Sebab kesabaran adalah kuncinya, Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Allah menetapi pahalanya orang yang sabar tanpa hitungan”. (QS. Az-Zumar 10).
Oleh :Faizunal Abdillah
Esai Kehidupan 11
Hidup adalah masalah kepercayaan. Hidup akan menjadi indah, kala kepercayaan menjadi simbolnya. Hidup menjadi mudah kala kepercayaan menjadi leadernya. Sebab dengan kepercayaan, satu sama lain bisa berjalan dengan enaknya. Dengan kepercayaan ada jaminan bahwa tiap diri bisa berbuat sesuai aturan mainnya. Oleh karena itu, kita bisa tahu – mengerti dan memahami, kenapa manusia harus beriman pada Yang Maha Kuasa. Iman tak lain adalah wujud tertinggi sebuah kepercayaan.
Konon, ada seorang turis asing meninggal di Indonesia. Turis ini terkenal kebaikannya tatkala masih hidup. Oleh karena itu Tuhan memberikan kesempatan padanya untuk memilih : mau di surga atau di neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, tempat yang indah tapi sudah teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga maupun neraka, agar tidak tertipu lagi. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk manis sambil membaca kitab suci. Di neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah dengan caddynya yang seksi. Ada tempat wisata yang elok lengkap dengan pemandunya. Singkat cerita, neraka jauh lebih dipenuhi hiburan dan kesenangan dibandingkan surga.
Yakin dengan observasi dan surveynya, maka sang turis tadi pun memutuskan memohon kepada Tuhan untuk tinggal di neraka saja. Namun esok harinya ketika sampai di neraka, dia terkejutnya bukan kepalang. Ternyata di dalamnya berisi orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya. Maka segera proteslah dia pada penjaga neraka yang ternyata juga asli Indonesia ini. Dengan tenang penjaga neraka ini menjawab, 'Kemaren kan hari terakhir kampanye pemilu". Dengan jengkel turis tadi bergumam, 'Dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya, Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Ini hanyalah lelucon, sebagai gambaran kehidupan di sekitar kita. Kehidupan yang penuh dengan tipu - daya. Saling injak, saling sikut yang penting tercapai tujuannya. Yang merasa pinter ngapusi orang – orang bodo. Yang punya kelicikan memanfaatkan orang – orang pinter. Nggak peduli benar, nggak peduli salah yang penting menang dan tersenyum bangga karenanya. Susah mencari orang yang bisa dipercaya. Langka mencari orang yang jujur. Semua selalu ditumpangi dengan seberkas titik rasa curiga. Ada udang dibalik batu, ada maksud dibalik niat. Dan lebih susah lagi mencari figur yang merendah sebagai cerminan percaya diri dan rendah hati, simbol orang yang beruntung dan waspada.
Entah bagaimana dengan pengalaman Anda, alam dengan santunnya memberikan bimbingan yang tak habis – habisnya. Tinggal kesadaran yang membangunkan kita. Hanya masalah waktu. Bukankah kita semua pernah melihat sebuah sungai? Bukankah kita tahu air di sungai mengalir dari hulu ke hilir dan akhirnya bermuara ke laut? Air mengalir dari tempat yag tinggi ke tempat yang rendah? Bukankah air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air sungai? Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut letaknya lebih rendah dari sungai. Dengan kata lain bisa kita utarakan, karena laut berani merendah.
Demikian pula sekelumit kehidupan saya bertutur sapa. Dengan penuh rasa syukur kepada Allah, saya telah mencapai banyak sekali kemajuan dalam kehidupan ini. Kalau uang dan jabatan ukurannya, saya memang bukan apa – apa. Saya bukan siapa – siapa. Saya bukan orang hebat. Saya bahkan bukan orang yang dikenal. Namun, kalau rasa syukur ukurannya, Allah pasti tahu dalam klasifikasi manusia macam apa saya ini hidup. Dan semua ini saya peroleh, lebih banyak karena keberanian, dan pemahaman untuk merendah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sodaqoh itu tidak mengurangi harta – benda sedikit pun, dan pemaafnya seseorang itu menjadi penyebab Allah menambahkan kemulian kepadanya, dan sikap rendah hatinya seseorang karena Allah menjadikan Allah mengangkat derajatnya.” (Rowahu Tirmidzi Abwabu bir washilah – K. Adab hal 13).
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti keset yang selalu diinjak-injak orang. Orang yang menyebut demikian hidupnya akan maju, seperti laut, sebab menikmati penciptaan dan situasi yang melingkupinya. Lengkap dengan pencitraannya. Kepercayaan diri telah tumbuh dan berkembang memenuhi gerak serta langkahnya. Merendah. Dan enjoy dengan kehidupan ini. Semilir ditiup angin dan menampung apa saja, semuanya. Bahkan oleh seorang sahabat diberi komentar : 'Kita bertemu Yang Maha Tinggi, ketika kita rendah hati'. Dan kita pun tahu; inna akromakum ‘indallaahi atqookum.
Jadi, mau apalagi yang dicari dalam hidup ini, ketika hati sudah nyegoro dan dihiasi sikap rendah hati.
Oleh :Faizunal Abdillah
Konon, ada seorang turis asing meninggal di Indonesia. Turis ini terkenal kebaikannya tatkala masih hidup. Oleh karena itu Tuhan memberikan kesempatan padanya untuk memilih : mau di surga atau di neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, tempat yang indah tapi sudah teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga maupun neraka, agar tidak tertipu lagi. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk manis sambil membaca kitab suci. Di neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah dengan caddynya yang seksi. Ada tempat wisata yang elok lengkap dengan pemandunya. Singkat cerita, neraka jauh lebih dipenuhi hiburan dan kesenangan dibandingkan surga.
Yakin dengan observasi dan surveynya, maka sang turis tadi pun memutuskan memohon kepada Tuhan untuk tinggal di neraka saja. Namun esok harinya ketika sampai di neraka, dia terkejutnya bukan kepalang. Ternyata di dalamnya berisi orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya. Maka segera proteslah dia pada penjaga neraka yang ternyata juga asli Indonesia ini. Dengan tenang penjaga neraka ini menjawab, 'Kemaren kan hari terakhir kampanye pemilu". Dengan jengkel turis tadi bergumam, 'Dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya, Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Ini hanyalah lelucon, sebagai gambaran kehidupan di sekitar kita. Kehidupan yang penuh dengan tipu - daya. Saling injak, saling sikut yang penting tercapai tujuannya. Yang merasa pinter ngapusi orang – orang bodo. Yang punya kelicikan memanfaatkan orang – orang pinter. Nggak peduli benar, nggak peduli salah yang penting menang dan tersenyum bangga karenanya. Susah mencari orang yang bisa dipercaya. Langka mencari orang yang jujur. Semua selalu ditumpangi dengan seberkas titik rasa curiga. Ada udang dibalik batu, ada maksud dibalik niat. Dan lebih susah lagi mencari figur yang merendah sebagai cerminan percaya diri dan rendah hati, simbol orang yang beruntung dan waspada.
Entah bagaimana dengan pengalaman Anda, alam dengan santunnya memberikan bimbingan yang tak habis – habisnya. Tinggal kesadaran yang membangunkan kita. Hanya masalah waktu. Bukankah kita semua pernah melihat sebuah sungai? Bukankah kita tahu air di sungai mengalir dari hulu ke hilir dan akhirnya bermuara ke laut? Air mengalir dari tempat yag tinggi ke tempat yang rendah? Bukankah air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air sungai? Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut letaknya lebih rendah dari sungai. Dengan kata lain bisa kita utarakan, karena laut berani merendah.
Demikian pula sekelumit kehidupan saya bertutur sapa. Dengan penuh rasa syukur kepada Allah, saya telah mencapai banyak sekali kemajuan dalam kehidupan ini. Kalau uang dan jabatan ukurannya, saya memang bukan apa – apa. Saya bukan siapa – siapa. Saya bukan orang hebat. Saya bahkan bukan orang yang dikenal. Namun, kalau rasa syukur ukurannya, Allah pasti tahu dalam klasifikasi manusia macam apa saya ini hidup. Dan semua ini saya peroleh, lebih banyak karena keberanian, dan pemahaman untuk merendah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sodaqoh itu tidak mengurangi harta – benda sedikit pun, dan pemaafnya seseorang itu menjadi penyebab Allah menambahkan kemulian kepadanya, dan sikap rendah hatinya seseorang karena Allah menjadikan Allah mengangkat derajatnya.” (Rowahu Tirmidzi Abwabu bir washilah – K. Adab hal 13).
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti keset yang selalu diinjak-injak orang. Orang yang menyebut demikian hidupnya akan maju, seperti laut, sebab menikmati penciptaan dan situasi yang melingkupinya. Lengkap dengan pencitraannya. Kepercayaan diri telah tumbuh dan berkembang memenuhi gerak serta langkahnya. Merendah. Dan enjoy dengan kehidupan ini. Semilir ditiup angin dan menampung apa saja, semuanya. Bahkan oleh seorang sahabat diberi komentar : 'Kita bertemu Yang Maha Tinggi, ketika kita rendah hati'. Dan kita pun tahu; inna akromakum ‘indallaahi atqookum.
Jadi, mau apalagi yang dicari dalam hidup ini, ketika hati sudah nyegoro dan dihiasi sikap rendah hati.
Oleh :Faizunal Abdillah
I love You full
Apapun, saya lebih tahu tentang diri saya ketimbang orang lain. Bahkan, mungkin pasangan hidup saya sekalipun. Atau kedua orang tua yang melahirkan saya. Mereka boleh tahu, tapi itu bisa jadi hanya sebagian saja. Tidak comprehenship. Tampak luarnya saja. Lahiriah semata. Sayalah yang lebih faham luar – dalam, bagaimana watak dan karakter saya yang sebenarnya secara menyeluruh. Dimana kekurangan saya dan dimana letak kekuatan diri saya.
Bercermin dari keadaan ini, maka sudah sepatutnya kalau orang yang suka instrospeksi mendapat predikat yang tinggi, baik di mata manusia maupun di sisi Sang Pencipta. Jarang ada orang yang mau berlama – lama memandang ke dalam. Mengupas keborokan – keborokan, membuang duri dengki dan membersihkan aroma iri - benci. Kemudian mau memperbaiki diri, membangun budi pekerti dan menebar wangi kebaikan; amar ma’ruf nahi mungkar ke alam sekitar. Wulang reh. Maka, Rasulullah SAW pun memberikan julukan al-kaisu – orang yang pandai, jika bisa berbuat seperti hal yang demikian.
Terus terang ada rasa rindu yang membuncah untuk bisa memperdalam syukur dalam beribadah ini. Apalagi jika dinasehatkan tentang empat tali keimanan. Ingin segera rasanya menceburkan diri larut dalam lautan ibadah dan berenang dalam alunan gelombang amal sholih. Sebagai wujud syukur, sebagai wujud mempersungguh. Tak henti – hentinya. Tak putus – putus. Untuk sampai pada aras abdan syakuron. Untuk memperoleh gelar ahli dalam ibadah ini. Namun apa dikata, raga ini terasa berat, yang rasanya malah akan tenggelam jika jadi dilemparkan ke samudra amal sholih dan tak akan muncul kembali. Semangat yang tak kunjung padam. Namun hanya sebatas itu. Prakteknya masih nol besar. Maka dalam keadaan seperti itu sering saya katakan, ”Hei awak, kamu pengin masuk surga apa neraka? Kenapa kok males diajak beribadah? Mengapa bot – boten netepi ibadah?”
Ironis. Menyedihkan. Dan di titik ini saya merasakan betapa lemahnya saya. Kepenatan kadang datang membunuh segalanya. Kesibukan kadang malah dicari – cari. Kelonggaran kadang terbuang percuma. Dan kesehatan seperti hal yang biasa, tiada artinya. Alih – alih berlindung dibalik kata pasrah dan mastatho’na, sebenarnya saya punya satu ketakutan. Yaitu kapan saya bisa berucap, ”Ya Allah, i love You full,” seperti kata Mbah Surip dalam setiap kemunculannya. Seiring dengan sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang manisnya iman, yaitu ketika seseorang telah bisa mencintai Allah dan Rasul-Nya mengalahkan cinta pada diri sendiri. Dan mungkin kesempatan terakhir yang masih saya punya adalah pengharapan dan doa agar suatu saat Allah berkenan memberi kekuatan kepada saya nanti untuk bisa berucap; ”Ya Allah, I love You full,” walau dengan lirih......, dari hati yang terdalam: Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasuulullaah.
Oleh :Faizunal abdillah
Kamis, 25 Juni 2009
Gambar Menthol
Pertama – tama saya harus bersyukur. Nggak sreg rasanya kalau meninggalkan syukur. Sudah diberi rejeki Allah, kok malah menggerutu misalnya. Ora ilok. Sudah sewajarnya, pur atawa tinding alias seri, kata orang jawa – kala kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kanjeng Nabi SAW bersabda, sudah nyukupi mrantasi, jika kita mengucakan syukur atas nikmat yang diberikan pada kita. Apalagi sudah lama diajarkan bagaimana menjadi hamba yang banyak syukur. Maka akan jadi kurang ajar, ketika kita merespon sebuah nikmat dengan sikap ngedumel. Itu sudah termasuk dholim, kata Kang Mubaligh. Bahkan bisa dikatakan kufur seperti yang disebutkan dalam Kitabullah, Surat Ibrahim ayat 7; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.".
Nah, sudah sering saya menerima gift dari perusahaan. Mulai dari atas sampai ke bawah. Topi, kemeja, kaos, celana, dasi, ikat pinggang, dompet, sepatu dan perlengkapannya. Semua komplit kecuali satu, daleman alias CD saja yang belum. Ada tas, handuk, mobil – mobilan, dan lainnya. Setahun bisa menerima satu sampai dua kali. Maka, tak putus – putus kesyukuran saya atas keadaan itu. Gratis – tis. Akan tetapi permasalahannya timbul kemudian. Barusan seneng, tapi kemudian langsung murung. Karena diantara gift yang diberikan itu ternyata ada gambar mentholnya. Saya tidak menyebutkan merek, nanti bisa kena cekal, insya allah semua sudah mafhum adanya. Beberapa merek ternama, brandnya tak lain adalah gambar menthol. Mau dipakai ada gambar mentholnya, mau gak dipakai sayang harganya lumayan mahal. Bisa dibayangkan, jika sebuah kaos itu senilai Rp 250.000,- lebih.
Memahami dalil yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini, maka saya mencoba merusak brand tersebut. Memotong bagian gambar menthol, sehingga bisa menyebabkan kematian seandainya dalam keadaan nyata atau hidup. Maka ada yang menghilangkan bagian kepalanya, ini yang umum. Ada juga yang menghilangkan bagian tubuh yang lain. Tapi, bukan hasil bagus yang saya peroleh darinya. Justru menyebabkan koyak di sana – sini, sehingga kaos itu malahan menjadi rusak. Maka dengan berkelakar, seorang teman mubaligh berujar,”Kalau saya tidak saya rusak. Biarin aja. Nanti kalau ada yang tanya jawab saja, sudah saya tusuk dengan jarum sampai mati.” Adaa, aja...!
Dari Aisyah dia berkata, Rasulullah SAW datang dari suatu perjalanan, sedangkan aku telah menutup rak lemariku dengan gorden (kain penutup) yang bergambar (makhluk), lalu ketika beliau melihatnya, serta merta wajah beliau berubah seraya berkata, ‘Wahai Aisyah, manusia paling kerasa adzabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang – orang yang menyamai ciptaan Allah’.” Aisyah lalu berkata, “Lalu kami memotongnya dan menjadikannya satu bantal atau dua bantal.” (Rowahu Bukhory – Muslim)
Nah, daripada ragu, repot dan kena rasa was – was lain yang mungkin hinggap, maka beberapa gift yang membanggakan itu, dengan berat hati, terpaksa berpindah tangan. Seperti cerita Nabi SAW yang membeli baju sutra, kemudian memberikannya kepada Umar bin Khoththob. Membeli boleh, menerima juga boleh. Yang nggak boleh hanya memakainya, untuk sutera bagi kaum lelaki. Demikianlah saya bersikap dengan kaos atau baju yang bergambar menthol ini. Pemberian saya terima. Hadiah saya syukuri dengan senang hati, rasa bangga dan gembira, namun kemudian saya sedekahkan. Buat apa berbangga dengan merek mahal, tetapi bermasalah dengan Sang Pencipta. Setidaknya dengan perbuatan itu saya punya cerita. History, kalau pernah menerima dan memiliki sandang yang bermerek terkenal. Walau hanya sebentar. Mudah – mudahan sikap ini bisa ngepasi firman Allah dalam surat Hujurat ayat 15; Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Oleh ;Fahmi di Jambi
Nah, sudah sering saya menerima gift dari perusahaan. Mulai dari atas sampai ke bawah. Topi, kemeja, kaos, celana, dasi, ikat pinggang, dompet, sepatu dan perlengkapannya. Semua komplit kecuali satu, daleman alias CD saja yang belum. Ada tas, handuk, mobil – mobilan, dan lainnya. Setahun bisa menerima satu sampai dua kali. Maka, tak putus – putus kesyukuran saya atas keadaan itu. Gratis – tis. Akan tetapi permasalahannya timbul kemudian. Barusan seneng, tapi kemudian langsung murung. Karena diantara gift yang diberikan itu ternyata ada gambar mentholnya. Saya tidak menyebutkan merek, nanti bisa kena cekal, insya allah semua sudah mafhum adanya. Beberapa merek ternama, brandnya tak lain adalah gambar menthol. Mau dipakai ada gambar mentholnya, mau gak dipakai sayang harganya lumayan mahal. Bisa dibayangkan, jika sebuah kaos itu senilai Rp 250.000,- lebih.
Memahami dalil yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini, maka saya mencoba merusak brand tersebut. Memotong bagian gambar menthol, sehingga bisa menyebabkan kematian seandainya dalam keadaan nyata atau hidup. Maka ada yang menghilangkan bagian kepalanya, ini yang umum. Ada juga yang menghilangkan bagian tubuh yang lain. Tapi, bukan hasil bagus yang saya peroleh darinya. Justru menyebabkan koyak di sana – sini, sehingga kaos itu malahan menjadi rusak. Maka dengan berkelakar, seorang teman mubaligh berujar,”Kalau saya tidak saya rusak. Biarin aja. Nanti kalau ada yang tanya jawab saja, sudah saya tusuk dengan jarum sampai mati.” Adaa, aja...!
Dari Aisyah dia berkata, Rasulullah SAW datang dari suatu perjalanan, sedangkan aku telah menutup rak lemariku dengan gorden (kain penutup) yang bergambar (makhluk), lalu ketika beliau melihatnya, serta merta wajah beliau berubah seraya berkata, ‘Wahai Aisyah, manusia paling kerasa adzabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang – orang yang menyamai ciptaan Allah’.” Aisyah lalu berkata, “Lalu kami memotongnya dan menjadikannya satu bantal atau dua bantal.” (Rowahu Bukhory – Muslim)
Nah, daripada ragu, repot dan kena rasa was – was lain yang mungkin hinggap, maka beberapa gift yang membanggakan itu, dengan berat hati, terpaksa berpindah tangan. Seperti cerita Nabi SAW yang membeli baju sutra, kemudian memberikannya kepada Umar bin Khoththob. Membeli boleh, menerima juga boleh. Yang nggak boleh hanya memakainya, untuk sutera bagi kaum lelaki. Demikianlah saya bersikap dengan kaos atau baju yang bergambar menthol ini. Pemberian saya terima. Hadiah saya syukuri dengan senang hati, rasa bangga dan gembira, namun kemudian saya sedekahkan. Buat apa berbangga dengan merek mahal, tetapi bermasalah dengan Sang Pencipta. Setidaknya dengan perbuatan itu saya punya cerita. History, kalau pernah menerima dan memiliki sandang yang bermerek terkenal. Walau hanya sebentar. Mudah – mudahan sikap ini bisa ngepasi firman Allah dalam surat Hujurat ayat 15; Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Oleh ;Fahmi di Jambi
Nyeleneh
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat asyik berdiskusi dengan salah seorang kawan lama. Sampailah pada pembahasan surat At-Takaatsur. Dalam tafsir surat At-Takaatsur diceritakan, Bani Adam berkata; ’Ini hartaku, ini milikku, malii malii malii.’ Terus Allah menjawab: ”Hai anak Adam, tidak ada harta bagimu kecuali apa - apa yang telah kau makan dan menjadi kotoran, apa – apa yang kamu pakai dan menjadi gombal dan apa - apa yang kamu teruskan dengan sodaqoh, maka kamu telah menyimpannya.” Nah, betapa kagetnya saya ketika timbul pernyataan bahwa harta yang kita infaqi adalah harta yang sudah rombeng, yang habis pakai. Karena dalil di atas menyebutkan bahwa harta kita adalah seperti pakaian yang telah jadi gombal.
Sebelum memberikan penjelasan dan ”sanggahan” tentunya, saya ingin sekali memahami cara orang – orang yang sampai punya kesimpulan seperti itu. Bagaimana karakternya dan kenapa sampai ’tega’ berkata begitu? Ada apa gerangan? Seperti ada sesuatu yang tersembunyi dari pernyataan itu. Ada yang ingin disampaikan, tapi tak mampu. Ada penghalang yang tak bisa dilampauinya.
Terus – terang saya masih penasaran, ketika ketemu pemahaman – pemahaman yang nyleneh. Kenapa ya, kok bisa begitu? Bagaimana proses timbulnya? Saya tidak bermaksud mencari penghakiman, nyleneh itu salah. Nyleneh itu jelek. Namun semata menikmati dan menghargai perbedaan yang ada. Buat saya semua syah – syah saja. Asal, tidak bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya. Sebab semua ada konsekuensinya.
Kembali pada masalah di atas, intinya adalah masalah infaq. Di kalangan kita, ada pembatasan (plafon) berapa besar yang harus dikeluarkan sebagai infaq dari harta yang kita punya. Besarannya (per***nnya) ditentukan dari harta yang kita punya. Karena harta adalah sesuatu yang telah habis masa pakainya, maka tidak ada lagi infaq. Begitu kira – kira jalan pikirannya. Masuk diakal. Dalam hal ini, juga termasuk yang mempermasalahkan besaran per***nya. Ada yang berpendapat kalau itu tidak ada contohnya dari Nabi SAW. Nah, sekarang kita buktikan.
Dalilnya, infaq itu dari rejeki yang diberikan oleh Allah kepada kita. Wamimmaa rozaqnaahum yunfiquun. Ketika kita mendapatkan rejeki, baik besar maupun kecil, wajib mengeluarkan infaqnya. Wamimma mengandung arti sebagian dari bukan keseluruhannya. Jadi, mau dikeluarkan 1 %, 2 %, 10 %, 25 % atau bahkan 99% boleh – boleh saja, asal masih ada yang tersisa. Jadi tak ada hubungannya dengan harta yang kita punya. Sebagai bandingannya lihat Surat Bani Israil ayat 29; Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Bahkan dalam atsar lainnya kita temui kalau Abu Bakar pernah meninfaqkan seluruh hartanya. Ketika Nabi SAW bertanya, bagaiamana nanti Istri dan keluargamu? Abu Bakar dengan tegas menjawab, ”kuserahkan semua pada Allah dan RasulNya.” Jadi kalau sudah ada contohnya, bahkan sampai ada yang menginfakkan 100%, kenapa yang di bawah itu dipermasalahkan?
Oleh karena itu, dalam pernylenehan ini, kadang saya sampai pada satu kesimpulan; bahwa orang – orang tersebut pasti (mungkin) ingin cari sensasi dan/atau perhatian, kalau tidak pasti pada prinsip pokoke bedho (asal beda) atau memang ada gen tertentu yang mengiringinya. Masak sih? Oh, salah ya...??? Maklum..........tanpa bukti. Atau saya sendiri yang termasuk nyleneh di sini nih,,,, hi, hi, hik.....!!!
Oleh ; Faizunal Abdillah
Sebelum memberikan penjelasan dan ”sanggahan” tentunya, saya ingin sekali memahami cara orang – orang yang sampai punya kesimpulan seperti itu. Bagaimana karakternya dan kenapa sampai ’tega’ berkata begitu? Ada apa gerangan? Seperti ada sesuatu yang tersembunyi dari pernyataan itu. Ada yang ingin disampaikan, tapi tak mampu. Ada penghalang yang tak bisa dilampauinya.
Terus – terang saya masih penasaran, ketika ketemu pemahaman – pemahaman yang nyleneh. Kenapa ya, kok bisa begitu? Bagaimana proses timbulnya? Saya tidak bermaksud mencari penghakiman, nyleneh itu salah. Nyleneh itu jelek. Namun semata menikmati dan menghargai perbedaan yang ada. Buat saya semua syah – syah saja. Asal, tidak bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya. Sebab semua ada konsekuensinya.
Kembali pada masalah di atas, intinya adalah masalah infaq. Di kalangan kita, ada pembatasan (plafon) berapa besar yang harus dikeluarkan sebagai infaq dari harta yang kita punya. Besarannya (per***nnya) ditentukan dari harta yang kita punya. Karena harta adalah sesuatu yang telah habis masa pakainya, maka tidak ada lagi infaq. Begitu kira – kira jalan pikirannya. Masuk diakal. Dalam hal ini, juga termasuk yang mempermasalahkan besaran per***nya. Ada yang berpendapat kalau itu tidak ada contohnya dari Nabi SAW. Nah, sekarang kita buktikan.
Dalilnya, infaq itu dari rejeki yang diberikan oleh Allah kepada kita. Wamimmaa rozaqnaahum yunfiquun. Ketika kita mendapatkan rejeki, baik besar maupun kecil, wajib mengeluarkan infaqnya. Wamimma mengandung arti sebagian dari bukan keseluruhannya. Jadi, mau dikeluarkan 1 %, 2 %, 10 %, 25 % atau bahkan 99% boleh – boleh saja, asal masih ada yang tersisa. Jadi tak ada hubungannya dengan harta yang kita punya. Sebagai bandingannya lihat Surat Bani Israil ayat 29; Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Bahkan dalam atsar lainnya kita temui kalau Abu Bakar pernah meninfaqkan seluruh hartanya. Ketika Nabi SAW bertanya, bagaiamana nanti Istri dan keluargamu? Abu Bakar dengan tegas menjawab, ”kuserahkan semua pada Allah dan RasulNya.” Jadi kalau sudah ada contohnya, bahkan sampai ada yang menginfakkan 100%, kenapa yang di bawah itu dipermasalahkan?
Oleh karena itu, dalam pernylenehan ini, kadang saya sampai pada satu kesimpulan; bahwa orang – orang tersebut pasti (mungkin) ingin cari sensasi dan/atau perhatian, kalau tidak pasti pada prinsip pokoke bedho (asal beda) atau memang ada gen tertentu yang mengiringinya. Masak sih? Oh, salah ya...??? Maklum..........tanpa bukti. Atau saya sendiri yang termasuk nyleneh di sini nih,,,, hi, hi, hik.....!!!
Oleh ; Faizunal Abdillah
Jumat, 19 Juni 2009
Tetangga oh Tetangga
Pernah punya pengalaman membantu tetangga? Tentu, dan saya yakin beragam ceritanya. Banyak yang bertaut, tapi ada juga yang bersambung jadi masalah. Niat awalnya baik membantu, tetapi di seberang sana gayung tak bersambut. Malah saking pedenya mereka bilang, “Kalau nggak mau bantu ya nggak apa – apa. Kok nggak ikhlas, kelihatannya.” Su’udhonnya sudah nongol ke permukaan. Bagaimana tahu ikhlash nggaknya seseorang. Kayak yang Maha Kuasa saja tahu isi hati orang. Malaikat saja give up dalam hal keikhlashan ini.
Jika, niat baik dan amal sholih kita berjalan lancar – lancar saja Alhamdulillah. Itu yang diharapkan. Semoga pahala terus mengalir. Namun jika niat baik dan amal sholih kita menemui rintangan, bersabarlah. Karena darinya akan kita dapatkan pahala yang berlimpah. Besarnya pahala beserta besarnya cobaan, begitu Kanjeng Nabi SAW mengingatkan. Jadi tak usah kecil hati. Lancar nggak lancar hadapi terus sampai tergapai niat baik kita itu. Intinya, langkah proaktif kita yaitu: jangan sakiti tetangga. Jangan sampai mulai duluan. Jangan terprovokasi. Ora ilok.
Beberapa waktu yang lalu istri saya mengeluh, katanya tetangga sebelah yang suka mbantu di rumah nggak bisa datang pagi - pagi. Alasannya masih ngantuk. Terlepas benar enggaknya alasan itu, saya sempat sewot juga. Masak sih! Dan terbersitlah dalam alam pikiran saya sangka jelek padanya. Orang ini pasti malas, masak jam 7 pagi masih tidur. Pantes saja nggak berkembang usahanya, wong kebanyakan tidur. Bagaimana nggak miskin terus, wong nglanggar dalil habis subuh tidur. Dan seterusnya, dan seterusnya bertubi – tubi persangkaan yang tidak baik terhadapnya. Kemudian saya sadar, istighfar – astaghfirullah. Ya Allah ampuni saya yang telah berprasangka jelek terhadap tetangga. Sebab semua itu hanya ilusi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Allah berfirman: Sesungguhnya persangkaan itu tiada bisa menolak sedikitpun terhadap kebenaran. (QS An-Najm: 28).
Yang tadinya saya mau marah, akhirnya sadar. Kepada istri saya bilang, “Ya sudah coba kita cari solusinya dengan jalan lain. Mungkin, setiap malam dia rajin bangun malam. Nggak seperti kita yang banyak terlewat. Dan selepas shubuh, sambil nunggu suami berangkat kerja, nggak ada yang dikerjakan karena memang nggak ada yang harus dikerjakan. Nggak perlu masak sebab nggak ada yang dimasak. Nggak perlu ngepel, nyapu dan bersih – bersih. Makanya dia manfaatkan waktunya untuk rebahan. Yang penting dia masih bisa bantu kita, sesuai waktu yang dia punya. Itu udah syukur pol.”
Rupanya apa yang menjangkiti saya serupa dengan yang menjangkiti pikiran istri saya. Dia sedikit mengundat niat baik dan usaha membantu kami kepadanya. Sebelum berlama – lama, saya cut pembicaraan itu. Saya bilang kepada istri saya, “Sebenarnya pikiran saya juga seperti pikiranmu. Persis. Plek. Tapi itu semua kan persangkaan. Nggak usah diperpanjang. Tetaplah jaga terus niat baik kita dan jangan sakiti tetangga, tetapi bantu dan baikilah tetangga kita. Insya Allah ada jalan lain sebagai gantinya.”
Selang beberapa saat dari kejadian itu, sepertinya Allah memberikan bukti akan persangkaan kami. Tetangga yang lain pun akhirnya buka suara, kalau memang si tetangga itu tiap pagi tidur sampai suaminya pulang berjualan. Alasannya karena memang tidak ada yang dikerjakan. Mau masak nggak ada yang dimasak. Masya Allah…….., tetapi kenapa ketika kita coba membantu dia menolak? Hal ini yang masih mengganjal di hati kami. Sebab tak lain wasiat Rasulullah SAW; ”Tidak termasuk orang iman, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (Rowahu At-Thabrani di dalam Mu’jam Alkabir (12/154), Al-Baihaqi (10/3), Abu Ya’la (5/92)). Bagaimana nasib kami nanti? Dayustkah?
Akhirnya, di kesempatan yang pas, kami tanyakan kepada si tetangga perihal yang di atas tadi. Kenapa tidak mau kerja pagi – pagi dan menerima bantuan kami? Seperti disambar petir, jawaban yang kami dengar dari mulut tetangga kami itu. Katanya, ”Kami malu. Sebab Bapak dan Ibu sudah banyak membantu kami.”
Kami terdiam. Dua mata saya bertemu pandang dengan dua mata istri saya. Kayak pahlawan kesiangan. Untung masih menginjak bumi. ”Ya Allah, jangan kau siksa kami karena nikmat yang telah Engkau berikan kepada kami. Ya Allah tolonglah kami.” Rasa – rasanya kami belum banyak membantu. Tapi apa mau dikata. Kalau memang itu yang dirasa dan keluar dari hati nuraninya, kami tak bisa lagi mengganggunya. Hanya kepadanya saya titipkan pesan, ”Ya sudah kalau begitu, kalau Ibu butuh bantuan ngomong saja. Kalau kami mampu Insya Allah akan kami bantu.”
Pernah saya baca dalam sebuah cerita sufi yang sangat inspiratif bagi saya. Tersebutlah seorang sufi protes kepada Allah ketika dia melihat seorang peminta – minta di pingir jalan. Pakaiannya kumal, rambutnya kusut, bau dan berdebu di sana – sini. ”Ya Allah dimana keadilanMU. Kenapa engkau memberikan peran ini kepada pengemis itu?”
Tak lama terdengarlah sebuah suara sebagai jawabannya, ”Untuk itulah, Aku ciptakan kamu.”
Jadi memang tugas kita untuk berbuat baik kepada tetangga dan sesama. Ya berbuat baik, bukan yang lain.
Oleh :Fahmi di Jambi
Jika, niat baik dan amal sholih kita berjalan lancar – lancar saja Alhamdulillah. Itu yang diharapkan. Semoga pahala terus mengalir. Namun jika niat baik dan amal sholih kita menemui rintangan, bersabarlah. Karena darinya akan kita dapatkan pahala yang berlimpah. Besarnya pahala beserta besarnya cobaan, begitu Kanjeng Nabi SAW mengingatkan. Jadi tak usah kecil hati. Lancar nggak lancar hadapi terus sampai tergapai niat baik kita itu. Intinya, langkah proaktif kita yaitu: jangan sakiti tetangga. Jangan sampai mulai duluan. Jangan terprovokasi. Ora ilok.
Beberapa waktu yang lalu istri saya mengeluh, katanya tetangga sebelah yang suka mbantu di rumah nggak bisa datang pagi - pagi. Alasannya masih ngantuk. Terlepas benar enggaknya alasan itu, saya sempat sewot juga. Masak sih! Dan terbersitlah dalam alam pikiran saya sangka jelek padanya. Orang ini pasti malas, masak jam 7 pagi masih tidur. Pantes saja nggak berkembang usahanya, wong kebanyakan tidur. Bagaimana nggak miskin terus, wong nglanggar dalil habis subuh tidur. Dan seterusnya, dan seterusnya bertubi – tubi persangkaan yang tidak baik terhadapnya. Kemudian saya sadar, istighfar – astaghfirullah. Ya Allah ampuni saya yang telah berprasangka jelek terhadap tetangga. Sebab semua itu hanya ilusi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Allah berfirman: Sesungguhnya persangkaan itu tiada bisa menolak sedikitpun terhadap kebenaran. (QS An-Najm: 28).
Yang tadinya saya mau marah, akhirnya sadar. Kepada istri saya bilang, “Ya sudah coba kita cari solusinya dengan jalan lain. Mungkin, setiap malam dia rajin bangun malam. Nggak seperti kita yang banyak terlewat. Dan selepas shubuh, sambil nunggu suami berangkat kerja, nggak ada yang dikerjakan karena memang nggak ada yang harus dikerjakan. Nggak perlu masak sebab nggak ada yang dimasak. Nggak perlu ngepel, nyapu dan bersih – bersih. Makanya dia manfaatkan waktunya untuk rebahan. Yang penting dia masih bisa bantu kita, sesuai waktu yang dia punya. Itu udah syukur pol.”
Rupanya apa yang menjangkiti saya serupa dengan yang menjangkiti pikiran istri saya. Dia sedikit mengundat niat baik dan usaha membantu kami kepadanya. Sebelum berlama – lama, saya cut pembicaraan itu. Saya bilang kepada istri saya, “Sebenarnya pikiran saya juga seperti pikiranmu. Persis. Plek. Tapi itu semua kan persangkaan. Nggak usah diperpanjang. Tetaplah jaga terus niat baik kita dan jangan sakiti tetangga, tetapi bantu dan baikilah tetangga kita. Insya Allah ada jalan lain sebagai gantinya.”
Selang beberapa saat dari kejadian itu, sepertinya Allah memberikan bukti akan persangkaan kami. Tetangga yang lain pun akhirnya buka suara, kalau memang si tetangga itu tiap pagi tidur sampai suaminya pulang berjualan. Alasannya karena memang tidak ada yang dikerjakan. Mau masak nggak ada yang dimasak. Masya Allah…….., tetapi kenapa ketika kita coba membantu dia menolak? Hal ini yang masih mengganjal di hati kami. Sebab tak lain wasiat Rasulullah SAW; ”Tidak termasuk orang iman, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (Rowahu At-Thabrani di dalam Mu’jam Alkabir (12/154), Al-Baihaqi (10/3), Abu Ya’la (5/92)). Bagaimana nasib kami nanti? Dayustkah?
Akhirnya, di kesempatan yang pas, kami tanyakan kepada si tetangga perihal yang di atas tadi. Kenapa tidak mau kerja pagi – pagi dan menerima bantuan kami? Seperti disambar petir, jawaban yang kami dengar dari mulut tetangga kami itu. Katanya, ”Kami malu. Sebab Bapak dan Ibu sudah banyak membantu kami.”
Kami terdiam. Dua mata saya bertemu pandang dengan dua mata istri saya. Kayak pahlawan kesiangan. Untung masih menginjak bumi. ”Ya Allah, jangan kau siksa kami karena nikmat yang telah Engkau berikan kepada kami. Ya Allah tolonglah kami.” Rasa – rasanya kami belum banyak membantu. Tapi apa mau dikata. Kalau memang itu yang dirasa dan keluar dari hati nuraninya, kami tak bisa lagi mengganggunya. Hanya kepadanya saya titipkan pesan, ”Ya sudah kalau begitu, kalau Ibu butuh bantuan ngomong saja. Kalau kami mampu Insya Allah akan kami bantu.”
Pernah saya baca dalam sebuah cerita sufi yang sangat inspiratif bagi saya. Tersebutlah seorang sufi protes kepada Allah ketika dia melihat seorang peminta – minta di pingir jalan. Pakaiannya kumal, rambutnya kusut, bau dan berdebu di sana – sini. ”Ya Allah dimana keadilanMU. Kenapa engkau memberikan peran ini kepada pengemis itu?”
Tak lama terdengarlah sebuah suara sebagai jawabannya, ”Untuk itulah, Aku ciptakan kamu.”
Jadi memang tugas kita untuk berbuat baik kepada tetangga dan sesama. Ya berbuat baik, bukan yang lain.
Oleh :Fahmi di Jambi
Ngepasi
Yang namanya ngepasi atau kebetulan itu jarang - jarang. Bahkan bisa dikatakan kecil peluang terjadinya. Seumur hidup, mungkin bisa dihitung dengan jari terjadinya peristiwa ngepasi ini. Yang namanya ngepasi itu tidak terus – terusan. Kalau ada yang mengklaim diri, tiap hari ngepasi terus, perlu dilihat lagi apa yang dimaksud dengan ngepasi itu. Sebab salah satu unsur ngepasi itu ada unsur waktu (time response) yang singkat, ada unsur ketidaksengajaan dan unsur kepepet atau kebelet alias pengin banget. Jadi harus bisa membedakan antara ngepasi dengan kegiatan rutinitas.
Terus terang, semua orang pengin hidup dalam keadaan pas – pasan tersebut. Pas pengin kawin, tahu – tahu dilamar gadis cantik yang lama dinanti-nantikan. Bukan nglamar malah dilamar. Pas pengin punya rumah, eh tak tahunya dapat hadiah dari pamannya. Pas pengin punya mobil, ndilalah menang tender proyeknya. Pas pengin anak, ndak lama kemudian istrinya hamil. Kembar lagi anaknya. Kelihatannya indah. Enak dan resep dibacanya. Tapi ini hanya ada dalam dongeng. Itu semua hanya ada dalam film bikinan manusia yang durasinya hanya jam – jaman. Sebab Allah sudah menciptakan segala rupa aturan lengkap, untuk menghiasi dunia ini agar indah dan indah selalu. Dan salah satunya adalah dengan peristiwa ngepasi itu. Seandainya semua orang bisa ngepasi semua, tentu dunia ini nggak indah. Sebab nggak ada dinamika dan usaha. Padahal yang membuat indah yaitu gerak - polah manusia untuk mendapatkan yang diinginkannya itu. Nggak seru, kalau semua serba kebetulan.
Namun di dalam kehidupan seseorang terkadang ada peristiwa – peristiwa yang mengejutkan sekaligus ngepasi. Diantaranya, lagi pas pengin berangkat haji, tahu – tahu dapat hadiah berangkat haji dari kantornya. Malamnya terbersit niat, paginya dapat kupon berangkat haji yang tak disangka - sangka. Peristiwa seperti ini adalah monumental – milestone kehidupan. Nggak lapuk ditelan waktu dan nggak usang ditinggal jaman. Rasanya seperti nggak hilang – hilang. Nggak habis diceritakan dan nggak bosen diulang – ulang. Saking syukur dan saking indahnya rejeki itu. Mengalahkan beribu penderitaan dan perjuangan hidup yang lain. Itulah kuasa Allah dalam mengatur kehidupan ini.
Sebagai timbangan tambahan pengertian simaklah ayat 140 Surat Ali Imron berikut ini. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Kunci ayat ini ada di akhirnya, yaitu Allah tidak suka orang – orang yang dholim. Artinya orang yang pengin menang terus, enak terus dan jaya terus. Sebab itu bertentangan dengan hukum Allah yang memutar hari – hari bagi manusia. Jadi ada kalanya menang, juga ada kalanya kalah. Ada masanya senang, ada masanya susah. Sampai pada ada yang mati mulyo sebagai syuhada. Itulah yang ngepasi dengan dalil dan sunnatullah. Oh ya…?
Oleh :Fahmi di Jambi
Terus terang, semua orang pengin hidup dalam keadaan pas – pasan tersebut. Pas pengin kawin, tahu – tahu dilamar gadis cantik yang lama dinanti-nantikan. Bukan nglamar malah dilamar. Pas pengin punya rumah, eh tak tahunya dapat hadiah dari pamannya. Pas pengin punya mobil, ndilalah menang tender proyeknya. Pas pengin anak, ndak lama kemudian istrinya hamil. Kembar lagi anaknya. Kelihatannya indah. Enak dan resep dibacanya. Tapi ini hanya ada dalam dongeng. Itu semua hanya ada dalam film bikinan manusia yang durasinya hanya jam – jaman. Sebab Allah sudah menciptakan segala rupa aturan lengkap, untuk menghiasi dunia ini agar indah dan indah selalu. Dan salah satunya adalah dengan peristiwa ngepasi itu. Seandainya semua orang bisa ngepasi semua, tentu dunia ini nggak indah. Sebab nggak ada dinamika dan usaha. Padahal yang membuat indah yaitu gerak - polah manusia untuk mendapatkan yang diinginkannya itu. Nggak seru, kalau semua serba kebetulan.
Namun di dalam kehidupan seseorang terkadang ada peristiwa – peristiwa yang mengejutkan sekaligus ngepasi. Diantaranya, lagi pas pengin berangkat haji, tahu – tahu dapat hadiah berangkat haji dari kantornya. Malamnya terbersit niat, paginya dapat kupon berangkat haji yang tak disangka - sangka. Peristiwa seperti ini adalah monumental – milestone kehidupan. Nggak lapuk ditelan waktu dan nggak usang ditinggal jaman. Rasanya seperti nggak hilang – hilang. Nggak habis diceritakan dan nggak bosen diulang – ulang. Saking syukur dan saking indahnya rejeki itu. Mengalahkan beribu penderitaan dan perjuangan hidup yang lain. Itulah kuasa Allah dalam mengatur kehidupan ini.
Sebagai timbangan tambahan pengertian simaklah ayat 140 Surat Ali Imron berikut ini. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Kunci ayat ini ada di akhirnya, yaitu Allah tidak suka orang – orang yang dholim. Artinya orang yang pengin menang terus, enak terus dan jaya terus. Sebab itu bertentangan dengan hukum Allah yang memutar hari – hari bagi manusia. Jadi ada kalanya menang, juga ada kalanya kalah. Ada masanya senang, ada masanya susah. Sampai pada ada yang mati mulyo sebagai syuhada. Itulah yang ngepasi dengan dalil dan sunnatullah. Oh ya…?
Oleh :Fahmi di Jambi
Berdoa
Setiap orang pasti pernah berdoa. Ada yang panjang, ada yang pendek. Ada yang diulang – ulang sehingga jadi panjang, ada juga yang sekali baca sehingga pendek. Ada yang disenangi, ada juga doa yang hanya sekedarnya.
Basa – basi. Maksudnya hanya memenuhi kadar pengguguran kewajiban.
Pelengkap. Contohnya doa pengayoman (?) Ada juga doa yang umum dan doa yang bersifat pribadi. Jama’ ataupun mufrad. Pokoknya banyak macamnyalah, bagaimana sebuah doa itu dipanjatkan. Satu hal yang pasti, bahwa doa adalah sebuah permohonan kepada Allah Yang Maha Esa dan umumnya berisi kebaikan terutama buat sang pelantun doa. Sebab baiknya pelantun doa yang satu, belum tentu sama dengan pelantun doa yang lainnya.
Dalam perjalanannya, doa mirip dengan cuaca. Kala cuaca bagus, hati riang, perasaan padang, orang senang dan berlama – lama dalam memanjatkan doa. Mengulang – ulang, bahkan doa – doa baru pun disenandungkan. Sebaliknya kalau cuaca tidak bagus, timbul malas dan perasaan berat untuk melantunkan doa. Sedikit, pendek dan ogah – ogahan.
Yang sering dibaca pun kalau bisa dan kalau boleh mau diringkas. Rupek.
Serba salah. Maka, kita kenal dengan yang namanya doa sapu jagad.
Katanya, kalau lagi repot, sibuk bin sumpek cukup baca doa itu saja:Robbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah wafil akhiroti hasanah waqiinaa adzaaban naar. Itu sudah mencukupi, desahnya.
Perilaku – perilaku dalam berdoa perlu kita cermati. Doa adalah ibadah.
Dalil yang lain mengatakan bahwa doa adalah otaknya ibadah. Sebisa mungkin kita benar – benar bisa mengandalkan doa – dao kita. Sebisa mungkin kita benar – benar yakin dengan doa kita. Sebisa mungkin kita tahu apa yang kita baca dalam doa. Sebisa mungkin kita khusyu’ dalam berdoa. Jangan ceroboh. Jangan ngelantur atau malah ngalamun. Seperti keadaan cuaca itu, maka Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang menyenangkan baginya jika Allah mengabulkan doanya dikala berat dan susah, maka perbanyaklah doa di waktu longgar.” (Rowahu at-Tirmidzi dari Abu Huroiroh)
Terlepas dari kualitasnya, sekarang coba kita hitung berapa banyak
(quantity) doa yang kita panjatkan. Terus – terang saya termasuk orang ”
irian” terhadap doa. Maksudnya timbul perasaan iri ketika banyak doa – doa yang secara makna sangat indah dan bagus, tapi belum bisa saya amalkan dan hafalkan. Apalagi di situ diterangkan fadhilah – fadhilahnya. Rasanya pengin banget bisa mengamalkan doa itu, tetapi apa daya. Ketika sudah mengamalkan dan menghafalkannya, beberapa saat kemudian melupakannya, ketika datang lagi sekumpulan doa baru yang, lagi – lagi menurut saya, – sangat indah dan menarik. Terus begitu. Akhirnya saya mencoba mengoreksi kembali apa yang salah dengan diri ini.
Dari serangkaian instrospeksi, saya menemukan beberapa fakta. Pertama, ternyata dari banyak keadaan dan kelakuan, sering kali saya memanjatkan doa dengan kondisi tergesa – gesa. Tergesa – gesa membacanya, tergesa – gesa segera menyambung dengan doa yang lain, bahkan tergesa – gesa untuk segera mencapai hitungan yang ditentukan, seperti 3 kali, 7 kali dan sebagainya. Kadang, juga tergesa – gesa karena ditunggu kerjaan. Dalam hal ini saya hanya butuh sedikit kesabaran untuk menghadapinya. Yang kedua, ternyata banyak tidak khusyu’nya ketika berdoa. Acapkali habis berdoa, belahan jiwa saya bertanya, tadi doa yang ini udah dibaca belum ya? Kayaknya belum? Bahkan saking erornya, pernah hati berbisik, tadi doa apa ya? Masya Allah. Kalau yang berdoa sendiri tidak tahu apa yang dipanjatkan, bagaimana yang mau mengabulkan? Dalam hal ini saya memahami betul, kenapa dilarang berdoa, sholat atau kegiatan lain ketika sedang ngantuk. Sebab ia setengah sadar, antara tahu dan tidak tahu apa yang diperbuatnya. Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya sederhana saja cukup konsentrasi. Kata – katanya saja yang mudah, aplikasinya silahkan coba sendiri. Susah toh? Namun harus tetap dilatih dengan penuh kesadaran dan kesabaran. Apapun, dua hal itulah yang sangat perlu dilakukan dalam berdoa agar kita yakin, tambah yakin, ngimel, mantap, senang, berlama – lama, rajih dan dijamin terkabulnya doa.
Tapi bagaimana dengan sering gonta – ganti doa? Ah, ternyata itu sudah biasa. Banyak orang yang mengalaminya. Yang penting dari sekian banyak itu tentu ada yang jadi menu rutin dan pilihan utama, sesuai selera.
Sebab yang saya tahu, ada yang suka doa ini, ada yang suka doa itu, ada yang begini, ada yang begitu. Mungkin hanya satu yang tak ada yang suka melantunkannya, yaitu doa Nabi SAW berikut ini: Allohumma ahyinii miskinan, wa amitnii miskinan wab’atsnii fii zumrotal masaakiin (Ya Allah hidupilah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkan aku bersama golongannya orang miskin).
Benarkah ?
Oleh :Faizunal Abdillah
Esai Kehidupan10
Kalau kita sadar, sebenarnya kita dituntun menjadi orang yang banyak syukur. Kita dididik menjadi ahli syukur, pinter syukur. Coba kita renungkan kembali kalimat Alhamdulillah yang kita baca sehabis sholat. Berapa kali kita baca? Sebanyak 33 kali sehabis sholat. Artinya secara lisan kita dilatih mengucapkan syukur kepada Allah – dengan mengucap kalimat Alhamdulillah - segala puji bagi Allah. Nah, ini adalah pranata yang kita tunaikan setiap hari.
Nah, mendalami tahmid ini membukakan satu lagi pintu rahasia menggapai kebahagiaan. Yaitu mensyukuri setiap pemberian yang Allah berikan kepada kita. Mensyukuri setiap keadaan yang kita temui dalam kehidupan ini. Orang yang bahagia adalah orang yang senantiasa mengucapkan syukur alhamdulillah. Dimulai dari ucapan kemudian ke perbuatan. Bersyukur setiap waktu. Menikmati hidup ini. Seberat apapun hari yang kita alami pasti ada nikmat yang bisa kita syukuri di dalamnya. Jangan pernah menyerah untuk menjadi orang yang banyak syukur. Jangan sampai tertutup nikmat Allah yang diberikan ke kita oleh yang lain.
Hidup banyak digambarkan seperti air mengalir. Dari semenjak jatuh dari langit lewat awan hujan, air berjalan mencari sungai sebagai induknya. Di sungai air terus mengalir dari hulu ke hilir. Tak pernah berhenti. Ada kalanya dia berguling ke kiri dan ke kanan. Sebelah pinggir kanan kali bernama kesenangan, sebelahnya lagi bernama kesedihan. Sebagaimana kehidupan yang sebenarnya, ada saatnya kita terhenti di pinggir kali kesenangan, ada kalanya terhenti di pinggir kali kesedihan. Apapun nama dan jenis pinggir kalinya, tidak perduli kita sedang senang atau sedih, laju kehidupan akan senantiasa berjalan. Sehingga, siapa saja yang memusatkan perhatian pada pemberhentian sementara di pinggir kali (dunia), ia pasti tidak puas. Ia tidak bahagia. Sebab, pinggiran kali hanyalah bentuk lain dari kesementaraan. Keabadian dalam bentuk kesyukuran ada dalam kenikmatan untuk mengalir dengan sang perubahan yaitu qodar Allah, hingga akhirnya berujung di laut biru akhir kehidupan.
Sebuah cerita inspiratif berikut ini patut dijadikan acuan sebagai bentuk pemahaman kesyukuran terhadap hidup dan kehidupan serta bagaimana memainkannya. Suatu ketika seorang Ibu berniat pergi mengunjungi putranya di pulau seberang. Dipilihlah kapal laut sebagai mode transportasinya. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan datanglah cuaca buruk dan badai sehingga kapal yang ditumpangi si Ibu tersebut tenggelam. Alih – alih panik melihat situasi yang terjadi, si Ibu terlihat tenang dan penuh senyum menghadapi situasi yang terjadi. Ketika penumpang yang lain berebut menyelamatkan diri, si Ibu tetap tegar. Akhirnya si Ibu selamat setelah terombang – ambing di laut selama sepekan, dengan bergantung pada sebilah papan. Merasa penasaran dengan ketenangan si Ibu ini dalam menghadapai situasi yang genting, salah seorang regu penolong bertanya, ” Apa yang membuat ibu bisa bertahan menghadapi cuaca sangat buruk seperti ini?”
”Begini, saya punya dua putra. Yang satu sudah meninggal dan satunya lagi tinggal di seberang. Jika dalam perjalanan saya ini akhirnya saya mati, maka saya akan bersyukur dan berbahagia sebab saya segera menyusul anak saya di surga. Sedangkan bila saya selamat sampai ke seberang, maka saya pun bersyukur dan berbahagia karena akan bertemu dengan anak saya di sana,” kata si Ibu membuka rahasianya.
Dari keadaan dengan pilihan yang mengancam nyawa pun, masih ada celah untuk menegakkan kebaikan dan bersyukur di dalamnya. Nah, bagaimana dengan situasi yang lain, cerita berikut boleh ditiru.
Suatu hari Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham, ''Bagaimana model kehidupan Anda?''
Ibrahim menjawab, ''Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.''
''Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurasan,'' timpal Syaqiq.
Ibrahim terhenyak dan kemudian bertanya, ''Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?''
Syaqiq menjawab, ''Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.'' (Kisah dalam kitab Nafahat al-Uns).
Nah, model – model seperti inilah yang perlu dihayati dan dimaknai dalam rangka memperoleh hidup penuh kesyukuran dan kebahagiaan. Dan mulailah dengan meresapi dan menghayati setiap kalimat tahmid yang kita ucapkan setiap hari. Sebagai pembanding simaklah firman Allah dalam surat Yunus ayat 10 berikut ini;
Do'a mereka di dalam surga ialah: "Subhaanakallaahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin".
Mungkin menjadi jelas sekarang bagi kita kefadholan tasbih dan tahmid yang bukan hanya sekedar wirid ataupun pembuka dan penutup doa.
Oleh :Fahmi di Jambi
Nah, mendalami tahmid ini membukakan satu lagi pintu rahasia menggapai kebahagiaan. Yaitu mensyukuri setiap pemberian yang Allah berikan kepada kita. Mensyukuri setiap keadaan yang kita temui dalam kehidupan ini. Orang yang bahagia adalah orang yang senantiasa mengucapkan syukur alhamdulillah. Dimulai dari ucapan kemudian ke perbuatan. Bersyukur setiap waktu. Menikmati hidup ini. Seberat apapun hari yang kita alami pasti ada nikmat yang bisa kita syukuri di dalamnya. Jangan pernah menyerah untuk menjadi orang yang banyak syukur. Jangan sampai tertutup nikmat Allah yang diberikan ke kita oleh yang lain.
Hidup banyak digambarkan seperti air mengalir. Dari semenjak jatuh dari langit lewat awan hujan, air berjalan mencari sungai sebagai induknya. Di sungai air terus mengalir dari hulu ke hilir. Tak pernah berhenti. Ada kalanya dia berguling ke kiri dan ke kanan. Sebelah pinggir kanan kali bernama kesenangan, sebelahnya lagi bernama kesedihan. Sebagaimana kehidupan yang sebenarnya, ada saatnya kita terhenti di pinggir kali kesenangan, ada kalanya terhenti di pinggir kali kesedihan. Apapun nama dan jenis pinggir kalinya, tidak perduli kita sedang senang atau sedih, laju kehidupan akan senantiasa berjalan. Sehingga, siapa saja yang memusatkan perhatian pada pemberhentian sementara di pinggir kali (dunia), ia pasti tidak puas. Ia tidak bahagia. Sebab, pinggiran kali hanyalah bentuk lain dari kesementaraan. Keabadian dalam bentuk kesyukuran ada dalam kenikmatan untuk mengalir dengan sang perubahan yaitu qodar Allah, hingga akhirnya berujung di laut biru akhir kehidupan.
Sebuah cerita inspiratif berikut ini patut dijadikan acuan sebagai bentuk pemahaman kesyukuran terhadap hidup dan kehidupan serta bagaimana memainkannya. Suatu ketika seorang Ibu berniat pergi mengunjungi putranya di pulau seberang. Dipilihlah kapal laut sebagai mode transportasinya. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan datanglah cuaca buruk dan badai sehingga kapal yang ditumpangi si Ibu tersebut tenggelam. Alih – alih panik melihat situasi yang terjadi, si Ibu terlihat tenang dan penuh senyum menghadapi situasi yang terjadi. Ketika penumpang yang lain berebut menyelamatkan diri, si Ibu tetap tegar. Akhirnya si Ibu selamat setelah terombang – ambing di laut selama sepekan, dengan bergantung pada sebilah papan. Merasa penasaran dengan ketenangan si Ibu ini dalam menghadapai situasi yang genting, salah seorang regu penolong bertanya, ” Apa yang membuat ibu bisa bertahan menghadapi cuaca sangat buruk seperti ini?”
”Begini, saya punya dua putra. Yang satu sudah meninggal dan satunya lagi tinggal di seberang. Jika dalam perjalanan saya ini akhirnya saya mati, maka saya akan bersyukur dan berbahagia sebab saya segera menyusul anak saya di surga. Sedangkan bila saya selamat sampai ke seberang, maka saya pun bersyukur dan berbahagia karena akan bertemu dengan anak saya di sana,” kata si Ibu membuka rahasianya.
Dari keadaan dengan pilihan yang mengancam nyawa pun, masih ada celah untuk menegakkan kebaikan dan bersyukur di dalamnya. Nah, bagaimana dengan situasi yang lain, cerita berikut boleh ditiru.
Suatu hari Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham, ''Bagaimana model kehidupan Anda?''
Ibrahim menjawab, ''Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.''
''Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurasan,'' timpal Syaqiq.
Ibrahim terhenyak dan kemudian bertanya, ''Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?''
Syaqiq menjawab, ''Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.'' (Kisah dalam kitab Nafahat al-Uns).
Nah, model – model seperti inilah yang perlu dihayati dan dimaknai dalam rangka memperoleh hidup penuh kesyukuran dan kebahagiaan. Dan mulailah dengan meresapi dan menghayati setiap kalimat tahmid yang kita ucapkan setiap hari. Sebagai pembanding simaklah firman Allah dalam surat Yunus ayat 10 berikut ini;
Do'a mereka di dalam surga ialah: "Subhaanakallaahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin".
Mungkin menjadi jelas sekarang bagi kita kefadholan tasbih dan tahmid yang bukan hanya sekedar wirid ataupun pembuka dan penutup doa.
Oleh :Fahmi di Jambi
Kamis, 18 Juni 2009
CUKUPLAH KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN
"Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!" (HR. Tirmidzi)"
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.
Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.
Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) dating azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.."
2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan 'habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naïf kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Islam menggariskan bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
"Ad-Dun-ya mazra'atul lil akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.
oleh :Heri_Lantabur
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.
Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.
Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) dating azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.."
2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan 'habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naïf kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Islam menggariskan bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
"Ad-Dun-ya mazra'atul lil akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.
oleh :Heri_Lantabur
Esai Kehidupan9
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ.( الحديد اية 20)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan lahwun (suatu yang melalaikan) , perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamnya mengagumkan para petani ; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur . Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang sangat dan ampunan dari Allah serta ridhaNYA . Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al Hadid :20)
Sesungguhnya dengan ayat ini Allah telah Woro-woro (:mengumumkan) tentang apa yang sedang kita jalani dan apa yang akan kita jalani dalam waktu-waktu selanjutnya. Kita telah melewati alam rahim yang sebelumnya kita berasal dari tulang tsulbi, alam dunia yang sekarang sedang kita jalani adalah sebagai kelanjutan dari alam rahim. Entah kapan tidak ada satupun “nafsin” yang tahu persis akan kepindahannya dari alam dunia yang sekarang ini sedang dijalaninya. Tapi kita semua orang iman telah tahu dan sadar betul bahwa alam dunia yang sedang kita jalani ini adalah merupakan bagian dari perjalanan panjang manusia menuju hidup yang sesungguhnya “innal aisya aisyal akhiroh” yaitu kehidupan akhirat setelah sebelumnya kita melalui alam kubur dan qiyamat.
Inilah kehidupan kita. Permisalanya adalah seperti halnya Woro-woro dan pengumuman atau edaran dari pemerintah DKI Jakarta : “ ……diberitahukan bahwa seluruh kawasan Jalan Mawar Jaksel akan digusur untuk pelebaran sungai dalam rangka antisipasi banjir tahunan yang melanda Jakarta, untuk itu diperintahkan kepada seluruh warga Jl. Mawar Jaksel, paling lambat satu bulan setelah diterimanya ‘dana gusuran’ tepatnya tanggal 16 Agustus 2009, sudah harus mengosongkan tempat tinggalnya…….”
Maka bagi warga yang pandai dan cerdas, disamping dalam kehidupan sehari-hari tetap mengerjakan pekerjaan rutin seperti biasa, dia akan memikirkan dan mempersiapkan, mencari “tempat tinggal baru “ untuk setelah tidak lagi tinggal lagi di Jl. Mawar yaitu setelah tgl 16 Agustus 2009 nanti.
Tetapi ternyata ada sebagian warga yang malah belanja semen, pasir, besi, granit, marmer untuk melebarkan dan memperindah rumahnya (yg akan kena gusur itu) tanpa berfikir dan ingat akan tinggal dimana setelah digusur bulan agustus nanti .sehingga jadilah dia pada setelah tggl 16 Agt 2009 nanti orang yang “NGAPLO” (:bengong dan menyesal karna gak berdaya dan gak punya apa-apa), bahkan jadi “MBAMBUNG” (:terlantar, sengsara dan menderita). inilah orang yang merugi. ___na’udzubillahi mindzalik.
Untuk itu, Alhamdulillah….kita perbanyak syukur kepada Allah. Jalan kita (insya-a LLAH) masih panjang. Kesempatan kita masih luas terbentang. Nikmat dan KaruniaNYA berupa Hidayah yang ada pada kita, kesehatan, kesempatan dan kesadaran kita akan semuanya itu adalah modal yang sangat berharga dalam perjalanan panjang kita meraih kebahagian yang hakiki di akhirat nanti.
Tidak ada kata terlambat sebelum malaikat peniup terompet melaksanakan perintahNYA utk meniup terompetnya. Tidak ada satupun makhluk yang memiliki kesempurnaan. Karena hanya milik Allah lah kesempurnaan itu.
Permasalahan dalam kehidupan adalah ”vitamin” bagi orang iman. Liku-liku dan warna-warni yang kita jumpai dalam kehidupan ini harus kita nikmati dan syukuri. Karna bahkan penderitaan dan kepelikan sepelik apapun akan menjadi nikmat manakala kita nikmati. Dan ”wala tadzunnu dzonna sau’ wakuntum qoumamburo.....”__ jangan sedetikpun kalian berburuk sangka terhadap Allah....__ karena : ”Ana ma’a dzonni abdi bi”. .......Saya (Allah) beserta persangkaan hambaku padaku......
Syukur akan nikmatNYA adalah berterima kasih dengan pujian dan bersungguh-sungguh menjalankan perintahNYA serta menjauhi laranganNYA.
Oleh :Faizunal Abdillah
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan lahwun (suatu yang melalaikan) , perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamnya mengagumkan para petani ; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur . Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang sangat dan ampunan dari Allah serta ridhaNYA . Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al Hadid :20)
Sesungguhnya dengan ayat ini Allah telah Woro-woro (:mengumumkan) tentang apa yang sedang kita jalani dan apa yang akan kita jalani dalam waktu-waktu selanjutnya. Kita telah melewati alam rahim yang sebelumnya kita berasal dari tulang tsulbi, alam dunia yang sekarang sedang kita jalani adalah sebagai kelanjutan dari alam rahim. Entah kapan tidak ada satupun “nafsin” yang tahu persis akan kepindahannya dari alam dunia yang sekarang ini sedang dijalaninya. Tapi kita semua orang iman telah tahu dan sadar betul bahwa alam dunia yang sedang kita jalani ini adalah merupakan bagian dari perjalanan panjang manusia menuju hidup yang sesungguhnya “innal aisya aisyal akhiroh” yaitu kehidupan akhirat setelah sebelumnya kita melalui alam kubur dan qiyamat.
Inilah kehidupan kita. Permisalanya adalah seperti halnya Woro-woro dan pengumuman atau edaran dari pemerintah DKI Jakarta : “ ……diberitahukan bahwa seluruh kawasan Jalan Mawar Jaksel akan digusur untuk pelebaran sungai dalam rangka antisipasi banjir tahunan yang melanda Jakarta, untuk itu diperintahkan kepada seluruh warga Jl. Mawar Jaksel, paling lambat satu bulan setelah diterimanya ‘dana gusuran’ tepatnya tanggal 16 Agustus 2009, sudah harus mengosongkan tempat tinggalnya…….”
Maka bagi warga yang pandai dan cerdas, disamping dalam kehidupan sehari-hari tetap mengerjakan pekerjaan rutin seperti biasa, dia akan memikirkan dan mempersiapkan, mencari “tempat tinggal baru “ untuk setelah tidak lagi tinggal lagi di Jl. Mawar yaitu setelah tgl 16 Agustus 2009 nanti.
Tetapi ternyata ada sebagian warga yang malah belanja semen, pasir, besi, granit, marmer untuk melebarkan dan memperindah rumahnya (yg akan kena gusur itu) tanpa berfikir dan ingat akan tinggal dimana setelah digusur bulan agustus nanti .sehingga jadilah dia pada setelah tggl 16 Agt 2009 nanti orang yang “NGAPLO” (:bengong dan menyesal karna gak berdaya dan gak punya apa-apa), bahkan jadi “MBAMBUNG” (:terlantar, sengsara dan menderita). inilah orang yang merugi. ___na’udzubillahi mindzalik.
Untuk itu, Alhamdulillah….kita perbanyak syukur kepada Allah. Jalan kita (insya-a LLAH) masih panjang. Kesempatan kita masih luas terbentang. Nikmat dan KaruniaNYA berupa Hidayah yang ada pada kita, kesehatan, kesempatan dan kesadaran kita akan semuanya itu adalah modal yang sangat berharga dalam perjalanan panjang kita meraih kebahagian yang hakiki di akhirat nanti.
Tidak ada kata terlambat sebelum malaikat peniup terompet melaksanakan perintahNYA utk meniup terompetnya. Tidak ada satupun makhluk yang memiliki kesempurnaan. Karena hanya milik Allah lah kesempurnaan itu.
Permasalahan dalam kehidupan adalah ”vitamin” bagi orang iman. Liku-liku dan warna-warni yang kita jumpai dalam kehidupan ini harus kita nikmati dan syukuri. Karna bahkan penderitaan dan kepelikan sepelik apapun akan menjadi nikmat manakala kita nikmati. Dan ”wala tadzunnu dzonna sau’ wakuntum qoumamburo.....”__ jangan sedetikpun kalian berburuk sangka terhadap Allah....__ karena : ”Ana ma’a dzonni abdi bi”. .......Saya (Allah) beserta persangkaan hambaku padaku......
Syukur akan nikmatNYA adalah berterima kasih dengan pujian dan bersungguh-sungguh menjalankan perintahNYA serta menjauhi laranganNYA.
Oleh :Faizunal Abdillah
Rabu, 17 Juni 2009
Bangun Pagi
Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi.. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.
Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.
Apakah terbitnya matahari itu indah? Wow, luar biasa. Bagi kita
yang sibuk dengan kerja, pergi petang, pulang juga petang, sempatkanlah
untuk bisa menikmatinya. Nikmatilah indahnya pagi, kala mentari hendak
berangkat meninggi. Sejuta kesan dan pemahaman begitu banyak terungkap
di kala menyambut pagi, seperti sebait tembang dari guru SD saya ini;
ayam berkokok bersahutan
kelelawar kembali ke persembunyian
takut datangnya siang/kesiangan
di timur sudah memerah, dst..
Setidaknya setiap akhir pekan, ketika saya berkumpul dengan
keluarga, saya pasti bisa menikmati indahnya pagi. Selepas subuh, sikecil sudah minta ditemani keluar rumah mengitari jalan komplek rumah kami. Dengan kayuhan sepeda, kami menyusuri lorong pagi hari dengan berkah yang banyak sekali. Udara segar, terasa murni tanpa polusi. Ada tetesan embun yang bening, menebar aroma dingin dan membuat sejuk serta adem di hati. Cess, meredam sisa – sisa amarah yang tertinggal. Kemudian udara diselimuti sedikit hamparan kabut lembut temaram, yang membuat mata menari - nari waspada dan enggan untuk memejam kembali. Pemandangan
yang elok. Nuansa putih. Ada tiupan angin sepoi – sepoi, tak bersuara, menusuk pori – pori. Kicau burung, kokok ayam berlomba – lomba ‘pamer diri’, seolah menirukan kontes – kontes yang ada di tv. Merdu dan membawa wujud syukur menyambut pagi.
Kemudian nun jauh di atas sana, awan bersolek, berubah dari warna aslinya. Ketika datang pagi, awan berbaju warna seiring sorot sinar matahari. Awalnya yang gelap - hitam, kemudian sedikit benderang dengan balutan warna kemerahan di sekujur sisinya. Semakin lama semakin terang, jelas memerah, kemudian sedikit demi sedikit jingga beraduk. Dan lamat –lamat merekahlah bulatan merah di garis cakarawala. Semakin lama
– semakin sempurna bulatnya dan tampaklah warna kekuningan - kuningan di sekitar awan, menggusur warna jingga dan merah sebelumnya. Akhirnya terang - benderang. Matahari menampakkan dirinya untuk menandai dimulainya hidup baru yang penuh semangat dan vitalitas. Matahari adalah symbol gagah dan berani. Dengan warna merah total yang tak tertandingi di pagi hari. Dialah matahari, menyapa alam semesta dan negeri ini.
Di saat itulah, saya merasakan banyak nikmat Allah yang terlewatkan begitu saja. Di pagi itulah, banyak penyegaran akan pemahaman hidup ini bermunculan. Dan waktu itulah, saya sadar bahwa banyak ayat-ayat Allah yang bisa saya deres kembali lewatnya. Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam
dan siang niscaya jadi ayat bagi orang – orang yang berakal. (QS AliImron ayat 190). Allahu Akbar.
Pertama, saya teringat pelajaran tentang waktu sholat. Ketika saya tanya anak saya yang paling gede, kapan waktu shubuh? Dengan spontan dia jawab, dari jam 4.30 sampai jam 6.00 pagi. Jawaban yang jujur dan mewakili (kebanyakan). Sekarang muslim jarang yang mengetahuidengan pasti bagaimana tuntunan Nabi SAW dalam menentukan waktu sholat. Hadist yang ada sudah dikonversi ke jam, menit dan detik. Buat apa capek
– capek mesti memperhatikan matahari, kan sudah ada jam? Begitulah kira
– kira opini orang masa kini. Buat apa meski mengintip matahari jika
bangun kesiangan? Kalau jarum jam masih belum di angka 6 dan kamar masih gelap, pasti masih waktu shubuh? Nah, timbullah menyepelekan diri. Melupakan ajaran yang hakiki. Padahal kalau mau, menikmati pagi hari itu mudah dan gampang sekali. Apalagi kalau cuma melongok matahari. Sejatinya Rasulullah SAW mengajarkan bahwa waktu subuh itu ketika terbit fajar sampai sebelum terbitnya matahari. Tentunya, setiap muslim
harusnya bisa menikmati datangnya pagi setiap hari. Bahkan menyambutnya dengan dua rekaat sebelum sholat shubuh yang lebih baik daripada dunia dan seisinya ini.
Kedua, saya teringat salah satu doa Nabi SAW, Allahumma barik liummatii fii bukuurihaa – Ya Allah berilah kebarokahan bagi ummatku di dalam pagi – pagiannya (Kitabul Ahkam hal 26. Hadits no 49, dari Shokhr Alghomidi). Doa yang meresap. Dalam. masuk dan nempel kayak prangko. Memberikan motivasi dan kesegeran yang luar biasa abadi. Ajaran yang luhur, yang harusnya membuat manusia selalu bersemangat dalam hidup.Sebab mendapat doa Nabi. Tidak loyo dan tidak malas. Ketiga,mensyukuri dan menikmati hidup ini. Bahwa penciptaan langit dan bumi serta perselisihan malam dan siang adalah ayat Allah Yang Maha Tinggi. Marilah kita nikmati. Marilah kita syukuri. Jangan biarkan anugerah yang besar ini lewat begitu saja setiap hari. Sebab suasana pagi bisa menghilangkan jiwa yang penat. Dia mengusir gundah pikiran, menghilangkan malas dari badan dan kebaikan lain seiring datangnya pagi.
Marilah kita ikuti. Programlah hidup kita ini mengikuti pola alam semesta yang penuh kebarokahan ini. Penuh kesempurnaan, sehingga kita bisa berucap: keindahan alami untuk kebaikan diri. Karena sesungguhnya suguhan pagi hari adalah merupakan hukum – hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semesta ini. Ia tidak akan berganti sebelum Allah menitahkan perubahannya. Oleh karenanya, mari nikmati bangun pagi …!
oleh : Heri_Lantabur
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi.. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.
Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.
Apakah terbitnya matahari itu indah? Wow, luar biasa. Bagi kita
yang sibuk dengan kerja, pergi petang, pulang juga petang, sempatkanlah
untuk bisa menikmatinya. Nikmatilah indahnya pagi, kala mentari hendak
berangkat meninggi. Sejuta kesan dan pemahaman begitu banyak terungkap
di kala menyambut pagi, seperti sebait tembang dari guru SD saya ini;
ayam berkokok bersahutan
kelelawar kembali ke persembunyian
takut datangnya siang/kesiangan
di timur sudah memerah, dst..
Setidaknya setiap akhir pekan, ketika saya berkumpul dengan
keluarga, saya pasti bisa menikmati indahnya pagi. Selepas subuh, sikecil sudah minta ditemani keluar rumah mengitari jalan komplek rumah kami. Dengan kayuhan sepeda, kami menyusuri lorong pagi hari dengan berkah yang banyak sekali. Udara segar, terasa murni tanpa polusi. Ada tetesan embun yang bening, menebar aroma dingin dan membuat sejuk serta adem di hati. Cess, meredam sisa – sisa amarah yang tertinggal. Kemudian udara diselimuti sedikit hamparan kabut lembut temaram, yang membuat mata menari - nari waspada dan enggan untuk memejam kembali. Pemandangan
yang elok. Nuansa putih. Ada tiupan angin sepoi – sepoi, tak bersuara, menusuk pori – pori. Kicau burung, kokok ayam berlomba – lomba ‘pamer diri’, seolah menirukan kontes – kontes yang ada di tv. Merdu dan membawa wujud syukur menyambut pagi.
Kemudian nun jauh di atas sana, awan bersolek, berubah dari warna aslinya. Ketika datang pagi, awan berbaju warna seiring sorot sinar matahari. Awalnya yang gelap - hitam, kemudian sedikit benderang dengan balutan warna kemerahan di sekujur sisinya. Semakin lama semakin terang, jelas memerah, kemudian sedikit demi sedikit jingga beraduk. Dan lamat –lamat merekahlah bulatan merah di garis cakarawala. Semakin lama
– semakin sempurna bulatnya dan tampaklah warna kekuningan - kuningan di sekitar awan, menggusur warna jingga dan merah sebelumnya. Akhirnya terang - benderang. Matahari menampakkan dirinya untuk menandai dimulainya hidup baru yang penuh semangat dan vitalitas. Matahari adalah symbol gagah dan berani. Dengan warna merah total yang tak tertandingi di pagi hari. Dialah matahari, menyapa alam semesta dan negeri ini.
Di saat itulah, saya merasakan banyak nikmat Allah yang terlewatkan begitu saja. Di pagi itulah, banyak penyegaran akan pemahaman hidup ini bermunculan. Dan waktu itulah, saya sadar bahwa banyak ayat-ayat Allah yang bisa saya deres kembali lewatnya. Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam
dan siang niscaya jadi ayat bagi orang – orang yang berakal. (QS AliImron ayat 190). Allahu Akbar.
Pertama, saya teringat pelajaran tentang waktu sholat. Ketika saya tanya anak saya yang paling gede, kapan waktu shubuh? Dengan spontan dia jawab, dari jam 4.30 sampai jam 6.00 pagi. Jawaban yang jujur dan mewakili (kebanyakan). Sekarang muslim jarang yang mengetahuidengan pasti bagaimana tuntunan Nabi SAW dalam menentukan waktu sholat. Hadist yang ada sudah dikonversi ke jam, menit dan detik. Buat apa capek
– capek mesti memperhatikan matahari, kan sudah ada jam? Begitulah kira
– kira opini orang masa kini. Buat apa meski mengintip matahari jika
bangun kesiangan? Kalau jarum jam masih belum di angka 6 dan kamar masih gelap, pasti masih waktu shubuh? Nah, timbullah menyepelekan diri. Melupakan ajaran yang hakiki. Padahal kalau mau, menikmati pagi hari itu mudah dan gampang sekali. Apalagi kalau cuma melongok matahari. Sejatinya Rasulullah SAW mengajarkan bahwa waktu subuh itu ketika terbit fajar sampai sebelum terbitnya matahari. Tentunya, setiap muslim
harusnya bisa menikmati datangnya pagi setiap hari. Bahkan menyambutnya dengan dua rekaat sebelum sholat shubuh yang lebih baik daripada dunia dan seisinya ini.
Kedua, saya teringat salah satu doa Nabi SAW, Allahumma barik liummatii fii bukuurihaa – Ya Allah berilah kebarokahan bagi ummatku di dalam pagi – pagiannya (Kitabul Ahkam hal 26. Hadits no 49, dari Shokhr Alghomidi). Doa yang meresap. Dalam. masuk dan nempel kayak prangko. Memberikan motivasi dan kesegeran yang luar biasa abadi. Ajaran yang luhur, yang harusnya membuat manusia selalu bersemangat dalam hidup.Sebab mendapat doa Nabi. Tidak loyo dan tidak malas. Ketiga,mensyukuri dan menikmati hidup ini. Bahwa penciptaan langit dan bumi serta perselisihan malam dan siang adalah ayat Allah Yang Maha Tinggi. Marilah kita nikmati. Marilah kita syukuri. Jangan biarkan anugerah yang besar ini lewat begitu saja setiap hari. Sebab suasana pagi bisa menghilangkan jiwa yang penat. Dia mengusir gundah pikiran, menghilangkan malas dari badan dan kebaikan lain seiring datangnya pagi.
Marilah kita ikuti. Programlah hidup kita ini mengikuti pola alam semesta yang penuh kebarokahan ini. Penuh kesempurnaan, sehingga kita bisa berucap: keindahan alami untuk kebaikan diri. Karena sesungguhnya suguhan pagi hari adalah merupakan hukum – hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semesta ini. Ia tidak akan berganti sebelum Allah menitahkan perubahannya. Oleh karenanya, mari nikmati bangun pagi …!
oleh : Heri_Lantabur
Langganan:
Postingan (Atom)