Kamis, 25 Juni 2009

Gambar Menthol

Pertama – tama saya harus bersyukur. Nggak sreg rasanya kalau meninggalkan syukur. Sudah diberi rejeki Allah, kok malah menggerutu misalnya. Ora ilok. Sudah sewajarnya, pur atawa tinding alias seri, kata orang jawa – kala kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kanjeng Nabi SAW bersabda, sudah nyukupi mrantasi, jika kita mengucakan syukur atas nikmat yang diberikan pada kita. Apalagi sudah lama diajarkan bagaimana menjadi hamba yang banyak syukur. Maka akan jadi kurang ajar, ketika kita merespon sebuah nikmat dengan sikap ngedumel. Itu sudah termasuk dholim, kata Kang Mubaligh. Bahkan bisa dikatakan kufur seperti yang disebutkan dalam Kitabullah, Surat Ibrahim ayat 7; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.".

Nah, sudah sering saya menerima gift dari perusahaan. Mulai dari atas sampai ke bawah. Topi, kemeja, kaos, celana, dasi, ikat pinggang, dompet, sepatu dan perlengkapannya. Semua komplit kecuali satu, daleman alias CD saja yang belum. Ada tas, handuk, mobil – mobilan, dan lainnya. Setahun bisa menerima satu sampai dua kali. Maka, tak putus – putus kesyukuran saya atas keadaan itu. Gratis – tis. Akan tetapi permasalahannya timbul kemudian. Barusan seneng, tapi kemudian langsung murung. Karena diantara gift yang diberikan itu ternyata ada gambar mentholnya. Saya tidak menyebutkan merek, nanti bisa kena cekal, insya allah semua sudah mafhum adanya. Beberapa merek ternama, brandnya tak lain adalah gambar menthol. Mau dipakai ada gambar mentholnya, mau gak dipakai sayang harganya lumayan mahal. Bisa dibayangkan, jika sebuah kaos itu senilai Rp 250.000,- lebih.

Memahami dalil yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini, maka saya mencoba merusak brand tersebut. Memotong bagian gambar menthol, sehingga bisa menyebabkan kematian seandainya dalam keadaan nyata atau hidup. Maka ada yang menghilangkan bagian kepalanya, ini yang umum. Ada juga yang menghilangkan bagian tubuh yang lain. Tapi, bukan hasil bagus yang saya peroleh darinya. Justru menyebabkan koyak di sana – sini, sehingga kaos itu malahan menjadi rusak. Maka dengan berkelakar, seorang teman mubaligh berujar,”Kalau saya tidak saya rusak. Biarin aja. Nanti kalau ada yang tanya jawab saja, sudah saya tusuk dengan jarum sampai mati.” Adaa, aja...!

Dari Aisyah dia berkata, Rasulullah SAW datang dari suatu perjalanan, sedangkan aku telah menutup rak lemariku dengan gorden (kain penutup) yang bergambar (makhluk), lalu ketika beliau melihatnya, serta merta wajah beliau berubah seraya berkata, ‘Wahai Aisyah, manusia paling kerasa adzabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang – orang yang menyamai ciptaan Allah’.” Aisyah lalu berkata, “Lalu kami memotongnya dan menjadikannya satu bantal atau dua bantal.” (Rowahu Bukhory – Muslim)

Nah, daripada ragu, repot dan kena rasa was – was lain yang mungkin hinggap, maka beberapa gift yang membanggakan itu, dengan berat hati, terpaksa berpindah tangan. Seperti cerita Nabi SAW yang membeli baju sutra, kemudian memberikannya kepada Umar bin Khoththob. Membeli boleh, menerima juga boleh. Yang nggak boleh hanya memakainya, untuk sutera bagi kaum lelaki. Demikianlah saya bersikap dengan kaos atau baju yang bergambar menthol ini. Pemberian saya terima. Hadiah saya syukuri dengan senang hati, rasa bangga dan gembira, namun kemudian saya sedekahkan. Buat apa berbangga dengan merek mahal, tetapi bermasalah dengan Sang Pencipta. Setidaknya dengan perbuatan itu saya punya cerita. History, kalau pernah menerima dan memiliki sandang yang bermerek terkenal. Walau hanya sebentar. Mudah – mudahan sikap ini bisa ngepasi firman Allah dalam surat Hujurat ayat 15; Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Oleh ;Fahmi di Jambi

Nyeleneh

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat asyik berdiskusi dengan salah seorang kawan lama. Sampailah pada pembahasan surat At-Takaatsur. Dalam tafsir surat At-Takaatsur diceritakan, Bani Adam berkata; ’Ini hartaku, ini milikku, malii malii malii.’ Terus Allah menjawab: ”Hai anak Adam, tidak ada harta bagimu kecuali apa - apa yang telah kau makan dan menjadi kotoran, apa – apa yang kamu pakai dan menjadi gombal dan apa - apa yang kamu teruskan dengan sodaqoh, maka kamu telah menyimpannya.” Nah, betapa kagetnya saya ketika timbul pernyataan bahwa harta yang kita infaqi adalah harta yang sudah rombeng, yang habis pakai. Karena dalil di atas menyebutkan bahwa harta kita adalah seperti pakaian yang telah jadi gombal.
Sebelum memberikan penjelasan dan ”sanggahan” tentunya, saya ingin sekali memahami cara orang – orang yang sampai punya kesimpulan seperti itu. Bagaimana karakternya dan kenapa sampai ’tega’ berkata begitu? Ada apa gerangan? Seperti ada sesuatu yang tersembunyi dari pernyataan itu. Ada yang ingin disampaikan, tapi tak mampu. Ada penghalang yang tak bisa dilampauinya.
Terus – terang saya masih penasaran, ketika ketemu pemahaman – pemahaman yang nyleneh. Kenapa ya, kok bisa begitu? Bagaimana proses timbulnya? Saya tidak bermaksud mencari penghakiman, nyleneh itu salah. Nyleneh itu jelek. Namun semata menikmati dan menghargai perbedaan yang ada. Buat saya semua syah – syah saja. Asal, tidak bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya. Sebab semua ada konsekuensinya.
Kembali pada masalah di atas, intinya adalah masalah infaq. Di kalangan kita, ada pembatasan (plafon) berapa besar yang harus dikeluarkan sebagai infaq dari harta yang kita punya. Besarannya (per***nnya) ditentukan dari harta yang kita punya. Karena harta adalah sesuatu yang telah habis masa pakainya, maka tidak ada lagi infaq. Begitu kira – kira jalan pikirannya. Masuk diakal. Dalam hal ini, juga termasuk yang mempermasalahkan besaran per***nya. Ada yang berpendapat kalau itu tidak ada contohnya dari Nabi SAW. Nah, sekarang kita buktikan.
Dalilnya, infaq itu dari rejeki yang diberikan oleh Allah kepada kita. Wamimmaa rozaqnaahum yunfiquun. Ketika kita mendapatkan rejeki, baik besar maupun kecil, wajib mengeluarkan infaqnya. Wamimma mengandung arti sebagian dari bukan keseluruhannya. Jadi, mau dikeluarkan 1 %, 2 %, 10 %, 25 % atau bahkan 99% boleh – boleh saja, asal masih ada yang tersisa. Jadi tak ada hubungannya dengan harta yang kita punya. Sebagai bandingannya lihat Surat Bani Israil ayat 29; Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Bahkan dalam atsar lainnya kita temui kalau Abu Bakar pernah meninfaqkan seluruh hartanya. Ketika Nabi SAW bertanya, bagaiamana nanti Istri dan keluargamu? Abu Bakar dengan tegas menjawab, ”kuserahkan semua pada Allah dan RasulNya.” Jadi kalau sudah ada contohnya, bahkan sampai ada yang menginfakkan 100%, kenapa yang di bawah itu dipermasalahkan?
Oleh karena itu, dalam pernylenehan ini, kadang saya sampai pada satu kesimpulan; bahwa orang – orang tersebut pasti (mungkin) ingin cari sensasi dan/atau perhatian, kalau tidak pasti pada prinsip pokoke bedho (asal beda) atau memang ada gen tertentu yang mengiringinya. Masak sih? Oh, salah ya...??? Maklum..........tanpa bukti. Atau saya sendiri yang termasuk nyleneh di sini nih,,,, hi, hi, hik.....!!!

Oleh ; Faizunal Abdillah

Jumat, 19 Juni 2009

Tetangga oh Tetangga

Pernah punya pengalaman membantu tetangga? Tentu, dan saya yakin beragam ceritanya. Banyak yang bertaut, tapi ada juga yang bersambung jadi masalah. Niat awalnya baik membantu, tetapi di seberang sana gayung tak bersambut. Malah saking pedenya mereka bilang, “Kalau nggak mau bantu ya nggak apa – apa. Kok nggak ikhlas, kelihatannya.” Su’udhonnya sudah nongol ke permukaan. Bagaimana tahu ikhlash nggaknya seseorang. Kayak yang Maha Kuasa saja tahu isi hati orang. Malaikat saja give up dalam hal keikhlashan ini.

Jika, niat baik dan amal sholih kita berjalan lancar – lancar saja Alhamdulillah. Itu yang diharapkan. Semoga pahala terus mengalir. Namun jika niat baik dan amal sholih kita menemui rintangan, bersabarlah. Karena darinya akan kita dapatkan pahala yang berlimpah. Besarnya pahala beserta besarnya cobaan, begitu Kanjeng Nabi SAW mengingatkan. Jadi tak usah kecil hati. Lancar nggak lancar hadapi terus sampai tergapai niat baik kita itu. Intinya, langkah proaktif kita yaitu: jangan sakiti tetangga. Jangan sampai mulai duluan. Jangan terprovokasi. Ora ilok.

Beberapa waktu yang lalu istri saya mengeluh, katanya tetangga sebelah yang suka mbantu di rumah nggak bisa datang pagi - pagi. Alasannya masih ngantuk. Terlepas benar enggaknya alasan itu, saya sempat sewot juga. Masak sih! Dan terbersitlah dalam alam pikiran saya sangka jelek padanya. Orang ini pasti malas, masak jam 7 pagi masih tidur. Pantes saja nggak berkembang usahanya, wong kebanyakan tidur. Bagaimana nggak miskin terus, wong nglanggar dalil habis subuh tidur. Dan seterusnya, dan seterusnya bertubi – tubi persangkaan yang tidak baik terhadapnya. Kemudian saya sadar, istighfar – astaghfirullah. Ya Allah ampuni saya yang telah berprasangka jelek terhadap tetangga. Sebab semua itu hanya ilusi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Allah berfirman: Sesungguhnya persangkaan itu tiada bisa menolak sedikitpun terhadap kebenaran. (QS An-Najm: 28).

Yang tadinya saya mau marah, akhirnya sadar. Kepada istri saya bilang, “Ya sudah coba kita cari solusinya dengan jalan lain. Mungkin, setiap malam dia rajin bangun malam. Nggak seperti kita yang banyak terlewat. Dan selepas shubuh, sambil nunggu suami berangkat kerja, nggak ada yang dikerjakan karena memang nggak ada yang harus dikerjakan. Nggak perlu masak sebab nggak ada yang dimasak. Nggak perlu ngepel, nyapu dan bersih – bersih. Makanya dia manfaatkan waktunya untuk rebahan. Yang penting dia masih bisa bantu kita, sesuai waktu yang dia punya. Itu udah syukur pol.”

Rupanya apa yang menjangkiti saya serupa dengan yang menjangkiti pikiran istri saya. Dia sedikit mengundat niat baik dan usaha membantu kami kepadanya. Sebelum berlama – lama, saya cut pembicaraan itu. Saya bilang kepada istri saya, “Sebenarnya pikiran saya juga seperti pikiranmu. Persis. Plek. Tapi itu semua kan persangkaan. Nggak usah diperpanjang. Tetaplah jaga terus niat baik kita dan jangan sakiti tetangga, tetapi bantu dan baikilah tetangga kita. Insya Allah ada jalan lain sebagai gantinya.”

Selang beberapa saat dari kejadian itu, sepertinya Allah memberikan bukti akan persangkaan kami. Tetangga yang lain pun akhirnya buka suara, kalau memang si tetangga itu tiap pagi tidur sampai suaminya pulang berjualan. Alasannya karena memang tidak ada yang dikerjakan. Mau masak nggak ada yang dimasak. Masya Allah…….., tetapi kenapa ketika kita coba membantu dia menolak? Hal ini yang masih mengganjal di hati kami. Sebab tak lain wasiat Rasulullah SAW; ”Tidak termasuk orang iman, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (Rowahu At-Thabrani di dalam Mu’jam Alkabir (12/154), Al-Baihaqi (10/3), Abu Ya’la (5/92)). Bagaimana nasib kami nanti? Dayustkah?

Akhirnya, di kesempatan yang pas, kami tanyakan kepada si tetangga perihal yang di atas tadi. Kenapa tidak mau kerja pagi – pagi dan menerima bantuan kami? Seperti disambar petir, jawaban yang kami dengar dari mulut tetangga kami itu. Katanya, ”Kami malu. Sebab Bapak dan Ibu sudah banyak membantu kami.”

Kami terdiam. Dua mata saya bertemu pandang dengan dua mata istri saya. Kayak pahlawan kesiangan. Untung masih menginjak bumi. ”Ya Allah, jangan kau siksa kami karena nikmat yang telah Engkau berikan kepada kami. Ya Allah tolonglah kami.” Rasa – rasanya kami belum banyak membantu. Tapi apa mau dikata. Kalau memang itu yang dirasa dan keluar dari hati nuraninya, kami tak bisa lagi mengganggunya. Hanya kepadanya saya titipkan pesan, ”Ya sudah kalau begitu, kalau Ibu butuh bantuan ngomong saja. Kalau kami mampu Insya Allah akan kami bantu.”

Pernah saya baca dalam sebuah cerita sufi yang sangat inspiratif bagi saya. Tersebutlah seorang sufi protes kepada Allah ketika dia melihat seorang peminta – minta di pingir jalan. Pakaiannya kumal, rambutnya kusut, bau dan berdebu di sana – sini. ”Ya Allah dimana keadilanMU. Kenapa engkau memberikan peran ini kepada pengemis itu?”

Tak lama terdengarlah sebuah suara sebagai jawabannya, ”Untuk itulah, Aku ciptakan kamu.”

Jadi memang tugas kita untuk berbuat baik kepada tetangga dan sesama. Ya berbuat baik, bukan yang lain.

Oleh :Fahmi di Jambi

Ngepasi

Yang namanya ngepasi atau kebetulan itu jarang - jarang. Bahkan bisa dikatakan kecil peluang terjadinya. Seumur hidup, mungkin bisa dihitung dengan jari terjadinya peristiwa ngepasi ini. Yang namanya ngepasi itu tidak terus – terusan. Kalau ada yang mengklaim diri, tiap hari ngepasi terus, perlu dilihat lagi apa yang dimaksud dengan ngepasi itu. Sebab salah satu unsur ngepasi itu ada unsur waktu (time response) yang singkat, ada unsur ketidaksengajaan dan unsur kepepet atau kebelet alias pengin banget. Jadi harus bisa membedakan antara ngepasi dengan kegiatan rutinitas.
Terus terang, semua orang pengin hidup dalam keadaan pas – pasan tersebut. Pas pengin kawin, tahu – tahu dilamar gadis cantik yang lama dinanti-nantikan. Bukan nglamar malah dilamar. Pas pengin punya rumah, eh tak tahunya dapat hadiah dari pamannya. Pas pengin punya mobil, ndilalah menang tender proyeknya. Pas pengin anak, ndak lama kemudian istrinya hamil. Kembar lagi anaknya. Kelihatannya indah. Enak dan resep dibacanya. Tapi ini hanya ada dalam dongeng. Itu semua hanya ada dalam film bikinan manusia yang durasinya hanya jam – jaman. Sebab Allah sudah menciptakan segala rupa aturan lengkap, untuk menghiasi dunia ini agar indah dan indah selalu. Dan salah satunya adalah dengan peristiwa ngepasi itu. Seandainya semua orang bisa ngepasi semua, tentu dunia ini nggak indah. Sebab nggak ada dinamika dan usaha. Padahal yang membuat indah yaitu gerak - polah manusia untuk mendapatkan yang diinginkannya itu. Nggak seru, kalau semua serba kebetulan.
Namun di dalam kehidupan seseorang terkadang ada peristiwa – peristiwa yang mengejutkan sekaligus ngepasi. Diantaranya, lagi pas pengin berangkat haji, tahu – tahu dapat hadiah berangkat haji dari kantornya. Malamnya terbersit niat, paginya dapat kupon berangkat haji yang tak disangka - sangka. Peristiwa seperti ini adalah monumental – milestone kehidupan. Nggak lapuk ditelan waktu dan nggak usang ditinggal jaman. Rasanya seperti nggak hilang – hilang. Nggak habis diceritakan dan nggak bosen diulang – ulang. Saking syukur dan saking indahnya rejeki itu. Mengalahkan beribu penderitaan dan perjuangan hidup yang lain. Itulah kuasa Allah dalam mengatur kehidupan ini.
Sebagai timbangan tambahan pengertian simaklah ayat 140 Surat Ali Imron berikut ini. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Kunci ayat ini ada di akhirnya, yaitu Allah tidak suka orang – orang yang dholim. Artinya orang yang pengin menang terus, enak terus dan jaya terus. Sebab itu bertentangan dengan hukum Allah yang memutar hari – hari bagi manusia. Jadi ada kalanya menang, juga ada kalanya kalah. Ada masanya senang, ada masanya susah. Sampai pada ada yang mati mulyo sebagai syuhada. Itulah yang ngepasi dengan dalil dan sunnatullah. Oh ya…?

Oleh :Fahmi di Jambi

Berdoa




Setiap orang pasti pernah berdoa. Ada yang panjang, ada yang pendek. Ada yang diulang – ulang sehingga jadi panjang, ada juga yang sekali baca sehingga pendek. Ada yang disenangi, ada juga doa yang hanya sekedarnya.
Basa – basi. Maksudnya hanya memenuhi kadar pengguguran kewajiban.
Pelengkap. Contohnya doa pengayoman (?) Ada juga doa yang umum dan doa yang bersifat pribadi. Jama’ ataupun mufrad. Pokoknya banyak macamnyalah, bagaimana sebuah doa itu dipanjatkan. Satu hal yang pasti, bahwa doa adalah sebuah permohonan kepada Allah Yang Maha Esa dan umumnya berisi kebaikan terutama buat sang pelantun doa. Sebab baiknya pelantun doa yang satu, belum tentu sama dengan pelantun doa yang lainnya.

Dalam perjalanannya, doa mirip dengan cuaca. Kala cuaca bagus, hati riang, perasaan padang, orang senang dan berlama – lama dalam memanjatkan doa. Mengulang – ulang, bahkan doa – doa baru pun disenandungkan. Sebaliknya kalau cuaca tidak bagus, timbul malas dan perasaan berat untuk melantunkan doa. Sedikit, pendek dan ogah – ogahan.
Yang sering dibaca pun kalau bisa dan kalau boleh mau diringkas. Rupek.
Serba salah. Maka, kita kenal dengan yang namanya doa sapu jagad.
Katanya, kalau lagi repot, sibuk bin sumpek cukup baca doa itu saja:Robbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah wafil akhiroti hasanah waqiinaa adzaaban naar. Itu sudah mencukupi, desahnya.

Perilaku – perilaku dalam berdoa perlu kita cermati. Doa adalah ibadah.
Dalil yang lain mengatakan bahwa doa adalah otaknya ibadah. Sebisa mungkin kita benar – benar bisa mengandalkan doa – dao kita. Sebisa mungkin kita benar – benar yakin dengan doa kita. Sebisa mungkin kita tahu apa yang kita baca dalam doa. Sebisa mungkin kita khusyu’ dalam berdoa. Jangan ceroboh. Jangan ngelantur atau malah ngalamun. Seperti keadaan cuaca itu, maka Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang menyenangkan baginya jika Allah mengabulkan doanya dikala berat dan susah, maka perbanyaklah doa di waktu longgar.” (Rowahu at-Tirmidzi dari Abu Huroiroh)

Terlepas dari kualitasnya, sekarang coba kita hitung berapa banyak
(quantity) doa yang kita panjatkan. Terus – terang saya termasuk orang ”
irian” terhadap doa. Maksudnya timbul perasaan iri ketika banyak doa – doa yang secara makna sangat indah dan bagus, tapi belum bisa saya amalkan dan hafalkan. Apalagi di situ diterangkan fadhilah – fadhilahnya. Rasanya pengin banget bisa mengamalkan doa itu, tetapi apa daya. Ketika sudah mengamalkan dan menghafalkannya, beberapa saat kemudian melupakannya, ketika datang lagi sekumpulan doa baru yang, lagi – lagi menurut saya, – sangat indah dan menarik. Terus begitu. Akhirnya saya mencoba mengoreksi kembali apa yang salah dengan diri ini.

Dari serangkaian instrospeksi, saya menemukan beberapa fakta. Pertama, ternyata dari banyak keadaan dan kelakuan, sering kali saya memanjatkan doa dengan kondisi tergesa – gesa. Tergesa – gesa membacanya, tergesa – gesa segera menyambung dengan doa yang lain, bahkan tergesa – gesa untuk segera mencapai hitungan yang ditentukan, seperti 3 kali, 7 kali dan sebagainya. Kadang, juga tergesa – gesa karena ditunggu kerjaan. Dalam hal ini saya hanya butuh sedikit kesabaran untuk menghadapinya. Yang kedua, ternyata banyak tidak khusyu’nya ketika berdoa. Acapkali habis berdoa, belahan jiwa saya bertanya, tadi doa yang ini udah dibaca belum ya? Kayaknya belum? Bahkan saking erornya, pernah hati berbisik, tadi doa apa ya? Masya Allah. Kalau yang berdoa sendiri tidak tahu apa yang dipanjatkan, bagaimana yang mau mengabulkan? Dalam hal ini saya memahami betul, kenapa dilarang berdoa, sholat atau kegiatan lain ketika sedang ngantuk. Sebab ia setengah sadar, antara tahu dan tidak tahu apa yang diperbuatnya. Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya sederhana saja cukup konsentrasi. Kata – katanya saja yang mudah, aplikasinya silahkan coba sendiri. Susah toh? Namun harus tetap dilatih dengan penuh kesadaran dan kesabaran. Apapun, dua hal itulah yang sangat perlu dilakukan dalam berdoa agar kita yakin, tambah yakin, ngimel, mantap, senang, berlama – lama, rajih dan dijamin terkabulnya doa.

Tapi bagaimana dengan sering gonta – ganti doa? Ah, ternyata itu sudah biasa. Banyak orang yang mengalaminya. Yang penting dari sekian banyak itu tentu ada yang jadi menu rutin dan pilihan utama, sesuai selera.
Sebab yang saya tahu, ada yang suka doa ini, ada yang suka doa itu, ada yang begini, ada yang begitu. Mungkin hanya satu yang tak ada yang suka melantunkannya, yaitu doa Nabi SAW berikut ini: Allohumma ahyinii miskinan, wa amitnii miskinan wab’atsnii fii zumrotal masaakiin (Ya Allah hidupilah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkan aku bersama golongannya orang miskin).
Benarkah ?


Oleh :Faizunal Abdillah

Esai Kehidupan10

Kalau kita sadar, sebenarnya kita dituntun menjadi orang yang banyak syukur. Kita dididik menjadi ahli syukur, pinter syukur. Coba kita renungkan kembali kalimat Alhamdulillah yang kita baca sehabis sholat. Berapa kali kita baca? Sebanyak 33 kali sehabis sholat. Artinya secara lisan kita dilatih mengucapkan syukur kepada Allah – dengan mengucap kalimat Alhamdulillah - segala puji bagi Allah. Nah, ini adalah pranata yang kita tunaikan setiap hari.

Nah, mendalami tahmid ini membukakan satu lagi pintu rahasia menggapai kebahagiaan. Yaitu mensyukuri setiap pemberian yang Allah berikan kepada kita. Mensyukuri setiap keadaan yang kita temui dalam kehidupan ini. Orang yang bahagia adalah orang yang senantiasa mengucapkan syukur alhamdulillah. Dimulai dari ucapan kemudian ke perbuatan. Bersyukur setiap waktu. Menikmati hidup ini. Seberat apapun hari yang kita alami pasti ada nikmat yang bisa kita syukuri di dalamnya. Jangan pernah menyerah untuk menjadi orang yang banyak syukur. Jangan sampai tertutup nikmat Allah yang diberikan ke kita oleh yang lain.

Hidup banyak digambarkan seperti air mengalir. Dari semenjak jatuh dari langit lewat awan hujan, air berjalan mencari sungai sebagai induknya. Di sungai air terus mengalir dari hulu ke hilir. Tak pernah berhenti. Ada kalanya dia berguling ke kiri dan ke kanan. Sebelah pinggir kanan kali bernama kesenangan, sebelahnya lagi bernama kesedihan. Sebagaimana kehidupan yang sebenarnya, ada saatnya kita terhenti di pinggir kali kesenangan, ada kalanya terhenti di pinggir kali kesedihan. Apapun nama dan jenis pinggir kalinya, tidak perduli kita sedang senang atau sedih, laju kehidupan akan senantiasa berjalan. Sehingga, siapa saja yang memusatkan perhatian pada pemberhentian sementara di pinggir kali (dunia), ia pasti tidak puas. Ia tidak bahagia. Sebab, pinggiran kali hanyalah bentuk lain dari kesementaraan. Keabadian dalam bentuk kesyukuran ada dalam kenikmatan untuk mengalir dengan sang perubahan yaitu qodar Allah, hingga akhirnya berujung di laut biru akhir kehidupan.

Sebuah cerita inspiratif berikut ini patut dijadikan acuan sebagai bentuk pemahaman kesyukuran terhadap hidup dan kehidupan serta bagaimana memainkannya. Suatu ketika seorang Ibu berniat pergi mengunjungi putranya di pulau seberang. Dipilihlah kapal laut sebagai mode transportasinya. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan datanglah cuaca buruk dan badai sehingga kapal yang ditumpangi si Ibu tersebut tenggelam. Alih – alih panik melihat situasi yang terjadi, si Ibu terlihat tenang dan penuh senyum menghadapi situasi yang terjadi. Ketika penumpang yang lain berebut menyelamatkan diri, si Ibu tetap tegar. Akhirnya si Ibu selamat setelah terombang – ambing di laut selama sepekan, dengan bergantung pada sebilah papan. Merasa penasaran dengan ketenangan si Ibu ini dalam menghadapai situasi yang genting, salah seorang regu penolong bertanya, ” Apa yang membuat ibu bisa bertahan menghadapi cuaca sangat buruk seperti ini?”
”Begini, saya punya dua putra. Yang satu sudah meninggal dan satunya lagi tinggal di seberang. Jika dalam perjalanan saya ini akhirnya saya mati, maka saya akan bersyukur dan berbahagia sebab saya segera menyusul anak saya di surga. Sedangkan bila saya selamat sampai ke seberang, maka saya pun bersyukur dan berbahagia karena akan bertemu dengan anak saya di sana,” kata si Ibu membuka rahasianya.

Dari keadaan dengan pilihan yang mengancam nyawa pun, masih ada celah untuk menegakkan kebaikan dan bersyukur di dalamnya. Nah, bagaimana dengan situasi yang lain, cerita berikut boleh ditiru.

Suatu hari Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham, ''Bagaimana model kehidupan Anda?''
Ibrahim menjawab, ''Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.''
''Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurasan,'' timpal Syaqiq.
Ibrahim terhenyak dan kemudian bertanya, ''Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?''
Syaqiq menjawab, ''Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.'' (Kisah dalam kitab Nafahat al-Uns).

Nah, model – model seperti inilah yang perlu dihayati dan dimaknai dalam rangka memperoleh hidup penuh kesyukuran dan kebahagiaan. Dan mulailah dengan meresapi dan menghayati setiap kalimat tahmid yang kita ucapkan setiap hari. Sebagai pembanding simaklah firman Allah dalam surat Yunus ayat 10 berikut ini;

Do'a mereka di dalam surga ialah: "Subhaanakallaahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin".

Mungkin menjadi jelas sekarang bagi kita kefadholan tasbih dan tahmid yang bukan hanya sekedar wirid ataupun pembuka dan penutup doa.

Oleh :Fahmi di Jambi

Kamis, 18 Juni 2009

CUKUPLAH KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN

"Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!" (HR. Tirmidzi)"

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) dating azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.."

2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan 'habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naïf kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Islam menggariskan bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.

Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

"Ad-Dun-ya mazra'atul lil akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.

oleh :Heri_Lantabur

Esai Kehidupan9

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ.( الحديد اية 20)

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan lahwun (suatu yang melalaikan) , perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamnya mengagumkan para petani ; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur . Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang sangat dan ampunan dari Allah serta ridhaNYA . Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al Hadid :20)

Sesungguhnya dengan ayat ini Allah telah Woro-woro (:mengumumkan) tentang apa yang sedang kita jalani dan apa yang akan kita jalani dalam waktu-waktu selanjutnya. Kita telah melewati alam rahim yang sebelumnya kita berasal dari tulang tsulbi, alam dunia yang sekarang sedang kita jalani adalah sebagai kelanjutan dari alam rahim. Entah kapan tidak ada satupun “nafsin” yang tahu persis akan kepindahannya dari alam dunia yang sekarang ini sedang dijalaninya. Tapi kita semua orang iman telah tahu dan sadar betul bahwa alam dunia yang sedang kita jalani ini adalah merupakan bagian dari perjalanan panjang manusia menuju hidup yang sesungguhnya “innal aisya aisyal akhiroh” yaitu kehidupan akhirat setelah sebelumnya kita melalui alam kubur dan qiyamat.

Inilah kehidupan kita. Permisalanya adalah seperti halnya Woro-woro dan pengumuman atau edaran dari pemerintah DKI Jakarta : “ ……diberitahukan bahwa seluruh kawasan Jalan Mawar Jaksel akan digusur untuk pelebaran sungai dalam rangka antisipasi banjir tahunan yang melanda Jakarta, untuk itu diperintahkan kepada seluruh warga Jl. Mawar Jaksel, paling lambat satu bulan setelah diterimanya ‘dana gusuran’ tepatnya tanggal 16 Agustus 2009, sudah harus mengosongkan tempat tinggalnya…….”

Maka bagi warga yang pandai dan cerdas, disamping dalam kehidupan sehari-hari tetap mengerjakan pekerjaan rutin seperti biasa, dia akan memikirkan dan mempersiapkan, mencari “tempat tinggal baru “ untuk setelah tidak lagi tinggal lagi di Jl. Mawar yaitu setelah tgl 16 Agustus 2009 nanti.

Tetapi ternyata ada sebagian warga yang malah belanja semen, pasir, besi, granit, marmer untuk melebarkan dan memperindah rumahnya (yg akan kena gusur itu) tanpa berfikir dan ingat akan tinggal dimana setelah digusur bulan agustus nanti .sehingga jadilah dia pada setelah tggl 16 Agt 2009 nanti orang yang “NGAPLO” (:bengong dan menyesal karna gak berdaya dan gak punya apa-apa), bahkan jadi “MBAMBUNG” (:terlantar, sengsara dan menderita). inilah orang yang merugi. ___na’udzubillahi mindzalik.

Untuk itu, Alhamdulillah….kita perbanyak syukur kepada Allah. Jalan kita (insya-a LLAH) masih panjang. Kesempatan kita masih luas terbentang. Nikmat dan KaruniaNYA berupa Hidayah yang ada pada kita, kesehatan, kesempatan dan kesadaran kita akan semuanya itu adalah modal yang sangat berharga dalam perjalanan panjang kita meraih kebahagian yang hakiki di akhirat nanti.

Tidak ada kata terlambat sebelum malaikat peniup terompet melaksanakan perintahNYA utk meniup terompetnya. Tidak ada satupun makhluk yang memiliki kesempurnaan. Karena hanya milik Allah lah kesempurnaan itu.
Permasalahan dalam kehidupan adalah ”vitamin” bagi orang iman. Liku-liku dan warna-warni yang kita jumpai dalam kehidupan ini harus kita nikmati dan syukuri. Karna bahkan penderitaan dan kepelikan sepelik apapun akan menjadi nikmat manakala kita nikmati. Dan ”wala tadzunnu dzonna sau’ wakuntum qoumamburo.....”__ jangan sedetikpun kalian berburuk sangka terhadap Allah....__ karena : ”Ana ma’a dzonni abdi bi”. .......Saya (Allah) beserta persangkaan hambaku padaku......
Syukur akan nikmatNYA adalah berterima kasih dengan pujian dan bersungguh-sungguh menjalankan perintahNYA serta menjauhi laranganNYA.

Oleh :Faizunal Abdillah

Rabu, 17 Juni 2009

Bangun Pagi

Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi.. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.

Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.

Apakah terbitnya matahari itu indah? Wow, luar biasa. Bagi kita
yang sibuk dengan kerja, pergi petang, pulang juga petang, sempatkanlah
untuk bisa menikmatinya. Nikmatilah indahnya pagi, kala mentari hendak
berangkat meninggi. Sejuta kesan dan pemahaman begitu banyak terungkap
di kala menyambut pagi, seperti sebait tembang dari guru SD saya ini;

ayam berkokok bersahutan
kelelawar kembali ke persembunyian
takut datangnya siang/kesiangan
di timur sudah memerah, dst..

Setidaknya setiap akhir pekan, ketika saya berkumpul dengan
keluarga, saya pasti bisa menikmati indahnya pagi. Selepas subuh, sikecil sudah minta ditemani keluar rumah mengitari jalan komplek rumah kami. Dengan kayuhan sepeda, kami menyusuri lorong pagi hari dengan berkah yang banyak sekali. Udara segar, terasa murni tanpa polusi. Ada tetesan embun yang bening, menebar aroma dingin dan membuat sejuk serta adem di hati. Cess, meredam sisa – sisa amarah yang tertinggal. Kemudian udara diselimuti sedikit hamparan kabut lembut temaram, yang membuat mata menari - nari waspada dan enggan untuk memejam kembali. Pemandangan
yang elok. Nuansa putih. Ada tiupan angin sepoi – sepoi, tak bersuara, menusuk pori – pori. Kicau burung, kokok ayam berlomba – lomba ‘pamer diri’, seolah menirukan kontes – kontes yang ada di tv. Merdu dan membawa wujud syukur menyambut pagi.

Kemudian nun jauh di atas sana, awan bersolek, berubah dari warna aslinya. Ketika datang pagi, awan berbaju warna seiring sorot sinar matahari. Awalnya yang gelap - hitam, kemudian sedikit benderang dengan balutan warna kemerahan di sekujur sisinya. Semakin lama semakin terang, jelas memerah, kemudian sedikit demi sedikit jingga beraduk. Dan lamat –lamat merekahlah bulatan merah di garis cakarawala. Semakin lama
– semakin sempurna bulatnya dan tampaklah warna kekuningan - kuningan di sekitar awan, menggusur warna jingga dan merah sebelumnya. Akhirnya terang - benderang. Matahari menampakkan dirinya untuk menandai dimulainya hidup baru yang penuh semangat dan vitalitas. Matahari adalah symbol gagah dan berani. Dengan warna merah total yang tak tertandingi di pagi hari. Dialah matahari, menyapa alam semesta dan negeri ini.

Di saat itulah, saya merasakan banyak nikmat Allah yang terlewatkan begitu saja. Di pagi itulah, banyak penyegaran akan pemahaman hidup ini bermunculan. Dan waktu itulah, saya sadar bahwa banyak ayat-ayat Allah yang bisa saya deres kembali lewatnya. Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam
dan siang niscaya jadi ayat bagi orang – orang yang berakal. (QS AliImron ayat 190). Allahu Akbar.

Pertama, saya teringat pelajaran tentang waktu sholat. Ketika saya tanya anak saya yang paling gede, kapan waktu shubuh? Dengan spontan dia jawab, dari jam 4.30 sampai jam 6.00 pagi. Jawaban yang jujur dan mewakili (kebanyakan). Sekarang muslim jarang yang mengetahuidengan pasti bagaimana tuntunan Nabi SAW dalam menentukan waktu sholat. Hadist yang ada sudah dikonversi ke jam, menit dan detik. Buat apa capek
– capek mesti memperhatikan matahari, kan sudah ada jam? Begitulah kira
– kira opini orang masa kini. Buat apa meski mengintip matahari jika
bangun kesiangan? Kalau jarum jam masih belum di angka 6 dan kamar masih gelap, pasti masih waktu shubuh? Nah, timbullah menyepelekan diri. Melupakan ajaran yang hakiki. Padahal kalau mau, menikmati pagi hari itu mudah dan gampang sekali. Apalagi kalau cuma melongok matahari. Sejatinya Rasulullah SAW mengajarkan bahwa waktu subuh itu ketika terbit fajar sampai sebelum terbitnya matahari. Tentunya, setiap muslim
harusnya bisa menikmati datangnya pagi setiap hari. Bahkan menyambutnya dengan dua rekaat sebelum sholat shubuh yang lebih baik daripada dunia dan seisinya ini.

Kedua, saya teringat salah satu doa Nabi SAW, Allahumma barik liummatii fii bukuurihaa – Ya Allah berilah kebarokahan bagi ummatku di dalam pagi – pagiannya (Kitabul Ahkam hal 26. Hadits no 49, dari Shokhr Alghomidi). Doa yang meresap. Dalam. masuk dan nempel kayak prangko. Memberikan motivasi dan kesegeran yang luar biasa abadi. Ajaran yang luhur, yang harusnya membuat manusia selalu bersemangat dalam hidup.Sebab mendapat doa Nabi. Tidak loyo dan tidak malas. Ketiga,mensyukuri dan menikmati hidup ini. Bahwa penciptaan langit dan bumi serta perselisihan malam dan siang adalah ayat Allah Yang Maha Tinggi. Marilah kita nikmati. Marilah kita syukuri. Jangan biarkan anugerah yang besar ini lewat begitu saja setiap hari. Sebab suasana pagi bisa menghilangkan jiwa yang penat. Dia mengusir gundah pikiran, menghilangkan malas dari badan dan kebaikan lain seiring datangnya pagi.
Marilah kita ikuti. Programlah hidup kita ini mengikuti pola alam semesta yang penuh kebarokahan ini. Penuh kesempurnaan, sehingga kita bisa berucap: keindahan alami untuk kebaikan diri. Karena sesungguhnya suguhan pagi hari adalah merupakan hukum – hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semesta ini. Ia tidak akan berganti sebelum Allah menitahkan perubahannya. Oleh karenanya, mari nikmati bangun pagi …!

oleh : Heri_Lantabur

Senin, 15 Juni 2009

ATM

Kreatifitas biasanya muncul karena kepepet, atau bisa juga sebagai bentuk tak keberdayaan. Kreatifitas timbul sebagai bentuk protes yang tak sampai. Akhirnya hanya sebagai cerita MLM – dari mulut lewat mulut. Tapi sungguh pun demikian, kreatifitas ini bisa dianggap sebagai pelipur lara. Sebagai produk budaya, terutama dalam khasanah bahasa.
Awal – awal pemerintahan SBY – JK, sempat dihangatkan oleh isu kenaikan BBM. Konon pemerintah sebelumnya dinilai tidak berani mengambil kebijakan yang tidak populis itu. Tampillah JK sebagai juru bicara menyampaikan kebijakan itu. Maka, rame – rame masyarakat memlesetkan akronim SBY – JK menjadi : Susah Bensin Ya Jalan Kaki.
Kemudian masalah jalan yang disebut program pembangunan Jakarta Outer Ring Road atau disingkat JORR. Ada JORR 1, kemudian disusul dengan JORR 2. Melihat progress yang tidak maju – maju, nggak ada hasil, maka para kreatif mania pun mentahbiskan JORR singkatan dari Jalan Ora Rampung – Rampung. Sebab lamanya proses pengerjaan yang tidak kunjung jadi.
Berikutnya, ucapan Titi Dj Dedi Dores yang banyak diucapkan kala mau bepergian. Maksud ucapan itu adalah hati – hati di jalan, dengan diiringi doa dan restu. Bagi para komuter ada istilah PJKA – Pulang Jumat Kembali Ahad. Dan masih banyak lagi hasil kreatifitas anak bangsa. Nggak perlu dipermasalahkan, kita apresiasi sebagai sebuah karya. Atau setidak – tidaknya sebagai penggembira.
Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda ucapan. (QS Adz-Dzariyaat: 8)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujuraat: 13)
Anda kenal ATM? Di jaman sekarang sudah berjibun counter –counter ATM ini. Di ruang – ruang public, tempat perbelanjaan, kompleks sekolahan, biasanya selalu ada ATM ini. Ia adalah Anjungan Tunai Mandiri terjemahan dari bahasa asalnya Automatic Teller Machine. Tempat pengambilan duit tanpa ngantri ke kasir di bank. Kalau sore hari, anak sulung saya suka diajak mamanya naik ATM. Yaitu naik motor untuk menidurkan si kecil. Biasanya ketika habis mandi, diajak berputar – putar sebentar pasti langsung teller. Kenapa disebut ATM? Karena membuat teller alias tidur si kecil ketika dinaikkan motor. Makanya, disebutlah ATM - Automatic Teler Machine, mesin pembuat teler otomatis. Nah, ada satu lagi istilah ATM ini. Ketika dalam acara wejangan mantenan adik saya, sang penghulu menyebut kalau laki – laki itu harus punya ATM. Saya pikir memang ATM bank beneran. Katanya, “Yang penting dalam pernikahan buat lelaki harus punya ATM.” Runut punya runut ATM yang dimaksud adalah Alat Tusuk Manual (?). Nah, loe…….

Sengaja

Di dunia ini sah – sah saja kita mau berbuat apa. Pengin terkenal, istrinya empat, boleh. Pengin kaya, mobilnya banyak boleh. Menjadi pencuri kondang juga boleh. Menjadi pencopet ulung pun boleh. Mencalonkan diri sebagai pedagang boleh. Maju menjadi presiden, diperbolehkan juga. Memilih miskin juga boleh. Apapun pilihannya boleh dan sah-sah saja. Intinya mau jadi orang baik atau buruk boleh – boleh saja, asal tahu dan paham akan konsekuensi serta akibatnya. Sebab apa yang diperbuat oleh manusia pada dasarnya selalu dikontrol dengan hukum alam (sunnatullah) dan hukumnya Allah. Inilah kuncinya. Maka orang – orang yang mengetahui dan memahami hukum Allah, mereka selalu memilih untuk berbuat baik terus sepanjang masa. Sebab ketika mereka berbuat jelek, maka tidak ada orang lain yang dirugikan kecuali dirinya sendiri. Semuanya kembali dan bermuara pada diri pribadi mereka sendiri, bukan orang lain. Man ‘amila sholihan falinafsihi, waman asaa’a fa’alaihaa.
Nah, dalam pergulatannya, tak jarang orang yang ingin mencapai tujuannya tersebut mengorbankan orang lain. Sharing akibat, bukan sharing hasil. Kalau berhasil gue yang dapat, gue yang hebat, kalau gagal, pasti gara-gara lho, begitu kira – kira falsafahnya. Orang yang berjiwa semacam ini banyak jumlahnya di sekitar kita. Bersliweran. Inilah tipe orang yang tidak bertanggung jawab. Tipe orang yang belum paham akan hukum alam, apalagi hukumnya Allah. Mungkin kita bisa cermati kasus Manohara. Terlepas benar – tidaknya kasus yang menimpanya, hukum alam (termasuk di dalamnya hukum social) sedang berjalan pada dirinya. Sebagai pihak yang merasa teraniaya, awalnya banyak orang bersimpati padanya. Akan tetapi, dengan sikapnya yang “mumpung” ada kesempatan menjadi terkenal, menjadi selebritis, dia begitu bernafsu, sehingga semakin berkurang simpati yang ada terhadapnya. Dia bukan lagi sebagai orang yang teraniaya, tetapi statusnya berubah menjadi penyebar fitnah. Sebab belum ketahuan benar – salahnya, tetapi sudah berbicara kemana – mana. Bandingkan dengan kasus Prita, yang tambah hari semakin banyak yang simpati. Bahkan pasangan capres – cawapres pun ikut turun gunung memberikan simpatinya. Ini adalah pelajaran real, berlakunya hukum alam – sunnatullah di dunia ini. Dia berlaku bagi siapapun, dimanapun selagi masih menginjak bumi Allah ini. Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka kepunyaan Allahlah semua kemuliaan itu, Kepada Allah naik perkataan - perkataan yang baik dan amal yang sholih. Dan orang – orang yang berupaya berbuat jelak bagi mereka siksaan yang pedih. Dan rencana jelek mereka akan hancur. (QS Fathir ayat 10).
Bagi yang tidak tahu, belum ngerti, atau lupa ada semacam permakluman, jika sampai melanggar hal itu. Nah, yang patut diwaspadai adalah bagi yang sengaja melanggarnya. Sudah tahu dilanggar pula. Atau mencoba – coba. Ini yang repot. Udah begitu, minta tolong orang lain untuk mencarikan jalan keluarnya. Kalau enak diam – diam, kalau tidak enak ngundang – undang. Beberapa waktu yang lalu, saya dimintai tolong untuk memberikan nasehat dan mencari solusinya untuk seorang Bapak dalam masalah rumah tangganya. Dari usia, dia memang lebih tua dari saya, beda 10 sampai 12 tahunan. Bedanya Bapak ini sedang bercerai dari istri keduanya, dan minta dicarikan lagi sebagai gantinya. Sebab dia mengakui kalau dirinya itu oversex, jadi sudah kliyengan jika istri pertamanya sedang menstruasi. Kalau diminta berpuasa, juga sudah menyerah duluan. Nggak kuat, katanya. Mendengar argument awalnya, saya sudah tidak simpati. Sebab terlihat jelas ketidakkonsekuenannya. Ingin enaknya sendiri dan sharing masalah dengan yang lain.
Karena tanggung jawab moral, dan niat karena Allah, untuk saling menasehati sebagai sesama muslim, akhirnya kuberanikan menasehatinya juga. Maksudnya noto ati agar tenang dan sikap yang trapsilo, papan empan adepan, tidak grusa – grusu dan marah – marah. Pertama, kembali ke niat. Apakah sudah benar niatnya untuk kawin lagi? Nantinya tidak cerai lagi? Memperbanyak janda? Apakah sudah benar niatnya kalau dirinya tidak mampu berpuasa? Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Walladziina jaahadu fiinaa lanahdiyannahu subulanaa. Karena saya melihat, bahwa Bapak ini sudah paham dalil: sunnahnya untuk wayuh dan puasa sebagai tameng. Tapi aplikasinya saja yang tidak pas. Sebab kalau lihat istri yang diajukan juga termasuk criteria yang susah: cantik, muda dan paham. Nah, siapa yang nggak bingung untuk menolongnya. Dicarikan yang asal, juga nggak mau. Pilih – pilihnya tinggi. Dan juga ndalil, kan kawin dengan orang yang disenangi? Oalah, mak…! Astaghfirullah….
Kedua, introspeksi. Lelaki adalah pemimpin yang akan ditanya dari istri, anak dan harta bendanya. Saya hanya meminta Bapak tersebut mengenali dirinya sendiri lebih jauh, kemampuan dan kekurangannya. Juga menengok kembali keberadaan keluarga dan anak – anaknya. Jangan hanya mengejar kesenangan thok dan lupa tanggung jawab pada keluarga yang ditinggalkan. Sebab itu semua akan menjadi beban nanti di akhirat sana.
Tak banyak. Hanya simpati dan doa agar semua itu bisa dilewati dengan baik. Kalau mau kawin lagi silahkan, semoga ketemu jodohnya dan tidak ‘gampang’ cerai lagi. Atau bisa menemukan pengendalian diri yang ampuh atau jalan lain yang barokah. Juga keluarga yang pertama tidak berantakan. Dalam hati kecil saya terbersit guyonan, teringat iklan rokok a-mild: jangan – jangan Bapak ini tidak sengaja melakukan itu semua, tapi dia hanya iseng aja ngetes para pengurusnya. Barangkali……wallahu a’lam. Hanya kepadaNya kita serahkan semua perkara.

Esai Kehidupan8

Banyak sesuatu yang kita lakukan, tetapi kadang kita tidak sadar akan fadhilah dan kegunaannya. Semua berlindung dibalik bilik rutinitas. Atau lebih ndakik lagi berhujjah: ngilmunya begitu. Nggak kurang, nggak lebih. Nggak mau nambahi maupun ngurangi. Takut dosa. Dan alasan lain yang akhirnya menjadi awan penghalang pemahaman yang lebih dalam. Padahal tujuan kita adalah menjadi orang yang faqih. Jangan sampai kita menyesal karena merasa hal itu tidak pernah disampaikan. Seperti lelucon di bawah ini.

Keledai Nasrudin jatuh sakit, karenanya ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan. Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.

Beberapa teman Nasrudin yang melihatnya, mengira sedang ada sesuatu yang penting. Mereka berteriak, "Ada apa Nasrudin ? Mau ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru?”

Nasrudin balas berteriak, "Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku!"

Jadi jangan banyak berharap sesuatu itu datang dengan sendirinya, tanpa usaha dan upadaya. Sebab pada dasarnya kepahaman sendiri didapat dengan cara mencarinya. Tidak dengan berpangku tangan. Menunggu kuda berbicara.

Setiap habis sholat fardhu, setiap muslim biasanya membaca tasbih, tahmid dan takbir. Orang biasanya menyebut wirid. Ada yang 10 – 10, ada yang 33 – 33. Tetapi pernahkah kita berpikir, kenapa kalimat itu yang dipilih Rasulullah SAW untuk diamalkan? Kenapa tidak yang lain? Mudah-mudahan tidak ada yang langsung menghadang dengan stempel penghakiman: itu ro’yu. It’s fine. Namun seperti layaknya mencari jalannya syukur, dalam hal ini kita berharap juga bisa mengkaji lebih jauh kalimat tersebut dalam keseharian kita untuk manfaat yang lebih besar tentunya, yaitu menguak tabir jalan menuju kebahagiaan. Jalan menuju rela memaafkan.

Mari kita renungkan kata subhanallaah - Maha Suci Allah. Allahlah yang tersuci, nggak punya salah, nggak punya cela, nggak lupa. Perfect. Sementara itu manusia adalah tempat kesalahan, ketercelaan dan kealpaan. Nggak perfect. Meresapi kalimat tasbih ini, seharusnya membuka hati kita untuk menjadi pemaaf. Memahami kesucian, akan melunturkan keangkuhan hati kita. Sebab kesucian itu hanya punya Allah. Kesempurnaan itu adalah milikNya. Yang Maha Sempurna adalah Allah. Sedangkan manusia itu adalah makhluknya. Jadi dia tidak akan bisa menyamaiNya. Manusia itu tidak sempurna. Jadi sebagian orang mengatakan; kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Kalau ada manusia yang sempurna, berarti dia bukan manusia atau kita yang salah melihat. Dengan memahami konsep ini, hati kita akan selalu terbuka untuk memaafkan orang lain. Gampang memaafkan. Nggak bencian. Rela. Lilo legowo. Bahkan memampukan memaafkan sebelum dimintai maaf. Simaklah surat Ali Imron ayat 191 berikut; "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.

Bernie Siegel dalam karya best seller-nya yang berjudul Love, Medicine and Miracles mengajukan sebuah bukti meyakinkan. Sebagaimana ia tulis secara amat percaya diri di halaman 202 bukunya, Siegel telah mengkoleksi 57 kasus keajaiban kanker. Di mana ke lima puluh tujuh orang ini sudah positif terkena kanker, dan begitu mereka menghentikan secara total dan radikal kebencian, depresinya menurun drastis, dan yang paling penting tumornya mulai menyusut. Sebagai kesimpulan, Siegel menulis : ‘when you give love, you receive it at the same time. And letting go of the past and forgiving everyone and everything sure helps you not to be afraid’. Ketika Anda memberi maaf, Anda juga menerimanya pada saat yang sama. Dan kesediaan untuk melepas masa lalu dengan cara memaafkan, secara meyakinkan membantu Anda keluar dari kekhawatiran.

Pernahkah kita menyadarinya? Bahwa kita dibimbing agar menjadi insan yang nyegoro – penuh maaf dengan memahami bacaan tasbih yang kita baca setiap habis sholat. Kita dituntun setiap hari. Kita mengakui bahwa Allahlah Yang Maha Suci dan makhluknya itu tidak suci. Dengan demikian kita diajar menjadi insan yang paripurna. Mengetahui mana yang hak mana yang batil, yang asli dan mana yang palsu. Inilah kunci rahasia kebahagiaan dibalik kalimat tasbih yang kita baca sehari minimal 165 kali.

Sudahkah kita meresapinya? Bahkan telah mengimplementasikannya dalam setiap gerak langkah hidup kita? Sebagai buah dari hikmah pemahaman yang Allah berikan kepada kita? Allohumma atinal hikmah.....

Jumat, 05 Juni 2009

Kepemimpinan

Konon, suatu hari Sun-tzu, jenderal perang Tiongkok yang kesohor itu, ditantang oleh Kaisar untuk mengajari dayang-dayangnya agar bisa berbaris dengan baik. Menurut Kaisar, boleh saja Sun-tzu jago di medan perang, tapi belum tentu ilmunya mempan di istana.
Sun-tzu cuma tersenyum. Tapi, sebelum menerima tantangan itu, ia minta Kaisar menganugerahkan "leadership yang mutlak dan absolut" agar ia bisa mengemban tugas dengan baik. Dan, Kaisar dengan senang hati memberikannya.
Usai menerima kuasa Kaisar, Sun-tzu mulai bekerja. Semua dayang dikumpulkan. Brifing dan pengarahan diberikan. Tapi hampir semua dayang tertawa manja cekikikan. Menurut mereka, kok aneh, dayang Kaisar diajari baris-berbaris.
Usai pengarahan, Sun-tzu mulai memberikan aba-aba untuk berbaris. Hasilnya tentu saja kacau-balau. Ada yang diam di tempat. Juga ada yang baris ke kanan, padahal aba-aba ditujukan baris ke kiri. Pokoknya, kacau abis.
Sun-tzu dengan sabar mengulangi pengarahan dan brifing. Namun kali ini dengan peringatan. Kalau mereka tetap membandel dan tidak mau menjalankan perintah, akan kena hukuman. Hasilnya ternyata sama. Dayang-dayang raja hanya tertawa bercanda sambil cekikikan.
Sun-tzu pun berang. Kini saatnya ia menjalankan "leadership mutlak dan absolut". Sun-tzu memerintahkan agar dayang yang paling disayangi Kaisar dipenggal kepalanya. Tentu saja Kaisar protes keras. Tapi Sun-tzu memperlihatkan dekrit Kaisar yang memberinya "leadership mutlak dan absolut". Kaisar terpaksa konsekuen dan membiarkan Sun-tzu memenggal dayang kesayangannya.
Usai upacara pemenggalan kepala dayang kesayangan Kaisar, latihan kembali dimulai. Ajaib, para dayang tidak ada lagi yang tertawa. Mereka tidak lagi bercanda. Tawa cekikikan musnah sudah. Kegiatan baris-berbaris pun sukses. Barulah kemudian Sun-tzu mengembalikan dekrit kepada Kaisar.
Terkadang ada perasaan canggung untuk mempraktikan kepemimpinan yang mutlak dan absolut. Banyak yang gamang karena tidak mendapatkan contoh yang jelas dari Rasulullah SAW. Mari kita simak hadist berikut yang diriwayatkan di dalam Shohih Bukhori maupun Shohih Muslim. Kedua hadist tersebut diriwayatkan dari orang yang sama yaitu Ali r.a., walaupun ada sedikit perbedaan redaksi. Inti kedua hadist tersebut sama. Kita bisa mendapatkannya di K. Imaroh halaman 4 - 7, dan mungkin kebanyakan kita sudah pernah mendengarnya bahkan mengkajinya.
Dari Abi Abdur Rahman dari Ali r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus pasukan – jaisy - dan menjadikan amir atas mereka seorang rojul, maka dia menyalakan api dan berkata, “Masuklah kalian pada api”. Maka manusia berkehendak untuk masuk pada api, tetapi yang lain berkata, “Sesungguhnya kita lari dari api (neraka).” Maka dituturkan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka bersabda beliau kepada orang yang mau masuk api,”Seandainya kalian masuk ke dalam api, maka tidak henti-henti kalian didalamnya sampai hari qiyamat.” Dan bersabda beliau kepada yang tidak mau masuk api dengan ucapan yang baik lalu Rasul bertitah, “Tidak ada taat di dalam menentang Allah, sesungguhnya taat itu di dalam kebaikan.” (Rowahu Muslim)
Berbeda dengan yang diriwayatkan oleh Muslim, di dalam Shohih Bukhori hadistnya lebih komplit dan lebih lengkap. Dari Abi Abdur Rohman dari Ali r.a. berkata Ali, Nabi SAW mengutus pasukan – sariyah - dan Nabi membuat amir seorang rojul dari Anshor, dan Nabi memerintahkan mereka untuk taat kepadanya. Maka kemudian Rojul tersebut marah-marah kepada mereka dan berkata, “Tidakkah sungguh memerintah Nabi SAW agar taat kalian kepadaku” Mereka menjawab,”Ya.” Berkata Rojul, “Memerintahkan aku atas kalian untuk mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan kalian pada api, kemudian masuklah kalian pada api tersebut.” Pasukan kemudian mengumpulkan pada kayu bakar, dan menyalakan mereka pada kayu bakar sehingga menjadi api, maka ketika berniat mereka untuk masuk, maka berdirilah sebagian mereka dengan sebagian dengan saling berpandangan. Berkata sebagian mereka, “Sesungguhnya kita ikut Nabi SAW itu untuk lari dari api, kenapa kita akan memasukkan diri ke dalam api?” maka ketika mereka tengah memperdebatkan hal itu, matilah nyala api dan hilang marahnya rojul. Kemudian dilaporkan kejadian itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Seandainya masuk kalian pada api, tidak akan keluar kalian darinya selamanya, sesungguhnya taat itu di dalam kebaikan.” (rowahu Bukhory).
Dimana letak mutlak dan absolutnya? Umumnya kita menyikapi hadist ini dari sisi rukyah saja, yaitu kewajiban seorang rukyah kepada pemimpinnya supaya taat selama masih dalam koridor kebaikan - tidak maksiyat. Dan memang demikianlah halnya. Jarang kita berpikir terbalik atau memandang dari sisi yang berbeda, yaitu dari sang pemimpin. Ternyata apa yang dilakukan oleh rojul tersebut tidak dikomentari oleh Rasul.
Sepanjang penelusuran saya – sampai saat ini – saya belum menemukan nasehat yang diberikan kepada rojul, selaku pemimpin, dengan adanya kejadian tersebut. Yang diceritakan adalah nasehat kepada para anggota pasukan, agar mereka bisa memilah dan memilih dalam hal ketaatan. Tidak kepada pemimpin pasukan. Hal ini dikarenakan, mandat yang diberikan Nabi kepada rojul itu mutlak dan absolut. Dengan kata lain, ketika tongkat kepemimpinan diberikan dari Nabi ke rojul tersebut berarti dengan segala atributnya diserahkan kepadanya. Apapun yang dilakukan boleh dan sah-sah saja, selama mandat itu ada padanya. Hanya seiring dengan pemberian mandat yang mutlak dan absolut tersebut dibarengi dengan perkeling atau mandat kepada anggota pasukan agar taat di dalam hal yang baik. Sekarang, kita menyebut dan mengumandangkannya sebagai : adil dan taat.
Kisah dan hadist di atas memberikan ilustrasi bahwa "leadership" harus selalu mutlak dan absolut. Tidak pernah bisa dibagi dan didistribusikan. Sebaliknya, mengambil keputusan boleh saja dilakukan secara mufakat dan musyawarah. Mengambil keputusan secara kolektif boleh-boleh saja. Tetapi kepemimpinan atau leadership harus selalu satu, mutlak dan absolut. Ini harga mati yang tidak bisa ditawar.
Jadi jelas sudah sekarang, bahwa ketika seseorang menerima amanat berarti dia diberi kewenangan yang bersifat mutlak dan absolut berkenaan dengan amanat tersebut. Dan hal itu akan berakhir ketika amanat tersebut dikembalikan atau habis masa waktunya. Padahal, kullukum roin........, sehingga kita perlu tahu dengan pasti kapan memberlakukan kewenangan mutlak dan absolut tersebut.