Rabu, 17 Juni 2009

Bangun Pagi

Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi.. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.

Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu
sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal
kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu
dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan
matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering
disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia-
usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi. Apalagi sampai menikmati
indahnya terbit matahari.

Apakah terbitnya matahari itu indah? Wow, luar biasa. Bagi kita
yang sibuk dengan kerja, pergi petang, pulang juga petang, sempatkanlah
untuk bisa menikmatinya. Nikmatilah indahnya pagi, kala mentari hendak
berangkat meninggi. Sejuta kesan dan pemahaman begitu banyak terungkap
di kala menyambut pagi, seperti sebait tembang dari guru SD saya ini;

ayam berkokok bersahutan
kelelawar kembali ke persembunyian
takut datangnya siang/kesiangan
di timur sudah memerah, dst..

Setidaknya setiap akhir pekan, ketika saya berkumpul dengan
keluarga, saya pasti bisa menikmati indahnya pagi. Selepas subuh, sikecil sudah minta ditemani keluar rumah mengitari jalan komplek rumah kami. Dengan kayuhan sepeda, kami menyusuri lorong pagi hari dengan berkah yang banyak sekali. Udara segar, terasa murni tanpa polusi. Ada tetesan embun yang bening, menebar aroma dingin dan membuat sejuk serta adem di hati. Cess, meredam sisa – sisa amarah yang tertinggal. Kemudian udara diselimuti sedikit hamparan kabut lembut temaram, yang membuat mata menari - nari waspada dan enggan untuk memejam kembali. Pemandangan
yang elok. Nuansa putih. Ada tiupan angin sepoi – sepoi, tak bersuara, menusuk pori – pori. Kicau burung, kokok ayam berlomba – lomba ‘pamer diri’, seolah menirukan kontes – kontes yang ada di tv. Merdu dan membawa wujud syukur menyambut pagi.

Kemudian nun jauh di atas sana, awan bersolek, berubah dari warna aslinya. Ketika datang pagi, awan berbaju warna seiring sorot sinar matahari. Awalnya yang gelap - hitam, kemudian sedikit benderang dengan balutan warna kemerahan di sekujur sisinya. Semakin lama semakin terang, jelas memerah, kemudian sedikit demi sedikit jingga beraduk. Dan lamat –lamat merekahlah bulatan merah di garis cakarawala. Semakin lama
– semakin sempurna bulatnya dan tampaklah warna kekuningan - kuningan di sekitar awan, menggusur warna jingga dan merah sebelumnya. Akhirnya terang - benderang. Matahari menampakkan dirinya untuk menandai dimulainya hidup baru yang penuh semangat dan vitalitas. Matahari adalah symbol gagah dan berani. Dengan warna merah total yang tak tertandingi di pagi hari. Dialah matahari, menyapa alam semesta dan negeri ini.

Di saat itulah, saya merasakan banyak nikmat Allah yang terlewatkan begitu saja. Di pagi itulah, banyak penyegaran akan pemahaman hidup ini bermunculan. Dan waktu itulah, saya sadar bahwa banyak ayat-ayat Allah yang bisa saya deres kembali lewatnya. Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam
dan siang niscaya jadi ayat bagi orang – orang yang berakal. (QS AliImron ayat 190). Allahu Akbar.

Pertama, saya teringat pelajaran tentang waktu sholat. Ketika saya tanya anak saya yang paling gede, kapan waktu shubuh? Dengan spontan dia jawab, dari jam 4.30 sampai jam 6.00 pagi. Jawaban yang jujur dan mewakili (kebanyakan). Sekarang muslim jarang yang mengetahuidengan pasti bagaimana tuntunan Nabi SAW dalam menentukan waktu sholat. Hadist yang ada sudah dikonversi ke jam, menit dan detik. Buat apa capek
– capek mesti memperhatikan matahari, kan sudah ada jam? Begitulah kira
– kira opini orang masa kini. Buat apa meski mengintip matahari jika
bangun kesiangan? Kalau jarum jam masih belum di angka 6 dan kamar masih gelap, pasti masih waktu shubuh? Nah, timbullah menyepelekan diri. Melupakan ajaran yang hakiki. Padahal kalau mau, menikmati pagi hari itu mudah dan gampang sekali. Apalagi kalau cuma melongok matahari. Sejatinya Rasulullah SAW mengajarkan bahwa waktu subuh itu ketika terbit fajar sampai sebelum terbitnya matahari. Tentunya, setiap muslim
harusnya bisa menikmati datangnya pagi setiap hari. Bahkan menyambutnya dengan dua rekaat sebelum sholat shubuh yang lebih baik daripada dunia dan seisinya ini.

Kedua, saya teringat salah satu doa Nabi SAW, Allahumma barik liummatii fii bukuurihaa – Ya Allah berilah kebarokahan bagi ummatku di dalam pagi – pagiannya (Kitabul Ahkam hal 26. Hadits no 49, dari Shokhr Alghomidi). Doa yang meresap. Dalam. masuk dan nempel kayak prangko. Memberikan motivasi dan kesegeran yang luar biasa abadi. Ajaran yang luhur, yang harusnya membuat manusia selalu bersemangat dalam hidup.Sebab mendapat doa Nabi. Tidak loyo dan tidak malas. Ketiga,mensyukuri dan menikmati hidup ini. Bahwa penciptaan langit dan bumi serta perselisihan malam dan siang adalah ayat Allah Yang Maha Tinggi. Marilah kita nikmati. Marilah kita syukuri. Jangan biarkan anugerah yang besar ini lewat begitu saja setiap hari. Sebab suasana pagi bisa menghilangkan jiwa yang penat. Dia mengusir gundah pikiran, menghilangkan malas dari badan dan kebaikan lain seiring datangnya pagi.
Marilah kita ikuti. Programlah hidup kita ini mengikuti pola alam semesta yang penuh kebarokahan ini. Penuh kesempurnaan, sehingga kita bisa berucap: keindahan alami untuk kebaikan diri. Karena sesungguhnya suguhan pagi hari adalah merupakan hukum – hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semesta ini. Ia tidak akan berganti sebelum Allah menitahkan perubahannya. Oleh karenanya, mari nikmati bangun pagi …!

oleh : Heri_Lantabur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar