Senin, 15 Juni 2009

Sengaja

Di dunia ini sah – sah saja kita mau berbuat apa. Pengin terkenal, istrinya empat, boleh. Pengin kaya, mobilnya banyak boleh. Menjadi pencuri kondang juga boleh. Menjadi pencopet ulung pun boleh. Mencalonkan diri sebagai pedagang boleh. Maju menjadi presiden, diperbolehkan juga. Memilih miskin juga boleh. Apapun pilihannya boleh dan sah-sah saja. Intinya mau jadi orang baik atau buruk boleh – boleh saja, asal tahu dan paham akan konsekuensi serta akibatnya. Sebab apa yang diperbuat oleh manusia pada dasarnya selalu dikontrol dengan hukum alam (sunnatullah) dan hukumnya Allah. Inilah kuncinya. Maka orang – orang yang mengetahui dan memahami hukum Allah, mereka selalu memilih untuk berbuat baik terus sepanjang masa. Sebab ketika mereka berbuat jelek, maka tidak ada orang lain yang dirugikan kecuali dirinya sendiri. Semuanya kembali dan bermuara pada diri pribadi mereka sendiri, bukan orang lain. Man ‘amila sholihan falinafsihi, waman asaa’a fa’alaihaa.
Nah, dalam pergulatannya, tak jarang orang yang ingin mencapai tujuannya tersebut mengorbankan orang lain. Sharing akibat, bukan sharing hasil. Kalau berhasil gue yang dapat, gue yang hebat, kalau gagal, pasti gara-gara lho, begitu kira – kira falsafahnya. Orang yang berjiwa semacam ini banyak jumlahnya di sekitar kita. Bersliweran. Inilah tipe orang yang tidak bertanggung jawab. Tipe orang yang belum paham akan hukum alam, apalagi hukumnya Allah. Mungkin kita bisa cermati kasus Manohara. Terlepas benar – tidaknya kasus yang menimpanya, hukum alam (termasuk di dalamnya hukum social) sedang berjalan pada dirinya. Sebagai pihak yang merasa teraniaya, awalnya banyak orang bersimpati padanya. Akan tetapi, dengan sikapnya yang “mumpung” ada kesempatan menjadi terkenal, menjadi selebritis, dia begitu bernafsu, sehingga semakin berkurang simpati yang ada terhadapnya. Dia bukan lagi sebagai orang yang teraniaya, tetapi statusnya berubah menjadi penyebar fitnah. Sebab belum ketahuan benar – salahnya, tetapi sudah berbicara kemana – mana. Bandingkan dengan kasus Prita, yang tambah hari semakin banyak yang simpati. Bahkan pasangan capres – cawapres pun ikut turun gunung memberikan simpatinya. Ini adalah pelajaran real, berlakunya hukum alam – sunnatullah di dunia ini. Dia berlaku bagi siapapun, dimanapun selagi masih menginjak bumi Allah ini. Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka kepunyaan Allahlah semua kemuliaan itu, Kepada Allah naik perkataan - perkataan yang baik dan amal yang sholih. Dan orang – orang yang berupaya berbuat jelak bagi mereka siksaan yang pedih. Dan rencana jelek mereka akan hancur. (QS Fathir ayat 10).
Bagi yang tidak tahu, belum ngerti, atau lupa ada semacam permakluman, jika sampai melanggar hal itu. Nah, yang patut diwaspadai adalah bagi yang sengaja melanggarnya. Sudah tahu dilanggar pula. Atau mencoba – coba. Ini yang repot. Udah begitu, minta tolong orang lain untuk mencarikan jalan keluarnya. Kalau enak diam – diam, kalau tidak enak ngundang – undang. Beberapa waktu yang lalu, saya dimintai tolong untuk memberikan nasehat dan mencari solusinya untuk seorang Bapak dalam masalah rumah tangganya. Dari usia, dia memang lebih tua dari saya, beda 10 sampai 12 tahunan. Bedanya Bapak ini sedang bercerai dari istri keduanya, dan minta dicarikan lagi sebagai gantinya. Sebab dia mengakui kalau dirinya itu oversex, jadi sudah kliyengan jika istri pertamanya sedang menstruasi. Kalau diminta berpuasa, juga sudah menyerah duluan. Nggak kuat, katanya. Mendengar argument awalnya, saya sudah tidak simpati. Sebab terlihat jelas ketidakkonsekuenannya. Ingin enaknya sendiri dan sharing masalah dengan yang lain.
Karena tanggung jawab moral, dan niat karena Allah, untuk saling menasehati sebagai sesama muslim, akhirnya kuberanikan menasehatinya juga. Maksudnya noto ati agar tenang dan sikap yang trapsilo, papan empan adepan, tidak grusa – grusu dan marah – marah. Pertama, kembali ke niat. Apakah sudah benar niatnya untuk kawin lagi? Nantinya tidak cerai lagi? Memperbanyak janda? Apakah sudah benar niatnya kalau dirinya tidak mampu berpuasa? Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Walladziina jaahadu fiinaa lanahdiyannahu subulanaa. Karena saya melihat, bahwa Bapak ini sudah paham dalil: sunnahnya untuk wayuh dan puasa sebagai tameng. Tapi aplikasinya saja yang tidak pas. Sebab kalau lihat istri yang diajukan juga termasuk criteria yang susah: cantik, muda dan paham. Nah, siapa yang nggak bingung untuk menolongnya. Dicarikan yang asal, juga nggak mau. Pilih – pilihnya tinggi. Dan juga ndalil, kan kawin dengan orang yang disenangi? Oalah, mak…! Astaghfirullah….
Kedua, introspeksi. Lelaki adalah pemimpin yang akan ditanya dari istri, anak dan harta bendanya. Saya hanya meminta Bapak tersebut mengenali dirinya sendiri lebih jauh, kemampuan dan kekurangannya. Juga menengok kembali keberadaan keluarga dan anak – anaknya. Jangan hanya mengejar kesenangan thok dan lupa tanggung jawab pada keluarga yang ditinggalkan. Sebab itu semua akan menjadi beban nanti di akhirat sana.
Tak banyak. Hanya simpati dan doa agar semua itu bisa dilewati dengan baik. Kalau mau kawin lagi silahkan, semoga ketemu jodohnya dan tidak ‘gampang’ cerai lagi. Atau bisa menemukan pengendalian diri yang ampuh atau jalan lain yang barokah. Juga keluarga yang pertama tidak berantakan. Dalam hati kecil saya terbersit guyonan, teringat iklan rokok a-mild: jangan – jangan Bapak ini tidak sengaja melakukan itu semua, tapi dia hanya iseng aja ngetes para pengurusnya. Barangkali……wallahu a’lam. Hanya kepadaNya kita serahkan semua perkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar