Minggu, 30 Agustus 2009

Disayang atau Dilaknat Al Qur’an?

Ambil Al-Quran yang sehari-hari dipakai mengaji. Lalu buka lembar demi lembar. Selamat, bagi yang sudah lancar membaca Al-Quran alias ”Qori” dan sudah khatam bacaan-makna-keterangan. Lalu bagaimana dengan yang makna-keterangan belum khatam, bacaan belum tartil, apalagi yang belum bisa membaca?
Padahal selama hidup sejak aqil baligh, atau sejak insof, sudah ribuan jam waktu dihabiskan untuk membaca (urut abjad): abstracts, artikel, cerbung, cergam, cerpen, diktat, e-book, handbook, jurnal, kamus, komik, koran, majalah, novel, tabloid, textbook, thesaurus dll. Semua orang tahu dalil ini: tolabul ‘ilmi faridlotun ‘alaa kulli muslimin ~ mencari ilmu itu wajib bagi orang muslim. Tetapi ilmu apakah yang wajib dicari?

Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa ilmu yang wajib dicari itu ada tiga, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan Faroidl atau ilmu waris. Selain itu hanyalah keutamaan saja. Belasan tahun sumberdaya enerji, waktu, tenaga, pikiran, dan dana dihabiskan untuk mencari sekian banyak ilmu dunia yang menghasilkan setumpuk ijazah, sementara 3 ilmu yang wajib dicari dan dikuasai yang passsti berakibat terhadap konsekwensi sorga-neraka seseorang, justru diabaikan. Ironis? Nggak lah. Sangka baik kepada Allah ~ husnudzonbillah saja, itu semua terjadi karena kekurang-fahaman atas hadits tadi, bukan karena selainnya. Yang terpenting adalah mengambil langkah-langkah korektif secepatnya.

Kendala Qori
Firman Allah: warottilil qur’aana tartiila ~ dan bacalah Al-Quran dengan tartil, tertib. Suara pun harus terdengar tetapi tidak asbun ~ asal bunyi melainkan harus tepat sesuai makhraj (bunyi keluarnya suara) dari huruf hijaiyyah: alif ba` ta` tsa` dst sampai ya`.
Bagi beberapa etnis orang A’jam (non-Arab), makhroj huruf hijaiyyah saja sudah satu persoalan tersendiri.

Untuk sebagian orang Sunda totok, misalnya, Nauu’dzubillah sulitnya membunyikan fa` yang kerapkali tisoledat ~ tergelincir menjadi pa`. Itu karena rumpun suku Kabayan ini tidak mengenal vocabulary “f” tapi “p”: peuyeum, peureum, peureus,peupeus, peuheur, peungkeur, peureudeuy. So, jangan heran kalau ‘fa-aina’ terdengar jadi ‘pa-aina’, atau bahkan ‘pa-aena’.
Untuk sebagian orang Jawa totok, misalnya lagi, Masya Allah sulitnya membunyikan huruf ‘ain. Maunya ‘ngain terus. Jangan heran kalau sholawat “wa ‘ala ali ibrohim” terdengar ”wa ngala ngali ngibrohim”.

Itu baru huruf hijaiyyah yang adalah ilmu 1 huruf. Ada lagi tajwid atau ilmu 2 huruf, perihal pertemuan 1 huruf dengan 1 huruf lainnya: izh-haar, idghaam, iqlaab, ikhfaa`, qalqalah, madd dan waqaf. Di Indonesia, ada tambahan kendala dimana didalam konvensi literasi huruf hijaiyyah menjadi bahasa Indonesia, bukannya ditulis kho` tapi kha`, `ro tapi `ra, shod tapi shad, dst, dst. Semakin membuat lieur saja, bukan?

Perjalanan Panjang Talaqqi
Belajar membaca Al-Quran adalah perjalanan panjang. Ada yang masih ingat masa kecil dulu ketika masih di level ‘alif-ba-ta’? Saat itu belum ada metoda Iqra temuan KH As’ad Humam. Sepertinya lahiriahnya khusyuk, padahal batiniahnya ketakutan dengan sebatang rotan di tangan ustadz yang siaga-satu siap melayang jika sampai ulangan ke 3 bacaan masih salah.
Belajar sendiri dari kaset atau MP3 player? Tidak bisa. Seperti halnya Fahri didalam “Ayat-Ayat Cinta”. Udara Kairo sepanas apapun tetap ditembusnya demi talaqqi (murid berhadapan langsung) dengan guru bacaan Qiro’ah Sab’ah.

Mengapa? Sebab tanpa talaqqi mana mungkin tahu imalah dimana ditulis “majrooha”, tetapi jika dibaca persis seperti itu, sudah pasti salah. Mana mungkin tahu sakat yang ibarat tombol pause tape atau MP3 player kepencet. Mana mungkin tahu ismam: “laa ta-manna” yang salah-benarnya hanya bisa diketahui dengan mata telanjang, bukan dengan kuping, dst.
Al-Quran bukanlah buku biasa yang siapa saja bisa membacanya tanpa guru. Jibril tidak mengajarkan hijaiyyah dan tajwid kepada Muhammad, kemudian membiarkan Muhammad membaca Al-Quran sendiri.

Al-Quran adalah firman Alloh yang disimpan di Lauh Mahfudz, kemudian disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad kata demi kata, ayat demi ayat. Dimulai dari ’iqro bismirobbikalladzii kholaq’, terus sampai 6.666 ayat, ditutup ‘minal jinnati wannaas’.

Belajar Al Quran haruslah sabar, konsisten dan persisten alias ngotot dalam pengertian positif. Tuh, Rosul saja perlu 23 tahun untuk talaqqi kepada Malaikat. Apalagi kita yang orang A’jam manusia biasa talaqqi kepada guru yang orang A’jam biasa pula.

Bacaan Murottal
Lalu bagaimana dengan kaset dan MP3? Silahkan, tetapi setelah melewati tahap talaqqi. Itu justru sangat bermanfaat untuk mengasah pendengaran, menirukan bacaan dengan makhroj-tajwid yang dipelajari ketika talaqqi, dan mempelajari langgam atau lagu.

Ada bacaan qori Syeikh Abdullah Al Matrud, Abdurrahman As Sudais, Ali Al Khudzaifi, Hani Ar Rifai, Mahmud Al Husori, Misyari Rasyid Al Hafasi, Muhammad Ayub, Sa’ad Al Ghomidi, Su’ud Asy Syuraim. Di Indonesia, ada bacaan qoriah Dra. Hj. Maria Ulfah M.A. www.mariaulfahm.com, dan qori H. Muammar Z.A yang ternyata cukup populer di www.youtube.com.

Sebagai Imam Masjidil Haram, As Sudais dengan suara tenor dan Asy Syuraim dengan suara bariton adalah yang paling populer. Tetapi jika diperhatikan, keduanya memendekkan mad jaiz dari 5 menjadi 2 harakat. Setelah minta pendapat KH Kasmudi Asshidqy yang juga penulis di majalah Nuansa ini, bacaan qori Syeikh Al Ghomidi yang paling pas dengan bacaan hafs di Indonesia.

Alat Bantu: 3-Qori SSG
Dulu, bacaan Al Quran disimpan didalam kaset. Masih terkenang ribet kemana-mana membawa sekotak puluhan kaset. Sekarang dalam format MP3, 30 Juz bisa disimpan dalam 1 keping CD. Kelemahan belajar qiroat dari kaset dan MP3 player, antara lain karena perlu seringnya menekan tombol ”REW” dan ”FF”. Lebih memakan waktu untuk memundur-majukan ayat daripada konsentrasi terhadap belajar qiroat.

Bersyukurlah, saat ini ada Pena Qori, alat digital made in swasta dengan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) yang di launching di MTQ Nasional ke XXII 17 Juni 2008 lalu di Serang, Banten. Dalam suatu demo, mata Pena Qori diarahkan ke ayat-ayat di surat At-Takwir maju-mundur secara acak. Luar bisa kecepatan dan ketepatannya! Hanya dengan menempelkan pena 90 derajat sejarak 0,6 mm dari mushaf ayat 26, terdengarlah suara “Fa aina tadzhabuun” dan terjemahannya “Maka kemanakah kamu akan pergi?”

Resensi banyak media terhadap pena qori digital ini bisa dilihat di www.google.co.id dengan keyword “Pena Digital Fasih Membaca Alquran”. Di kampus IIQ, pena qori digital dijual dengan harga Rp. 1,27 juta, sedangkan di MTQ XXII pena qori dijual dengan harga Rp. 850 ribu. Sampai saat ini baru ada pena qori digital berisikan suara qoriah Maria Ulfah. Sangat praktis, apalagi dilengkapi earphone. Penulis saat ini sedang nego untuk membuat pena digital berisikan suara 3-qori sekaligus Sudais-Syuraim-Ghomidi. Pihak pabrikan setuju. Tetapi karena memakan waktu dan biaya, maka tentu saja ada minimum economics of scale, ada minimum pesanan, Yang bener aja ah, mosok minta dibuatkan pena digital berisi database 19.998 ayat dari 3 orang qori Makkah-Madinah, trus cuma pesen 1 biji! Penulis mengundang para pembaca yang budiman

2 Opsi: Mau Disayang? tau Dilaknat Al Quran?
Fahri bak pahlawan. Dia tidak hidup dengan Siti Nurbaya, zaman sabak. Dia hidup dengan Maria-Aisyah, zaman internet. Dia memberikan pelajaran kepada kita betapa talaqqi tidak bisa tergantikan oleh metoda apapun, tidak dengan kaset, tidak dengan MP3. Dan demi talaqqi, dia terkena meningitis.

Puasa di ambang pintu. Marhaban! Inilah waktu yang tepat untuk talaqqi. Inilah waktu yang pas untuk solat hifdzi. Lalu kebut jadi Qori dengan menggunakan alat bantu mutakhir yang boleh jadi merupakan ‘barang hilangnya’ orang mumin: al hikmatu doollatul mu-miniin.
Sekian tahun menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan dana untuk membaca buku mencari ilmu menuai ijazah, kini tiba saatnya kembali khusyu’ membaca Al-Quran.

Alloohummar hamnaa bil qur’aan
~ Ya Allah, sayangilah kami dengan Al-Quran
Waj’alhu lanaa imaaman wa hudan wa nuuron wa rohmah
~ dan jadikanlah Al Qur’an bagi kami menjadi imam, petunjuk, cahaya, dan rahmat
Alloohumma dzakkirnaa minhu maa nasiinaa
~ Ya Allah, ingatkanlah kami dengan Al Qur’an atas segala apa yang kami lupa
Wa ‘allimnaa minhu maa jahilnaa
~ dan ajarilah dengan Al Quran atas segala apa yang kami bodoh

Rubba qoori-in lil Quraan wal Quraanu yal’anhu ~ Adakalanya orang membaca Al-Quran dan Al-Quran melaknatinya, demikian riwayat sebuah hadits didalam tafsir Haqi dari Aisyah. Jadi kalau yang membaca Al-Quran saja masih diancaman dilaknat Al-Quran, lalu bagaimana dengan yang tidak? Apalagi yang buta baca? Addduhhh! Fa aina tadzhabuun? Sumber: http://nuansaonline.net

Posted by M. Syarifuddin.

Jumat, 21 Agustus 2009

Menyambut Ramadhan --- Marhaban ya Ramadhan


Hingar – bingar menyongsong ramadhan telah terasa. Spanduk dan iklan sudah tertempel di mana – mana. Kegiatan – kegiatan pengiringnya juga tampak di segala penjuru, seperti nyekar (ziarah kubur), bersih – bersih masjid dan asesoris lainnya. Tak kalah juga tayangan televisi pun berubah menjadi ”islami”. Ucapan – ucapan selamat berpuasa dan himbaun yang baik lainnya tertera di sudut – sudut yang enak untuk dibaca mata. Ramadhan big sale! Bulan penuh rahmat. Bulan maghfiroh, penuh berkah dan lain sebagainya.

Tak ketinggalan dengan kita. Selalu ada riuh – rendah menyambutnya. Pengurus selalu melakukan refreshing jelang datangnya bulan mulia ini. Mengkaji ulang ilmu – ilmunya. Meningkatkan nasehat – nasehat bab puasa. Mengingatkan bagi yang punya hutang segera nyahur. Mengingatkan agar bermaaf – maafan sebelumnya. Banyak taubat. Pencanangan 5 sukses yang harus diraih sebagai bench mark ramadhan: sukses puasanya, sukses tarawihnya, sukses i’tikaf dan lailatul qodarnya, sukses baca qurannya dan sukses zakat fitrahnya. Mudah-mudahan ini tidak menjadi rutinitas yang membelenggu. Ramadahan adalah rutinitas tahunan. Sebulan sekali dalam setahun umat islam diwajibkan berpuasa. Yang intinya agar menjadi orang yang taqwa, penuh cinta dan kehambaan pada Yang Kuasa.

Dari berbagai dalil yang sering mengudara di tempat – tempat pengajian, menurut saya ada satu hal yang luput dari perhatian khalayak. Yaitu membedakan antara puasa – shoum dan bulan ramadhan itu sendiri. Sebab, ketika pengertian ini rancu menjadikan kita mati gaya. Puasa adalah amalan ibadah. Dia bisa dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang. Sedangkan ramadhan adalah waktu. Serangkaian hari yang berjumlah 29 atau 30 yang disebut bulan. Waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kelebihan dan keutamaan di dalamnya, yang tidak ada di bulan lain. Di bulan ramadhan diwajibkan puasa, ada lailatul qodar, dilipatkan kebaikan dan keburukannya melebihi bulan lain.

Maka ketika datang waktu yang baik itu, secara otomatis bagi penggiat kebaikan akan bersiap diri, melihat keutamaannya. Bagi para pencari pahala akan bergembira menyambutnya. Bagi para pecinta Tuhan akan segera bergegas mengejarnya. Karena waktu yang barokah, bulan suci yang hanya ada setahun sekali. Karena begitu mulianya bulan ini, maka Allah mewajibkannya mengisi bulan ini dengan cara berpuasa. Maka tersebutlah puasa ramadhan. Sebab puasa adalah amalan yang tiada bandingnya. Allah sendiri yang akan membalas. Puasa berbeda dengan amalan lain. Puasa adalah tameng.
Dari Abu Umamah, r.a., dia berkata, ’Aku berkata, ’Wahai Rasulullah perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ’Berpuasalah karena ia tidak ada yang menyamainya.’ ’Aku berkata, ’Wahai Rasulullah perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ’Berpuasalah karena ia tidak ada yang menyamainya.’ (Rowahu An-Nasa’i)

Sufyan bin Uyainah ditanya tentang firmanNya: ”Setiap amal anak adam itu untuknya kecuali puasa, ia adalah untukKu,” maka dia berkata, ”Pada hari Kiamat Allah menghisap hambanya, dia membayar kedhaliman yang dilakukannya di dunia dari seluruh amal baiknya sehingga ketika yang tersisa adalah puasa, maka Allah menanggung kedhaliman yang tersisa dan memasukkannya ke surga.”

Dari Abu hurairoh ra. Dari Nabiyullah SAW, dia bersabda, ”Puasa itu perisai/tameng dan benteng yang kokoh dari neraka.” (Rowahu Ahmad)

Mudah-mudahan dengan sedikit catatan di atas menjadi jelas bagi kita mengapa orang antusias ketika datang bulan ramadhan. Saking berkahnya di bulan ini ada yang namanya THR, ada mudik, halal – bilhalal dan kebarokahan – kebarokahan yang lain. Nah, bagi para pencari Tuhan mungkin dalil berikut ini pantas untuk direnungkan.

Beliau SAW bersabda, ’Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata, ”Semoga jauh dari surga orang yang mendapatkan ramadhan lalu dia tidak diampuni.” Maka aku berkata, ’Amin.’ (Rowahu Hakim).

Dan hendaknya setiap amalan yang dilakukan di bulan ramadhan ini dilakukan dengan imanan wahtisaban. Semoga kita bisa mengisi full ramadhan ini dengan kebaikan dan kebaikan, mengurangi dan menghilangkan kejelekan. Yaa baghiyal khoir aqbil, wayaa baghiyasy syarri aqshir. Juga maknailah bulan ini sebagai bulan pelatihan bukan bulan ujian atau peperangan. Sebab jin dan syaitan telah dibelenggu oleh Allah. Selama 30 hari latihlah diri kita untuk benar – benar bisa menemukan jalan cinta kepada Allah agar mendapat gelar taqwa. Dengan demikian tak salah jika kita menyapa Marhabban ya ramadhan – selamat datang ramadhan karena memang ia istimewa.

Untuk alasan itu semua, maka ijinkanlah saya mohon maaf jika ada kekurangan dan kekhilafan selama ini. Semoga kita semua bisa menghadapi bulan latihan ini dengan khusyu dan ihsan. Juga, mungkin selama ramadhan, akan banyak berkurang tayangannya, karena lagi melatih diri, meguru, menimba ilmu, mburu target dan mengepolkan kemampuan yang ada. Jika ada waktu dan kesempatan insya allah dengan senang hati akan on air lagi dengan topik – topik berikutnya.

Oleh :Faizunal Abdillah

Jumat, 07 Agustus 2009

Taubat (3)


Konon, sering diperdengarkannya kata taubat, taubat dan taubat, adalah bagian dari sosialisasi. Maksudnya pemasyarakatan kata taubat, sehingga tidak menjadi angker. Biar familiar. Nyegurah. Taubat itu baik. Taubat itu terhormat. Taubat itu bagian dari amal sholih. Taubat itu bagian yang tak terpisahkan dari ubudiyah. Taubat adalah rangkaian ibadah. Sama seperti wudhu. Bukan untuk ditakuti atau dibenci. Bukan untuk dibuang dan dilupakan. Tapi untuk dipahami dan didalemi - nresep, dihayati dan dirasakan - mantep, sehingga mendarah daging, menjadi ciri, menjadi thobiat. Semakin sering diucap, diharapkan semakin nancep di hati. Semakin sering diperdengarkan semakin terbiasa. Gendang telinga nggak aneh lagi. Sehingga tidak terkejut atau sakit hati, ketika menjalani ritual taubat yang sejati.

Untuk memahami lebih luas dan lebih padang, cuplikan hadits berikut rasanya perlu dicermati bersama, agar wawasan dan pandangan tentang taubat bisa nlisir. Godir ngalih. Jembar kalangane. Padang rembulane. Wening. Hingga akhirnya hilang semua bimbang dan keraguan, menuju kesenangan untuk bertaubat ketika berbuat salah atau dosa.

Dari Ibnu Abbas ra., dia mengatakan, ”Orang Quraisy pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, ’Berdoalah engkau Muhammad kepada Rabbmu untuk kami agar dia menjadikan Bukit Shofa menjadi emas. Jika Bukit Shofa berubah menjadi emas, maka kami akan mengikutimu.’ Maka Rasulullah SAW berdoa kepada Rabbnya. Lalu datanglah malaikat Jibril dan berkata, ’Sesungguhnya Rabbmu menitipkan salam buatmu dan berfirman untukmu, ’Jika kamu mau, maka Bukit Shofa akan menjadi emas buat mereka, tapi jika ada yang kufur setelah itu, maka Aku akan siksa mereka dengan siksa yang tidak pernah Kutimpakan atas siapapun juga. Dan jika engkau mau, maka Aku bukakan buat mereka pintu taubat dan rahmat.’ Rasulullah SAW menjawab, ’Pintu taubat dan rahmat saja.” (Rowahu ath-Thabrani)

Jalan taubat adalah jalan kembali menemukan rahmat Allah yang tiada batas. Taubah adalah berkah yang pol. Dan adalah rahmat, sebab taubat bisa dilakukan asal ajal belum sampai tenggorokan dan qiyamat belum datang. Ada jeda. Interval. Waktu tunggu yang merupakan suatu pemberian Allah yang tiada terperi. Bayangkan seandainya Rasulullah SAW tidak memilihnya. Alangkah berdosanya ketika kita menyia-nyiakan pilihan agung itu. Itu adalah pilihan Nabi SAW atas umatnya. Pilihan terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Sepenuh masa. Lebih baik dari dunia dan seisinya. Pilihan yang tiada taranya. Yang lebih luas dan menjangkau. Berlaku sampai kiamat tiba. Sebutan apa yang cocok ketika ada yang menyepelekan pilihan itu? Dan orang yang menyepelekan adalah orang yang alergi dengan taubat. Orang yang termasuk menyepelekan adalah orang yang benci bertaubat. Orang yang menyepelekan adalah orang yang malas bertaubat ketika berbuat salah. Hanya menganggap seperti lalat yang lewat di depan hidung saja. Sekali gibas hilang. Pergi. Mabur. Tapi kembali dan kembali lagi, tak pernah merasa menyesali. Dimana letak yu’adhimnya? Ketika masih ada rasa berat itu, mari bangkitkan lagi semangat pengagungan terhadap syariat, syair - syair yang telah dipilih dan ditetapkan Allah dan Rasul untuk kita.

Melalui atsar – atsar ini, bisa kita garis – bawahi bahwa ketika bersalah gandengannya adalah taubat dan pulihannya harus banyak beramal sholih, amal yang baik. Seperti orang kalau sakit, harus ke dokter dan minum obat agar cepat kembali sehat. Jika kita sakit, tetapi dibiarkan saja, atau malah dibuat kerja keras terus, alamat bencana yang akan diterima. Bukan malah sembut tapi malah akut, tambah parah. Dan bisa – bisa jadi binasa, mati sia - sia. Adakah yang mau seperti itu? Tentu tidak bukan?

Oleh :Faizunal Abdillah

Taubat (2)


Banyak sekali contoh – contoh pertaubatan yang rekam – jejaknya bisa kita temui di sejumlah atsar, baik di al-Quran maupun al-Hadits, yang dilakukan oleh hamba - hamba Allah tempo dulu. Darinya kita bisa ambil pelajaran dan suri tauladan. Salah satu yang populer adalah taubatnya seorang jagoan yang telah membunuh 100 orang. Dalam akhir kisahnya sang jagoan diterima taubatnya, walaupun lewat pertengkaran dan split decision, kemenangan tipis. Karena jarak ke desa yang mau dituju – tempat orang – orang sholeh - oleh sang jagoan lebih dekat satu jengkal dibanding dengan desa asal, maka Allah menghukumi menerima taubatnya dan memasukkannya ke surga. Berikut hadits versi panjangnya.

Dari Abu Said al-Khudri ra., bahwasanya Nabi Allah SAW bersabda, ’Pada umat sebelum kalian terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, lalu dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling banyak ilmunya, lalu ditunjukkan kepada seorang rahib/pendeta. Dia mendatangi pendeta dan menceritakan bahwa dia telam membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, bisakah dia bertaubat? Si pendeta menjawab, ’Tidak.’ Si lelaki tadi lalu membunuh pendeta itu. Dengan demikian dia telah melengkapi menjadi seratus. Kemudian dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling banyak ilmunya, lalu dia ditunjukkan kepada seorang alim. Kemudian dia menceritakan bahwa dia telah membunuh seratus jiwa, bisakah dia bertaubat? Si alim menjawab, ’Ya, siapakah yang bisa menghalangi antara dia dan taubat?’ Pergilah kamu ke negeri ini dan ini. Di sana ada sekelompok orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Janganah kamu kembali ke negerimu, karena ia adalah tempat yang buruk.’ Maka dia pun berangkat, ketika sampai di tengah perjalanan dia meninggal. Maka malaikat rahmat dan malaikat adzab pun memperebutkannya. Malaikat rahmat mengatakan, ’Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadap kepada Allah dengan hatinya.’ Malaikat adzab mengatakan, ’Dia tidak melakukan perbuatan baik sama sekali.’ Kemudian malaikat lain datang dalam wujud seorang manusia. Lalu ketiga malaikat itu meletakkannya di antara mereka. Lalu malaikat yang baru datang mengatakan, ’Ukurlah jarak antara dua tempat itu. Kearah mana yang lebih dekat, berarti dialah yang lebih berhak atas orang ini.’ Meraka pun mengukur jarak dan mereka dapatkan bahwa lelaki itu lebih dekat (sejengkal) ke arah tempat yang dituju, maka malaikat rahmat pun mengambilnya.” (Rowahu Muslim)

Nah, sekarang mari kita bandingkan dengan kisah pertaubatannya Firaun yang disebutkan dalam surat Yunus ayat 90 – 91. Ketika berhasil mengejar Musa dan kaumnya sampai di tepi laut merah, si Gemblung Firaun yakin kalau dia bisa menghancurkannya. Tetapi ternyata Musa bisa menyeberangi lautan. Dan Firaun mau tenggelam ketika menyusul Musa. Allah berfirman; ”Dan Kami melewatkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dua kasus ini hampir mirip, serupa, tetapi hasilnya jelas beda. Si lelaki pembunuh 100 orang masuk surga, sedangkan Firaun menjadi penghuni neraka. Kenapa bisa? Hadits berikut ini adalah jawabannya.

Dari Abdullah bin Umar r.a., dari Nabi SAW beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (Rowahu Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

Pada kasus Firaun, pada saat menjelang ajal baru dia mau taubat dan beriman, oleh karena itu tobatnya tidak diterima. Ditolak. Sudah sekarat baru tobat. Dalam sejumlah tafsir dijelaskan bahwa malaikat menjejali/nyawur lumpur ke mulut Firaun sehingga tidak bisa berucap sempurna. Maka dia masuk ke neraka. Sedangkan pada kasus pembunuh berdarah dingin ini, jelas dia memulai mengikrakkan niatnya untuk bertaubat sejak telah membunuh 99 orang. Kemudian setelah ketemu si alim dia memutuskan pergi ke negeri kaum sholih. Dengan demikian posisi si pembunuh dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sekarat. Maka ketika datang mati, posisinya dalam keadaan berangkat mau bertaubat walaupun belum kesampaian. Oleh karena itu, diampuni dan digolongkan sebagai penduduk yang sholih.

Nah, sesuai dengan komparasi ini perlu disimak dan direnungi kembali Surat al-An’am 158 berikut ini, sebagai warning bagi kita semua. Allah berfirman; “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu (qiyamat). Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)."

Karenanya, isilah selalu keimanan kita dengan kebaikan sebelum ajal tiba. Dan jangan lupa untuk banyak taubat. Ya, taubat….

Oleh :Faizunal Abdillah

Taubat


Jujur saja, in my mind, dulu taubat itu sesuatu yang harus dijauhi. Kalau perlu jangan sampai dilakukan. Dia seakan sebuah prestige dan prestasi, jika sedikit melakukan taubat. Sedikit taubat berarti hebat. Sedikit taubat berarti sedikit salah. “Anda layak dapat bintang,” itu kira – kira. Apalagi bagi mereka yang pernah mengalami masa perploncoan ketika jadi mahasiswa. Dimana dituntut perfect, tidak boleh salah sedikit pun. Kalau salah itu jelek. Salah itu aib. Salah itu harus diganjar dengan hukuman yang berat. Ini kultur kita. Walhasil, banyak yang jera melakukan kesalahan. Kalau sampai berbuat salah sebisa mungkin ditutupi. Ditutupi yang rapat supaya tidak ketahuan. Dan tidak kena hukuman.

Awal – awal saya mengaji juga begitu. Nuansa taubat tidak jauh berbeda. Ia masih menjadi momok yang menakutkan bagi setiap diri. Belum ada apresiasi yang benar mengenai taubat. Hanya sebatas taubat itu baik, tapi implementasi, sosialisasi dan lingkungannya masih kontra produktif. Belum mendukung sepenuhnya satu sama lain. Bagaimana kita mau melihat taubat itu baik, kala kita tertimpa kesalahan dan disuruh taubat, yang lain malah sorak kegirangan? Banyak yang masih memandang sebelah mata, memandang “hina” kala kita menjalani taubat. Banyak yang seolah nyukurin dan seolah arena balas dendam. Akhirnya kata taubat menjadi jargon hampir di setiap pembicaraan; “Awas taubat lho!” Sebagai sindiran karena seringnya disuruh taubat oleh pengurus dan atau kiat bagaimana memilih jalan agar terhindar dari taubat. Jangan sampai kena taubat. Begitulah, Naudzubillah.

Beruntung, dari dulu saya diberi kepahaman bahwa salah itu biasa dan benar juga biasa. Tidak ada manusia yang sempurna. Alhamdulillah. Semenjak dulu saya punya prinsip jangan takut berbuat salah. Oleh karena itu, rentetan kejadian yang pernah menimpa diri ini, seakan mengalir dan semakin membuat diri ini kuat dan kuat dalam menghadapi berbagai hal. Mendapatkan pelajaran yang berharga, yang mungkin tidak didapatkan oleh yang lain. Dan yang penting, itu semua tidak menjadikan sakit hati, dendam atau kemarahan. Justru merupakan cikal bakal pemahaman yang lebih baik dan lebih sempurna tentang arti taubat. Hikmah yang membahana untuk mengerti arti qodar yag sesungguhnya. Ditengah memudarnya pesona taubat di kalangan kita. Demikianlah Allah paring.

Mungkin pengalaman masa lalu, atau rasa malas yang berlebih, atau rasa superiornya, banyak yang berprinsip taubat itu kan urusan kita dengan Allah? Maksudnya disirkan saja. Disamarkan. Diam – diam saja. Betul, tetapi sudah benarkah cara melakukannya? Seberapa rutinkah kita taubat kepada Allah? Atas kesalahan apa? Banyak kita yang sok suci, nggak tahu apa salahnya ketika disodori blanko taubat. Bahkan ada yang bertanya kepada teman sebelahnya, apa ya salah saya? Saking bingungnya. Terus terang, banyak di antara kita yang terjangkit penyakit seperti ini, merasa tidak punya salah dan dosa.

Untuk mendalami dan menyelami arti penting dan indahnya taubat, mari kita cermati hadits berikut ini. Dari Abu Huroiroh ra., dari Nabi SAW beliau bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sekiranya kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, maka niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan mengganti dengan kaum yang melakukan dosa lalu mereka memohon ampun (taubat) kepada Allah dan Allah pun mengampuni kepada mereka.” (Rowahu Muslim)

Menurut saya, ini hadits yang harus dicamkan betul sebagai dasar pemahaman qodar salah/dosa dan pengembangan arti pentingya masalah taubat bagi setiap diri ke depan. Sebab hadits ini memaklumatkan penggantian diri, penggantian kaum yang tidak pernah melakukan dosa. Diawali dengan sumpah lagi. Kenapa kok diganti? Sebab itu sudah menyalahi ketentuan Allah. Sebab Allah telah mengdodar setiap insan itu punya salah dan dosa. Dengan salah dan dosa itu bukan berarti Allah benci atau tidak adil kepada hambanya. Akan tetapi dengan salah dan dosa itu, justru merupakan jalan bagi seorang hamba untuk mendapatkan rahmat Allah yang lebih baik dan lebih tinggi di sisiNya. Jalan itu disebut taubat (yang artinya adalah kembali). Jadi Allah sangat, sangat senang jika mendapati seorang hamba bertaubat setelah melakukan kesalahan. Bahkan di hadits lain senangnya lebih sangat daripada kembalinya tunggangan seorang musafir di padang tandus lengkap dengan perbekalannya.

Nah, mulai sekarang dan ke depan mari kita sadari bersama bahwa taubat adalah salah satu jalan untuk memperoleh keridhoanNya, memperoleh kecintaanNya, sebagaimana Allah sebutkan dalam kitabnya: Innallaaha yuhibbut tauwwabiin – Sesungguhnya Allah senang kepada orang – orang yang bertaubat. Dengan demikian, taubat tidak dipandang lagi sebagai beban atau hukuman, melainkan sebuah jalan untuk memperoleh kembali kehormatan di sisiNya. Dan telinga kita tidak alergi lagi ketika mendengar kata; taubat, tobat dan tobat...lho!

Oleh :Faizunal Abdillah

PUISI INDAH DARI RENDRA

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Oleh :WS Rendra