Kamis, 28 Mei 2009

Menghilangkan Benci

Walaa tahaasaduu, walaa tabaghodhuu, walaa tadaabaruu wakuunuu ‘ibadalloohi ikhwaanan – janganlah kalian saling dengki, jangan saling marah, dan jangan saling benci - jadilah hamba – hamba Allah yang bersaudara. (Rowahu Bukhory Fii Kitaabul Adab dari Abu Huroiroh).



Dengki, marah dan benci adalah bersaudara. Setali tiga uang. Tiga sekawan, dimana antara satu dan lainnya saling terkait dan terhubung.
Tak terpisahkan. Kadang marah bisa menjadi sebab benci. Tapi dari benci bisa juga muncul kemarahan. Dari benci bisa timbal iri. Dan sebaliknya dari iri menelorkan benci. Karena iri bisa jadi penyebab marah, atau marah karena dengki. Dan mereka adalah produk hati. Ketiganya merupakan penyakit yang bersarang dan beranak - pinak di hati. Ada factor kesulitan yang tinggi untuk memilah – milah dan memisahkan menjadi satu wujud yang mandiri – berdiri sendiri. Sebab pada kenyataannya memang saling terkait dan akar – akarnya berdempet – dempet kusut di dalamnya.



Salah seorang murid Nasrudin yang terkenal cerdas dan pintar di sekolah, mengajukan sebuah pertanyaan.

"Manakah keberhasilan yang paling besar; orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu ?" tanya muridnya.

“Nampaknya, ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya," kata Nasrudin menimpali.

"Apa itu?" kata muridnya ingin tahu.

“Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya", tutur Nasrudin dengan bijaknya.



Serupa dengan cerita di atas, untuk menyingkirkan ketiga penyakit dari hati bisa dilakukan ketika kita sadar apa yang sedang terjadi. Apakah yang muncul ke permukaan itu marah? Apakah itu benci? Atau sebenarnya hanya dengki? Ketika kita sadar dengan apa yang terjadi pada diri kita, baru kita akan tahu apa yang mesti dilakukan. Sebab semua sudah berada pada tempat dan kedudukan sebagaimana adanya. Kalau datang marah, maka kita hadapi dengan sabar. Munculnya kemarahan kita siram dengan api kesabaran. Jika marah itu sumbernya dari kebencian, maka bunuhlah dengan sikap memaafkan. Memaafkan adalah melepaskan. Memberi maaf akan menghilangkan kebencian. Sedangkan jika fenomena yang mengemuka itu adalah rasa dengki, maka habisilah dengan banyak memberi. Terutama memberi kepada orang yang kita benci.



Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imron 133 – 134).



Kembali pada kebencian, yang nota bene adalah masa lalu, maka tak ada jalan lain untuk melepaskannya kecuali dengan cara melupakan dan memaafkan. Dengan memaafkan berarti melepas masa lalu. Membiarkannya pergi sebagaimana waktunya itu. Rela memaafkan berarti menaruh beban yang terbawa sepanjang waktu. Seperti cerita Nasrudin yang terjebur ke dalam kolam.

Suatu hari Nasrudin hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak dikenal berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Nasrudin orang itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Nasrudin berterima kasih berulang-ulang.



Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasrudin mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Nasrudin langsung melompat ke air. "Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku.
Sudah, pergi sana!" kata Nasrudin menyudahi.

Kurang lebih seperti itulah memutus mata rantai kebencian dengan memaafkan. Bukan berarti persis seperti Nasrudin yang kecemplung kolam, tetapi terhentinya pengungkitan dan balas budi. Ketika kita tidak lagi mengingatnya, ketika kita telah benar – benar melupakan dan menaruhnya pada tempatnya. Putus, nggak nyambung lagi. Tinggal saat ini, kekinian, yang kita nikmati untuk kemudian merangkainya untuk menyongsong masa yang akan datang. Biarlah masa lalu hanya tercatat dalam history, tetapi tidak di hati.



Rabindranath Tagore – pujangga India - dalam The Heart of God pernah mengatakan : ‘when the far and the near will kiss each other, and life will be one in love’ – ‘Bila yang jauh berciuman dengan yang dekat, maka kehidupan menyatu dalam cinta’. Mungkin kedengarannya puitis, tetapi sebenarnya ini merupakan penjelasan dari Sabda Nabi SAW di atas, yaitu Jadilah hamba – hamba Allah yang bersaudara. Kenapa? Karena yang jauh adalah kejadian-kejadian di masa lalu, sekaligus harapan-harapan kita akan masa depan. Yang dekat adalah kehidupan kita yang riil dan nyata di hari ini. Dan keduanya tidak mungkin disatukan oleh kebencian. Ia jauh lebih mungkin dijembatani oleh kesediaan untuk memaafkan. Melepaskan dan memaafkan. Dan dari sinilah lahir bibit-bibit unggul cinta buat sang kehidupan. Jadilah hidup seperti bersaudara, dimana saja kita berada.



Mari, mulailah dari sekarang untuk banyak memaafkan. Entah itu memaafkan isteri, suami, musuh, diri sendiri, atau siapa saja agar kebencian menjauh dan sang kehidupan menyatu dalam cinta -wakuunuu ‘ibadalloohi ikhwaanan.

Bertanya

Saya termasuk orang yang tidak pinter bertanya. Di sekolah, waktu kuliah, di pengajian, acara training, di rapat dan tempat pengajaran yang lain, jarang sekali saya mengacungkan tangan tanda bertanya. Mungkin kurang pede, itu alasan kuno. Atau bisa jadi karena jaim atau malahan sok tahu. Padahal kalau ditanya juga nggak bisa menjawab. Terserah apa kata orang, yang jelas beginilah hidup. Tak semua orang harus bertanya untuk mengerti, dan tidak setiap pertanyaan ada jawabnya. Kadang malah mengerti sendiri itu jadi pertanyaan. Aneh bukan? Contohnya seperti ketika Nabi Musa minta kepada Allah untuk melihat wajahNya. Boro – boro lihat, malah pingsan.

Para leluhur mengatakan, jika tidak mengerti bertanyalah. Maka ada pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Tetapi setelah mengerti banyak juga yang terus bertanya dan bertanya lagi. Katanya untuk kepuasan. Nggak lega kalau nggak bertanya. Bertanya menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya terkandung maksud – maksud lain. Ada sesuatu dibalik pertanyaan itu. Ngetes misalnya, kita tak tahu. Bahkan sekarang bertanya ada sekolahnya, bagaimana bertanya dengan sopan dan tepat.

Yang lain ada yang memilih diam, tidak bertanya. Diam adalah emas, itulah mottonya. Mau ngerti ya diam. Nggak ngerti, ntar tanya kepada teman atau kapan – kapan. Ketika datang kesadaran atau pengertian – setelah sekian waktu, seringkali berteriak sendiri; Alhamdulillah ketemu juga sekarang, setelah sekian lama mencari. Oh, begini toh ternyata. Itu bisa terjadi tahunan, di saat yang lain sudah paham dan meninggalkan. Dia baru sadar. Jadi berubahlah pepatah di atas; malu bertanya, jalan – jalan. Itulah sifat sebagian manusia.

Bertanya boleh – boleh saja, asal tahu aturannya. Allah berfirman, Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun - Maka bertanyalah kepada ahli dzikir -orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl 43). Inilah aturan pokok bertanya, ketika kita memang tidak tahu. Dan bertanyanya juga kepada orang yang tepat. Aturan berikutnya adalah bertanya untuk menambah keimanan dan keyakinan. Seperti kisah Nabi Ibrohim minta kepada Allah untuk ditunjukkan bagaimana Allah membangkitkan orang yang mati karena: litathmainna qolbii. Atau kisah Uzair yang lewat di suatu kampong yang telah rata dengan tanah, sebagaimana Allah jelaskan dalam surat Al-Baqoroh ayat 259 - 260.

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS al-Baqoroh 259)

Dan (ingatlah) ketika Ibrohim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibarohim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqoroh:260)

Jangan sok tahu seperti kisah Nabi Musa ketika berguru dengan Nabi Khidhir, atau pepeko seperti kisah Bani Isroil dengan Nabi Musa ketika disuruh mencari sapi betina untuk dipotong guna menemukan siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Lengkap sudah contohnya. Semua dari Bani Isroil. Maka tak heran kadang kita sering mendengar cap Bani isroil pada orang yang banyak bertanya. Seperti himbauan, jangan banyak bertanya nanti kayak Bani Isroil. Maklum, tapi esensi bertanya tetap harus ada karena dalam hal tertentu bertanya memang ada guna dan manfaatnya. Nah, sebenarnya kisah Bani Isroil ini masih ada baiknya. Tidak melulu jelek. Sebab walaupun sok tahu atau pepeko mereka tetap mengerjakan perintah. Walaupun yang tadinya gampang jadi susah. Karena sebenarnya yang paling bahaya adalah bertanya untuk merubah hukum dari halal menjadi harom atau sebaliknya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW, “Sesungguhnya lebih besarnya dosa muslim di dalam kaum muslimin adalah orang yang bertanya dari perkara yang tidak diharomkan maka kemudian diharomkan atas manusia sebab berasal dari pertanyaannya.” (Rowahu Abu Dawud Kitabu Sunnah 507).

Jadi, jangan seperti saya, yang nggak pinter dan nggak berani bertanya. Ngomong – ngomong pengin sesat di jalan atau jalan – jalan? Lho kok malah tanya? Katanya nggak pinter tanya dan nggak berani tanya. Oh maaf, ……. lupa.

Selasa, 26 Mei 2009

Kaya

Susah untuk mendefinisikan kaya. Sebab ia berubah – ubah seiring berkembangnya waktu. Dulu punya sepeda saja bisa dikatakan kaya. Kemudian berkembang, disebut kaya kalau punya ‘honda’. Orang kampong saya menyebutnya udug. Kemudian hal itu tak berlaku lagi, karena baru dikatakan kaya kalau sudah mengendarai mobil. Terus, terus dan terus berkembang. Tak ada habisnya. Bahkan daftar orang kaya pun terus berubah dari tahun ke tahun. Tapi ada kesepakatan tentang kemiskinan. PBB lewat organisasi underbownya: ILO dan WHO - mengeluarkan definisi jelas, bahwa dikatakan miskin kalau penghasilan perharinya kurang dari US $ 2. Atau kalau dikurskan menjadi sekitar IDR 20.000,-. Inilah garis kemiskinan itu. Namun, tiba – tiba saja memory saya terbang jauh ke jaman mahasiswa dulu. Salah satu mentor saya - Mas Fauzan Luthfi - dalam satu kesempatan pernah berkata ketika kita punya istri, sepetak kamar untuk tempat berteduh dan pembantu, maka status kita adalah raja. Predikat raja pantas disematkan di pundak kita. Jika kita punya istri dan rumah untuk tempat tinggal, maka status kita adalah kaya. Bukan fakir atau miskin apa lagi. Ini, yang kucari.

Perburuan status dan predikat kaya sudah menjadi fenomena umum umat manusia, dari dulu sampai sekarang. Seperti lampu yang dikejar para laron. Bahkan saking menderunya, apapun dilakukan. Segala cara ditempuh. Berbagai upadaya ditebas. Tak kenal halal, tak kenal haram yang penting ujungnya: kaya. Sebab kaya adalah strata. Kaya adalah penghormatan, meski besar pengorbanannya. Medan perburuan sedemikian dramatisnya, sulit dan berat, sampai – sampai banyak kata terucap: cari haram saja susah, apalagi yang halal. Dunia oh dunia, begitu dalam membiusnya.

Tak ayal lagi, jarang manusia yang berspirit takut kaya. Padahal esensinya inilah yang dicari. Semua orang terlahir miskin, jadi tidak perlu takut miskin lagi bukan? Sebab dari asalnya sudah miskin. Sedangkan kaya adalah sesuatu yang baru dengan segala problematikanya. Sudah siapkah kita dengan dunia yang baru yang disebut dengan sebutan orang kaya itu?

Nah, sebelum kita sampai di sana, di ranah kaya, harta dan benda – kajen keringan – kayakanlah hati kita dulu. Besarkanlah jiwa kita dahulu. Bahwa ada standar minimal yang bisa mengharu – biru suasana kekayaan hati kita. Bukan kuantitas, tetapi kualitas. Landasan utama untuk berteriak; eureka! Sebab pada hakikinya kita telah menjadi kaya bahkan menjadi seorang raja. Dari beberapa tafsiran dan definisi, mungkin hadits ini bisa dijadikan rujukan arti kaya yang lebih sederhana dan mengena. Lebih membahana dan lebih bisa dirasa untuk dihayati apa adanya.

Dari Abu Abdirrahman al-Hubuli, dia mengatakan, aku pernah mendengar Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan dia ditanya oleh seseorang, orang itu mengatakan, “Bukankah aku termasuk salah satu fakir Muhajirin?” Abdullah balik menanyainya, “Apakah kamu mempunyai seorang istri tempat engkau kembali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki rumah yang bisa engkau tinggali?” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah lalu mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk orang kaya.” Orang itu berkata lagi, “Sesungguhnya aku memiliki seorang pembantu.” Abdullah mengatakan, “Kalau begitu engkau termasuk raja.” (Rowahu Muslim – hadits mauquf).

Banyak orang yang terlupa dengan spirit hadits di atas. Bahkan nggak populer, karena bius dunia. Semangat kesederhanaannya hilang. Yang ada adalah saling mengungguli, antara satu dengan yang lain. Kaya adalah serentetan perabot rumah beserta isinya. Segandengan kendaraan dan rasa bangganya. Sekumpulan rasa wah terhadap sekitarnya. Padahal, ada yang lebih sederhana, sebagai pelengkap hati yang kaya, kayanya diri yaitu ketika kita memiliki istri dan rumah sendiri. Serempak dengan spirit redaksi hadits ini adalah hadits yang menyatakan miskin bagi lelaki yang belum beristri.

Masa depan adalah misteri, nggak ada yang tahu kita mau jadi apa. Jalanilah hidup ini apa adanya, seperti air mengalir. Isilah hati dan jiwa kita dengan paradigma kaya hati. Penuhi jiwa kita dengan ghina nafs. Ini yang paling penting dan genting. Sebab darinya bisa menelurkan kesederhanaan dalam berpikir dan kesahajaan dalam mengambil keputusan serta keindahan dalam memandang hidup. Tidak grangsang. Tidak ngoyo. Tapi bisa sakdermo. Nrimo ing pandum.

Maka selain menyempurnakan agama, ketika seorang lajang menikah, maka statusnya dia merintis jalan menuju kaya. Setengah kakinya sudah berada di area kaya, tinggal selangkah lagi demi kesempurnaannya. Yang penting, mari sadari betul bahwa mau kaya itu gampang dan mau jadi raja itu juga gampang (kalau Allah paring). Caranya pahamilah dalam – dalam hadits di atas. Sayangnya, banyak orientasi, pemikiran dan keyakinan kita masih berada di seberangnya atau malah menerjang dengan kuatnya – breakthrough, sehingga hancurlah semua. Kaya hati tidak. Kaya harta tidak. Kaya pemikiran tidak. Bahkan kaya cita – cita pun tidak. Alangkah sedihnya. Yang ada hanya rintihan, keluhan dan kesahan: oh kaya – kaya,… betapa susahnya. Padahal hidup itu sendiri adalah kekayaan yang melimpah. Siapa memungkirinya?

Jumat, 22 Mei 2009

Esai kehidupan7

Ukuran kebahagian seseorang itu bisa dilihat dari tingkat kesyukurannya. Semakin tinggi mentalitas kesyukuran seseorang, menunjukkan semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya. Hidup penuh kesyukuran itulah hidup yang penuh kebahagiaan. Seperti cerita silat yang nggak ada matinya; kembang jadi buah dan buah jadi kembang. Selalu menang dan menang dalam menghadapi segala situasi apapun. Bukan lagi berada pada aras dalil – Lain syakartum la aziidannakum, tetapi sudah lebih jauh lagi. Maksudnya tidak lagi berpandangan kalau syukur akan nikmat itu akan ditambah, akan tetapi memahami lagi bahwa kesyukuran itu sendiri adalah nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya sebagai bentuk ibadah. Akhirnya, hidup ini kewalahan syukur, sehingga hampir – hampir terucap: afalam akunu abdan syakuron.

Mungkin sudah lama dan sering kita mendengar dalil masalah syukur; Lain syakartum la aziidannakum. Banyak yang hafal, banyak yang berucap. Gampang, tapi susah. Susah menemukan pemahaman dan penghayatan agar benar – benar nyanthol di hati. Meresap dan bisa menjelma menjadi abdan syakuron – derajat tertinggi dalam hal syukur ini, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang kontinyu sholat malam sampai kaki bengkak dan pecah – pecah. Namun sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita ikuti barisan anak tangga selangkah demi selangkah. Tidak perlu terburu – buru. Sebab untuk menjadi ahli syukur perlu waktu dan usaha yang kontinyu agar tidak mati layu.

Kesyukuran tidak bisa dibuat – buat. Dia haruslah berasal dari hati terdalam dengan mengikutkan seluruh indera kita dalam satu waktu, satu kesempatan. Terganggu sedikit proses tersebut, akan hilang totalitas kita dalam bersyukur. Oleh karenanya perlu banyak berlatih, disiplin dan penuh penghayatan. Yang penting lagi kesadaran kita akan situasi yang kita jumpai, seperti cerita tokoh kita Nasrudin berikut ini.

Setelah lama bepergian jauh, Nasrudin tiba kembali di rumahnya. Istri tercintanya menyambut dengan gembira. Lalu dihidangkanlah keju untuknya.
“Aku punya sepotong keju untukmu," kata istrinya.
“Alhamdulillah," puji Nasrudin, "Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut."

Tidak lama kemudian Nasrudin kembali pergi beberapa waktu lamanya untuk keperluan yang lain. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga. Namun kali ini tidak ada keju yang dihidangkan. Teringat akan memori yang dulu, dia pun bertanya, "Adakah keju untukku?"
"Tidak ada lagi," kata istrinya.
"Ahamdulillah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi”, kata Nasrudin.
"Jadi mana yang benar ?" kata istri Nasrudin bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?"
"Itu tergantung," sambut Nasrudin, "Tergantung apakah kejunya ada atau tidak dan bagaimana kita mensyukuri setiap keadaan yang kita jumpai."

Kisah ini semoga bisa menjadikan inspirasi buat kita untuk memiliki mentalitas syukur yang pol. Aras syukur yang tinggi. Paradigma syukur dan kesadaran syukur setiap waktu. Apapun keadaan yang kita jumpai. Jika hal ini bisa kita miliki, seperti apa yang dikatakan Rendra dalam Makna Sebuah Titipan – maka kita pun akan faham bahwa;“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”.

Alangkah indahnya hidup ini.

Tes, tes, tes,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,ngantuk!!!

Esai Kehidupan6

Kualitas hidup terkadang bisa dilihat dari bagaimana cara kita mengelola masa lalu. Setiap orang pasti punya masa lalu. Ada masa lalu yang indah lagi menyenangkan. Namun, banyak juga yang mempunyai masa lalu yang penuh penderitaan dan kegetiran. Pahit. Menyakitkan. Dengan alasan terakhir inilah, tak jarang orang yang masih hidup dalam kegelapan masa lalunya. Kemana – mana terbawa, seperti kura – kura selalu membawa rumahnya. Tak mau hilang dari hati. Nempel terus. Salah satu bentuk penjajahan masa lalu, pada setiap diri, adalah rasa benci. Kebencian adalah salah satu bentuk reaksi dari ketidakpuasan diri. Dalam pergaulan kita mengenal istilah benci tapi rindu. Itulah bibit kebinasaan. Ia bisa menjelma menjadi monster yang mengerikan, jika kebencian hinggap di dalam kehidupan ini, dan tidak terkendali sejak dini.

Ketika jaman reformasi bergulir, setelah berhasil menggulingkan rezim orba, seorang kawan bekas tapol di zaman Orde Baru mengunjungi rekannya sesama eks tapol. Dengan antusias si kawan bertanya, ''Apakah kamu sudah melupakan rezim Orde Baru?'' Dengan sigap rekannya menjawab, ''Ya, sudah. Saya sudah melupakan semua kekejaman orba''. Si kawan kemudian berkata, ''Saya belum. Saya masih sangat membenci mereka. Susah untuk menghilangkannya''. Si rekan itu tertawa kecil sambil berkata, ''Kalau begitu, mereka masih memenjara dirimu.''

Rekan itu benar, kebencian bisa memenjarakan seseorang lebih dari sekedar penjara – penjara nyata di dunia. Kebencian bisa mengurung seseorang dalam koridor maya sebuah kegelapan. Karena kebencian menutup segala cahaya kebaikan. Bahkan kebencian menghasilkan berbagai produk kejahatan yang turun – temurun dan beranak - pinak tak karuan. Hanya karena rasa benci yang tak mau pergi dari hati. Hanya karena rasa benci yang terus menyelimuti hati. Oleh karena itu, Nabi SAW selalu mengingatkan kita untuk hati – hati dengan masalah benci ini. Walaa tahaasaduu, walaa tabaghodhuu, walaa tadaabaruu wakuunuu ‘ibadalloohi ikhwanan – jangan saling dengki, jangan saling marah, dan jangan saling benci kalian - jadilah hamba – hamba Allah yang bersaudara (Rowahu Bukhory Fii Kitaabul Adab dari Abu Huroiroh).

Kebencian bisa terus berkembang, dari waktu ke waktu, dari hari ke hari. Bertambah dan bertambah. Tengoklah sejarah, di sana sudah tertulis banyak sekali catatan tentang kebencian yang beranak pinak, dan kemudian menghasilkan kehidupan yang mengerikan. Pengkhianatan, pembunuhan dan peperangan. Selain memenjarakan, kebencian bisa memproduksi masa depan yang amat menakutkan. Kebencian itu membutakan. Bukan benci tapi rindu lagi seperti sejoli yang kasmaran, namun benci kepati – pati. Turun pitu.

Dalam hal lain, kebencian berkembang mirip dengan sebuah cerita Zen berikut ini. Ada dua orang pendeta, yang satu muda dan satunya lagi sudah tua, mau berenang menyeberangi sungai. Tiba-tiba ada wanita cantik yang berteriak di belakang minta digendong untuk diseberangkan. Karena alasan senioritas, maka pendeta yang lebih tuapun menyanggupinya. Dua jam setelah kejadian itu berlalu, pendeta yang lebih muda protes: ‘Kenapa Kakak sebagai pendeta mau menggendong wanita cantik tadi ?’. Dengan sedikit kesal pendeta tua berucap : ‘Saya sudah menurunkan tubuh wanita tadi dua jam yang lalu, namun kamu masih menggendongnya sampai sekarang’.

Kebencian tiada habisnya. Ia bisa merambat dari waktu ke waktu. Ia bisa bersembunyi di sela – sela urat nadi. Rapi, sehingga susah dideteksi. Ia terselip di antara rongga – rongga lentik hati. Tersamar dan menyambar ketika ada kesempatan. Ia adalah produk masa lalu. Kebencian tak berujung. Kecuali kita memberangusnya. Memutus mata – rantainya. Merelakan masa lalu sebagai bagian hidup yang harus ditanggalkan, sehingga tidak mempengaruhi hidup kita kini dan ke depan. Ingatlah petuah Imam Ghozali kepada murid - muridnya, "Apa yang menurut kalian paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab negari Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Cina, bulan, matahari dan bintang adalah tempat-tempat yang memang sangat jauh, namun tetap dapat dilihat dan dicapai. Sedangkan masa lalu, bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Masa lalu adalah hal yang letaknya jauh, tetapi banyak diantara kita masih tetap berusaha mendekatinya lewat rasa benci.

Demikianlah cara kerja kebencian. Oleh karena sebuah atau beberapa kejadian yang sudah lewat di masa lalu – sebagian bahkan sudah lewat ratusan tahun yang lalu – sebagian orang menggendong kebencian bahkan sampai mati. Sehingga praktis seumur hidup orang-orang seperti itu isi waktunya hanya kebencian, kebencian dan hanya kebencian. Anda pasti sudah tahu sendiri akibat yang ditimbulkan oleh semua itu. Jangankan doa dan perjalanan menuju Tuhan, tubuh dan jiwanya sendiri pasti dikunjungi berbagai macam penyakit. Aneh, misterius dan kronis. Karena sumbernya sudah jelas: hati yang diliputi rasa benci.
Ayo hilangkan kebencian dari hati, kecuali benci keluar dari quran hadits seperti benci kita jika masuk ke dalam neraka. Akur,,,?

Senin, 18 Mei 2009

Kucing

Tersebutlah lelucon dari bumi wong kito galo. Konon, wong kito ini berkunjung ke salah satu saudaranya di Jakarta. Kebetulan si empunya rumah itu hobby pelihara kucing. Bermacam – macam, ada kucing persia, anggora dan yang lokal juga ada. Lengkap dengan harga dan prospeknya.

Tak mau kalah, wong kito galo ini juga bercerita masalah kucing yang ada di kampung halamannya. Katanya, “Oh ya, sekarang saya juga lagi hobby pelihara kucing. Tapi kucing saya itu liar banget. Kapan itu pernah, ketika telat ngasih makan, tiba – tiba dia nangkring di atas TV 29 in yang flat itu, sambil tengak – tengok cari mangsa. Karena membahayakan oleh anak saya diusir. Bukan malah pergi, eh si kucing malah loncat ke kulkas. Padahal kulkasnya tinggi lho, ada kalau 2 meteran. Akhirnya dilempar kemoceng, biar turun. Kali ini kucing berhasil turun, tetapi malah masuk ke garasi mobil. Langsung dia melompat ke atas Volvo baru saya. Sontak, istri saya segera lari mengusirnya. Karena kalap, akhirnya si kucing melompat dan terjun bebas ke kolam renang di samping rumah. Waduh, kalau nggak sabar – sabar, pertama – tama pelihara kucing itu memang sangat repot dan repot”.

Apakah di rumah Anda punya kucing? Nggak penting punya atau tidak, yang jelas dalam kehidupan ini banyak terjadi hal – hal serupa dengan cerita di atas. Jika Anda masih berpikir bahwa cerita di atas adalah murni cerita kucing, berarti Anda salah cerna. Cerita di atas adalah sebuah kisah pamer yang berkedok kucing. Kucing hanyalah tameng. Kucing hanyalah bungkus dan bumbu cerita. Esensinya adalah pamer kekayaan mulai dari TV yang flat, kulkas yang besar, volvo baru dan kolam renang. Dan itulah sebagian wajah kehidupan dunia ini. Masih ada pamer di sana – sini, nggak orang Jawa, Batak, Sunda, ras Arya, orang Afrika, Arab, Jepang, China dan Amerika sekalipun. Sayangnya, kenapa mesti membawa-bawa yang lain. Apa salahnya si kucing?

Pamer adalah kebanggaan yang kebablasan. Rasa bangga itu perlu, sebab ia bagian dari sebuah keyakinan. Bangga adalah bagian dari bentuk lain kesyukuran. Contohnya seperti saya bangga bisa netepi QHJ. Akan tetapi jika kebanggaan itu ditujukan untuk merendahkan orang lain, dan mengharapkan penghormatan untuk diri kita, ini yang keliru. Karena dia bisa menjadi fanatik, atau kalau nggak fanatik, pasti pamer sebagai ujung yang satunya. Apakah ada yang perlu kita pameri dan pamerkan di dunia ini? Bahkan dalam urusan agama, niatan pamer akan diganjar berat oleh Allah yang Maha Kuasa nanti di akhirat. Kalau kita pamer di dunia, nanti gentian kita dipameri Allah di sana.

Jika jawabannya ya, mari tengok kembali firman Allah dalam surat Hujurot ayat 13, Allah berfirman; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Waspada”.

Jika jawabannya tidak, bersyukurlah. Hal ini menunjukkan kita telah memiliki hikmah hakikinya hidup ini. Tapi awas, jangan terjadi kamuflase seperti cerita di atas. Mungkin secara perkataan, kita bisa menjaganya. Terkadang bahasa tubuh dan gerak kita menunjukkan sebaliknya. Biar orang lain tahu, kalau kita punya jam baru, tanpa disadari kita sering menunjuk-nunjuk dengan mengangkat tangan yang ada jamnya itu. Hindarilah ndobos, seperti cerita di atas. Dan juga lagak seperti cerita jam tangan tadi.

Ngomong – ngomong kenapa tulisan ini diberi judul kucing ya? Itulah salah dan kekeliruan saya yang nggak bisa memberi judul. Tetapi lebih keliru lagi kenapa Anda membaca tulisan ini? Maafkanlah…….,.


Sebelumnya minta maaf, karena menyebut - nyebut wong kito. Ini hanya sekedar cerita.....

Jumat, 15 Mei 2009

Esai Kehidupan1

Terus terang saya tidak ingat lagi, kapan terakhir saya merasa sedih. Rasanya hidup ini terasa enak terus, senang terus. Mungkin, karena rasa syukur pada Allah yang berlipat – lipat sehingga menutup memori – memori kelam itu. Sakdermo. Nrimo ing pandum. Padahal dalilnya jelas, dalam hidup ini haruslah ada cobaan. Hidup haruslah dengan problematika. Tidak bisa tidak. Ada senang, ada sedih. Ada tawa, ada tangis. Ada sukses, ada gagal. Ada kesulitan, ada kemudahan. Ada kelahiran, ada kematian. Ada siang, ada malam. Dan lain sebagainya, sebagai suatu bentuk pasangan yang telah diciptakan Allah. Itulah garisNya. Dalam hidup ini, juga ada mushibah, pun ada salah. Allah berfirman; “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan sungguh kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS al-Baqoroh 155).

Mungkin baru sedikit penjelajahan dan petualangan hidup ini. Indonesia saja belum diputerin semua. Pulau Jawa pun banyak yang belum dikunjungi. Jangankan Pulau Jawa, wong Kota Pati sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Pati, yang tercantum di KTP saya sebagai tempat lahir, belum tuntas saya kunjungi. Kadang saya jadi malu, ketika ngaku orang Pati, tapi nggak tahu Pati. Maaf. Apalagi manca negara. Kemudian berkelahi juga tidak pernah. Tawuran belum punya catatan. Bandel belum pernah merasakan. Maka terkadang pengin merasakan satu per satu pengalaman itu. Namun itu bukan ukuran kualitas hidup seseorang. Sebab kebijaksanaan tidak melulu datang dari hal yang mahal, pelik dan brilian lagi menantang. Bahkan yang paling sederhana pun bisa menjadi hikmah dan guru hidup yang luar biasa, kalaulah bukan yang terbaik. Sebab selama kita masih berpijak pada bumi yang sama, maka kita bisa belajar dan mendengar dari pengalaman orang lain di sekitar kita. Walau tanpa pernah mengalaminya sendiri. Sebab apa yang ada di bumi ini memang diperuntukkan bagi kita semua manusia. Tinggal pinter – pinternya kita mengambilnya. Allah berfirman; “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (QS al-Baqoroh: 29)

Urusan hidup itu sudah ada yang ngatur. Oleh karena itu jangan suka mengatur hidup. Isilah dengan hal – hal yang bermanfaat saja. Isilah dengan yang baik – baik saja, sebagaimana telah diatur dan diberikan yang Maha Mengatur lewat para utusan, di dalam kitab dan sunnatullahnya. Alam semesta telah banyak memberikan contoh, maka para leluhur nan bijak sering berkata, hiduplah seperti air yang mengalir. Mengasihilah seperti sang surya yang menyinari dunia. Kalau kita berbuat baik Allah senang. Kalau kita berbuat baik, kebaikanlah yang kita temui kembali.

Diceritakan seorang pewarta mewawancari seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik sukses buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian.

“Apa rahasianya Pak? Kenapa buah jagung Bapak selalu menjadi juara?” tanya sang wartawan.

Petani itu menjawab, “Tak ada rahasia. Tak ada resep khusus. Biasa – biasa saja. Sebab setiap musim tanam saya selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaik saya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunan saya.”

"Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?" tanya sang wartawan.

"Anda benar. Tapi tak tahukah anda?," jawab petani itu, "Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus memberikan kepada tetangga saya jagung yang baik juga, sehingga mereka pun mendapatkan jagung yang baik pula."

Begitulah hidup. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang kita sentuh di sekitar kita. Nggak jauh – jauh.

Allah berfirman; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imron:190)

Mari terus belajar dan belajar.

Esai Kehidupan2

Kala susah, ada orang cenderung merasa paling menderita sedunia. Ketika ada yang mau menolong dicurigai. Ada yang empati dicuekin. Ada yang mendekat, disuruh menjauh. Pura – pura nggak butuh. Giliran orang lain cuek, tambah sakit hati. Timbul uneg – uneg jelek. Mangkel, dan terus ngancam dalam hati. Awas ya, nanti kalau saya sudah enak, sejahtera, ganti tak cuekin, bisiknya. Begitu susah ilang, dunia seakan milik sendiri. Tak mau berbagi. Ketika diingatkan, malah nglantur. Biar saja to, wong susah, yo susahku sendiri. Makanya, kalau aku lagi senang, ya biar tak rasakan sendiri. Banyak manusia lupa; hidup itu laksana berputarnya roda (urip koyo ubenge roda). Maka nggak salah kalau kita melihat kembali firman Allah dalam kitabnya; “Dan di antara manusia ada orang yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: "Sesungguhnya kami adalah besertamu." Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia? (QS al-Ankabut:10)

Itu sindiran yang keras. Pedas. Di ayat lain Allah juga menyitir; “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (keraguan), maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (murtad). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS al-Hajj:11)

Orang – orang dengan model seperti ini, adalah orang yang bermasalah dengan hatinya. Orang yang belum dewasa pemikirannya. Sebab saya teringat ketika umur belasan, seperti itulah kondisinya. Suka nggak terima. Nggak sabaran dan marah – marah sendiri. Padahal intinya caper – cari perhatian. Dari Ibu, Bapak dan saudara – saudara semuanya. Hal itu mengindikasikan ada penyakit di dalam hati. Harus segera diobati. Dihilangkan dengan banyak menyelami dan minum air kehidupan ini. Dan jangan dinyana, masih banyak jumlahnya orang – orang seperti itu di sekitar kita. Karena secara tak sadar, kita sendiri pun bisa termasuk di dalamnya. Kalau sedih seakan kiamat, kalau senang lupa daratan.

Secara sederhana, islam mengajarkan; kala sedih sabar dan istirja, dan kala senang juga sabar tapi harus syukur. Ilmu yang gampang tapi susah dipraktekkan. Ilmu yang simpel, tetapi dalem. Dan perlu waktu yang lama untuk bisa mengaplikasikan dengan benar pada setiap sendi-sendi kehidupan ini. Apalagi bagi kita yang tidak pernah merasa menderita sepanjang hidupnya. Maksudnya, lahir dari keluarga kaya, hidup di lingkungan orang kaya dan selalu berkumpul dengan orang – orang kaya yang selalu tercukupi kebutuhannya. Nlisir, orang bilang. Padahal pada hakikinya semua mengalami pahit – getir, suka – duka dan naik – turun kehidupan ini dengan kadar masing – masing derajatnya. Tak sama antara satu dan lainnya. Atas kuasaNya, tak bisa saling melihatnya. Maka, orang Jawa bilang; urip iku sawang – sinawang. Hidup itu cuma berdasarkan pandangan, yang membujuk. Kita melihat para dokter itu lebih enak daripada jadi guru. Padahal para guru melihat, jadi dokter itu lebih enak. Dan para dokter sendiri bilang, jadi arsitek itu lebih enak, dan sebagainya dan sebagainya. Muter. Mbules. Satu hal yang patut jadi andalan dalam menghadapi kehidupan ini adalah banyak syukur. Dengannya kita bisa menindih hal – hal negative yang lain. Dan salah satu cara mengepolkan syukur adalah mencari jalan syukur, yang berserak di puing – puing kehidupan sekitar kita.

Setelah banyak kemunduran yang ia alami dalam hidupnya itu, seorang teman memutuskan untuk menarik nafas sejenak dan mengikuti tur ke India. Ia mengatakan bahwa di India, ia melihat tepat di depan matanya sendiri bagaimana seorang ibu MEMOTONG tangan kanan anaknya sendiri dengan sebuah golok!! Kita akan bertanya-tanya, kenapa ibu itu begitu tega melakukan hal itu? Apa anaknya itu mencuri, 'so naughty' atau tangannya itu terkena suatu penyakit sampai harus dipotong? Ternyata tidak..!!! Semua itu dilakukan sang ibu hanya agar anaknya dapat..MENGEMIS...!! Ibu itu sengaja menyebabkan anaknya cacat agar dikasihani orang-orang saat mengemis di jalanan nanti! Masya Allah.

Kemudian ketika ia sedang berjalan-jalan sambil memakan sepotong roti, ia tidak sengaja menjatuhkan potongan kecil dari roti yang ia makan itu ke tanah. Dalam sekejap mata, segerombolan anak kira-kira 6 orang anak sudah mengerubungi potongan kecil dari roti yang sudah kotor itu... mereka berebutan untuk memakannya!! Terkejut dengan apa yang baru saja ia alami, kemudian sahabatku itu menyuruh guidenya untuk mengantarkannya ke toko roti terdekat. Ia menemukan 2 toko roti dan kemudian membeli semua roti yang ada di kedua toko itu! Pemilik toko sampai kebingungan, tetapi ia bersedia menjual semua rotinya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendapatkan imbalan yang sungguh tak ternilai harganya, yaitu kebahagiaan dan rasa hormat dari orang-orang yang kurang beruntung ini!! Ia pun mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa beruntungnya ia masih mempunyai tubuh yang sempurna, pekerjaan yang baik, juga keluarga yang hangat. Juga untuk setiap kesempatan dimana ia masih dapat berkomentar mana makanan yang enak, mempunyai kesempatan untuk berpakaian rapi, punya begitu banyak hal dimana orang-orang yang ada di hadapannya ini amat kekurangan!!

Sedulur, banyak hal yang sudah kita alami dalam menjalani kehidupan kita selama ini, sudahkah kita berusaha terus mengepolkan syukur ??? Apakah kita hanya banyak mengeluh saja dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang sudah kita miliki? Ingatlah; Dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran itu.” (QS az-Zumar:7)

Esai Kehidupan3

Apakah ada di dunia ini yang lebih berarti daripada kebahagiaan? Semua orang pengin bahagia. Kepada kedua mempelai yang baru menikah, kita ucapkan semoga berbahagia. Pada proses kelahiran, kita juga sering berujar semoga anaknya hidup bahagia dunia dan akhirat. Dalam setiap kesempatan kita berdoa juga memohon kebahagiaan dunia wal akhirot. Doa sapu jagat. Semua orang nggak mau susah. Semua ingin bahagia. Semua orang mencarinya. Bahkan setiap orang rela berusaha siang – malam dan banting - tulang untuk meraihnya. Nggak kenal waktu. Nggak kenal lelah. Nggak ada kata menyerah. Bahkan sampai ada yang lupa diri. Apa sebenarnya yang dicari? Itukah kebahagiaan? Dimanakah ia?

Tapi, kadang semakin keras berusaha mendapatkannya, yang terjadi malah semakin menjauh. Semakin dikejar, semakin lari kencang. Semakin dipuji, semakin meninggi. Semakin dalam menyelam, semakin dalam tenggelam. Kebahagiaan yang didambakan, tak kunjung mendekat. Bagai pungguk merindukan bulan. Dan, darinya banyak cerita yang berujung duka, lantaran tak kunjung meraihnya. Frustasi. Kebahagiaan seolah barang super mahal, sesuatu yang susah didapatkan. Benarkah?

Dari Fadhalah bin Ubaid, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang diberi hidayah kepada islam dan kehidupannya cukup (tidak meminta – minta) dan menerima (nrimo – qona’ah dengan yang ada).” (Rowahu Tirmidzi – hadits hasan shohih)

Dari Abdullah bin Amr, bahwasanya rasulullah SAW bersabda, “Sungguh beruntung orang yang memeluk islam kemudian diberi rejeki yang cukup dan Allah menganugerahkan sifat qonaah (nerimo) dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (Rowahu Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kata mentor saya, Pak Haji Fauzan Luthfi, kata kunci hadist di atas adalah qona’ah – menerima. Dan menerima adalah perbuatan hati bukan? Setiap orang punya hati. Allah memberi hati kepada setiap diri. Dengannya orang bisa menjadi bahagia. Maka, jika kita ingin mencari kebahagiaan, perbaikilah hati. Poleslah, agar benar – benar kita tahu dan kenal dengan hati kita sendiri. Sebab perjalanan terberat dan terjauh adalah perjalanan masuk ke dalam diri sendiri.

Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari sebuah jarum yang hilang. Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tetapi selama sejam penuh mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.

Tetangganya pun bertanya, "Sebenarnya jarumnya jatuh dimana?"
"Jarumnya jatuh di dalam rumah," jawab Nasruddin.

"Kalau jarum jatuhnya di dalam, kenapa mencarinya di luar?" tanya tetangganya.
Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, "Karena di dalam gelap, di luar terang."

Begitulah, gambaran perjalanan kita mencari kebahagiaan dan keindahan. Sering kali kita salah arah, salah tempat. Banyak orang yang mencari kebahagian tetapi salah alamat. Kebanyakan orang mencarinya di luar. Banyak orang yang mencari kebahagiaan di luar obyek yang sebenarnya. Alhasil pencarian itu tidak mendapatkan apa-apa. Nihil. Gatot alias gagal total. Sebenarnya daerah tergelap dan terdalam dalam mencari kebahagiaan dan keindahan, adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak 'sumur' kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga mencarinya jauh-jauh, karena 'sumur' itu berada di dalam diri semua orang. Tetapi karena alasan ’gelap’, banyak orang meninggalkannya. Padahal sejatinya, setiap orang tinggal mengeksplorasi dan mengekspresikan apa yang di dalam diri masing – masing untuk menjadi bahagia. Tinggal membelokkan pencarian yang sekarang berorientasi keluar, menjadi mencari ke dalam diri masing – masing.

Jadi, untuk memulai perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan, mulailah mengenali diri sendiri, potensi dan indahnya karunia Alah yang telah diberikan kepada kita semua ini. Orientasi kedalam, bukan keluar. Berprinsip menerima, bukan grangsang (rakus). Yang dalam bahasa keimanan adalah penerapan syukur yang sebenar – benarnya.

Esai kehidupan4

Terlepas dari benar tidaknya perkara KPK yang tengah hangat di sekitar kita, ada satu poin penting yang perlu menjadi perhatian kita bersama yaitu jejaring syaitan. Dalam hadits disebutkan bahwa wanita adalah jaring – jaring syetan, ketika keluar, syaitan selalu menghias dan memuliakan wanita sehingga menarik perhatian lawan jenisnya. Kalau sekarang banyak wanita yang protes dengan keadaan tersebut, itu wajar dan syah – syah saja, karena Aisyah dulu pun sudah melakukannya. Kurang lebih dia berkata begini, ”Udah tahu wanita itu syaitan yang diciptakan untuk lelaki, tetapi kenapa juga masih berusaha mendekati.”

Nah, suatu waktu, Nasruddin Hoja berjalan – jalan bersama istri tercintanya. Sebagaimana biasa, begitu melihat wanita cantik, ia pun melirik. Sadar akan hal itu, istri Nasruddin Hoja protes, ”Itulah kerugian laki – laki, selalu merasa wanita lain lebih cantik dari istrinya.”

Merasa dirinya terpojok, Nasruddin Hoja tidak mau kalah, ”Malah terbalik, di situlah letak keberuntungan laki – laki. Selalu sadar akan perlunya mengagumi keindahan. Bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan?”

Entahlah, yang jelas demikianlah manusia zaman ini suka dipermainkan oleh pikirannya. Padahal syetan yang menungganginya. Cirinya sederhana, selalu mencari – cari alasan agar keinginan, hawa nafsu, dan perubahan memperoleh pembenaran. Dan lebih hebat lagi, tatkala alasan – alasan ini ketemu, ada yang meng-claim diri objektif, alias bebas dari kepentingan serta vested interest. Padahal kanjeng Nabi sudah wanti – wanti, bahwa fitnah terbesar umat ini adalah wanita.

Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi, maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat, maka takutlah terhadap (fitnah) dunia dan takutlah terhadap (fitnah) wanita (karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Isroil adalah karena fitnah kaum wanita)” (Rowahu Muslim Hadits no 2742, Ahmad 3/22, at-Tirmidzi no 2192 dan Nasa’i)

Diriwayatkan pula oleh An-Nasai dengan tambahan, ”Tidaklah aku tinggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada (fitnah) wanita.” (Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhori dari Usamah bin Zaid)

Seribu macam alasan pembenaran bisa diperoleh. Sejuta alasan bisa ditemukan. Namun itu masih bersifat sepihak. Jelas – jelas sudah banyak contohnya, kalau salah memperlakukan seorang wanita hidup bisa berantakan. Urusan bisa jadi runyam, gara – gara tidak bisa mendudukkan posisi wanita sebagaimana porsinya. Sebab selain sebagai fitnah, wanita juga sebagai sebaik – baik perhiasan dunia yaitu mar’atus sholihah. Dua sisi ini harus diperlakukan sesuai matra dan waktunya. Salah situasi dan kondisi, adalah bom waktu yang siap meledak setiap saat. Wanita tidak boleh dijauhi, juga tidak boleh diakrabi, kecuali dengan pakem yang jelas.

Salah satu resep yang dianjurkan oleh Nabi SAW adalah menikah. Karena dengan menikah berarti telah terjaga setengah dari agama kita. Jika dipandang perlu, Nabi SAW mencontohkan dengan poligami atau wayuh. Akan tetapi, tetap saja perselingkuhan bisa terjadi kepada siapa saja. Kapan saja dan menimpa siapa saja. Sekali pun dia sudah wayuh. Itu belum jaminan terhindar dari fitnah wanita. Sebab masih ada setengah yang lain yang perlu dijaga. Di situlah kesempatan syaitan masuk. Nah, yang terpenting dalam prinsip menikah yaitu menikahlah dengan orang yang kau cintai. Tidak penting dia cantik, tinggi, pendek, gemuk atau kurus. Yang penting kita cinta dia. Setelah itu, cintailah orang yang kau nikahi. Kenali, sayangi, hormati dan gembirakan – syukuri -, sehingga kita temukan betapa mulianya makhluk yang diciptakan Allah sebagai pasangan hidup kita ini.

Dengan memuliakan pasangan hidup kita, berarti kita memuliakan diri sendiri. Dan memuliakan diri sendiri adalah jalan masuk untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, sebagaimana orang jawa bilang; garwo – sigaraning nyowo – yaitu belahan jiwa. Seseorang yang rela bekerja sama dengan kita untuk menjaga diri, menghindari pelanggaran – pelanggaran dan untuk beribadah meraih surga bersama – sama.

Ketika kita bisa melalui tahap kedua ini – cintailah orang yang kau nikahi -, kita pasti tersadar apa maksud nasehat perkawinan tempo dulu yang sering berkumandang dengan lantang: pokok bolong. Namun, perkembangan peradaban telah mengikis patron itu. Orientasi kita bergeser karena adanya banyak pilihan. Namun sejatinya, pokok bolong itulah yang utama dalam perkawian. Apalagi kalau mati lampu. Pett...!!!

Esai Kehidupan5

Betapa pentingnya menjaga hati dan pikiran. Terlebih terkait dengan menjaga keimanan. Walaupun letaknya di dalam, hati dan pikiran kita dipengaruhi oleh sekitar. Pengaruh – pengaruh itu masuk melalui panca indera. Kita tidak bisa menghalangi masuknya pengaruh, rangsangan atau stimulus itu, karena memang kita hidup bermasyarakat. Kita hidup beradab, bergaul dengan sekeliling kita. Hanya yang perlu dijaga adalah bagaimana kita bisa merespon stimulus itu menjadi hal yang baik dan baik selalu. Oleh karena itu, perlu mempunyai kualitas hati yang nyegoro, pikiran yang wening untuk mendapatkan buah pemahaman yang berkualitas, pengertian yang luas dan hikmah yang mendalam.

Dalam Surat Hujurat ayat 12, Allah mengingatkan agar tidak banyak prasangka. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Kemudian Kanjeng Nabi SAW selalu mengingatkan kita untuk menjaga prasangka atau dhon. Rasulullah SAW bersabda, “Takutlah kalian dengan persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu cerita dusta (akdzabul hadiits”. (Rowahu Bukhory fi Adabil Mufrad dari Abu Huroiroh). Hindari persangkaan jelek – su’udhon - dan kembangkan persangkaan baik alias husnudhon billah. Karena prasangka inilah salah satu buah dari respon kita terhadap rangsangan atau pengaruh dari luar itu, setelah disaring dan dicerna oleh pikiran dan hati kita. Bagaimana cara kerjanya? Untuk membantu mendapatkan pemahamannya simaklah lelucon berikut.

Pada suatu malam yang suntuk di rumah sakit bersalin, ada beberapa bapak muda dengan wajah lesu, panik dan layu menunggui isterinya yang sedang melahirkan. Dalam suasana sepi penuh penantian, tiba-tiba keluar dari pintu seorang dokter dengan senyum yang menawan. Sambil menyalami salah seorang bapak, dokter ini berucap : "Selamat, anak Anda kembar dua". Seperti sudah tahu sebelumnya, bapak tadi berucap datar; "Saya sudah tahu dokter, karena telah lama saya bekerja di dua kelinci".

Empat puluh lima menit kemudian, dokter yang sama keluar lagi lengkap dengan senyumnya yang khas. Kali ini yang disalami seorang bapak yang lain: ‘Anda hebat, anak Anda kembar tiga". Mirip dengan bapak yang pertama tadi, iapun hanya berucap datar; "Saya juga sudah ramalkan dokter, karena sejak dulu saya bekerja di tiga roda".

Satu jam setelah kejadian terakhir, keluar lagi dokter yang peramah ini. Kali ini ia senyum penuh keheranan. Sambil menyalami bapak yang lain, ia berucap kagum; ‘Anda paling hebat, anak Anda kembar empat !". Tanpa ada tanda-tanda kejadian ini disutradarai manusia, bapak yang memiliki anak kembar empat ini juga hanya menjawab biasa-biasa saja; "Saya sudah duga dari dulu dokter, karena saya bekerja di empat sekawan".

Setelah mendengar dialog antara dokter dengan suami-suami pasien ini, tiba-tiba saja dari bangku sebelah seorang bapak jatuh pingsan. Gubrakkk…!!!! Dan repotlah semua pihak dibuatnya. Setelah tidak sadarkan diri selama beberapa jam, dan membuat banyak orang khawatir dan bertanya - tanya, tiba-tiba ia sadar dan langsung bertanya pada dokter yang ramah tadi; "Nasib isteri saya bagaimana dokter, sebab saya bekerja lama di Auto 2000?".

Anda boleh tertawa sebanyak-banyaknya, sebelum tertawa itu dilarang. Lebih banyak Anda tertawa lebih bagus, asal jangan kebablasan: tertawa sendirian. Namun, akan lebih baik lagi jika bisa menangkap esensi lelucon di atas, yaitu tentang kedunguan hati dan kepicikan pikiran sebagai jembatan pemahaman untuk mendapatkan pengertian dalam hidup ini. Berbeda dengan jembatan yang sebenarnya yang menyeberangkan siapa saja dari satu tempat ke tempat lain, dari seberang yang satu ke seberang yang lain tanpa perlu melakukan pemerkosaan, hati dan pikiran kadang menyeberangkan manusia dari satu pengertian ke pengertian lain lengkap dengan pemerkosaannya. Setiap kali menerima pengaruh, rangsangan, stimulus, serta masukan dari luar melalui panca indera, hati dan pikiran sebagai jembatan akan merespon sesuai dengan kondisi kualitasnya. Maka sering kita diingatkan jangan sampai hatinya malang (melintang). Selain tidak akan berfungsi untuk menyeberang, tentu hasil pemahamannya akan bertolak belakang. Contoh kecil seperti wanita yang pernah disakiti secara mendalam oleh lelaki, jembatan hati dan pikirannya kemudian menyetempel kalau laki – laki itu jelek, maaf - bajingan. Akhirnya setiap lelaki yang mendekat selalu dicap dengan stempel yang sama.

Kondisi hati dan pikiran ditentukan oleh stimulus - stimulus yang masuk sebelumnya, kemudian bersarang – ngendon - dan berkuasa di dalamnya. Karena proses dan lamanya waktu, kualitas lingkungan sangat berpengaruh besar terhadap warna hati dan pikiran tiap – tiap diri manusia. Kalau sebelumnya hati dan pikiran hidup di dalam alam yang baik dan lingkungan yang putih, maka setiap rangsangan yang datang baik hitam maupun putih, kemudian melewati hati dan pikiran yang jernih itu, maka hasil pemahamannya – respon yang keluar juga akan putih. Sebaliknya, jika hati dan pikiran hidup di dalam alam yang jelek dan lingkungan yang hitam, maka setiap rangsangan yang datang baik hitam maupun putih, kemudian melewati hati dan pikiran yang gelap tadi, maka hasil pemahamannya akan hitam semua. Serupa dengan lelucon di atas, ada banyak sekali manusia yang pikiran dan mind-nya tidak menjadi jembatan pengertian, sebaliknya malah menjadi penghalang untuk mendapatkan pengertian – pengertian hidup yang sebenarnya.

Jadi, sekarang kita bisa memahami bahwa perintah Allah dan Rasulnya agar kita menjaga dhon, tak lain adalah untuk mengkritisi kualitas hati dan pikiran kita, apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya seperti jembatan atau masih banyak kotorannya yang suka memperkosa setiap stimulus yang datang. Segera bersihkanlah. Dan satu lagi, kalau menyeberang jembatan lihatlah tujuan Anda jangan terpengaruh dengan sungainya. O la la,,,,,,,,,,!

Esai Kehidupan

Kalau kita cermati, hidup itu ternyata banyak tergantung pada masalah sikap. Artinya bagaimana kita menyikapi segala sesuatu yang berada dan datang kepada kita. Kalau kita menyikapi dengan posistif, maka positiflah hasilnya. Sebaliknya kalau kita menyikapi dengan negatif, maka negatiflah hasilnya. Para pakar leadership sering menyebutnya dengan respon. Bahasa mbah mannya persangkaan sebagaimana disebutkan, dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirmah: Ana indza dhonni abdi bihi – Aku di sisi persangkaan hambaku dengan sikap itu.

Masalahnya, bagaimana kalau ternyata kenyataan tidak sesuai dengan keinginan kita? Kita membayangkan ketemu yang baik, kita sudah setting up mind kita dengan hal yang baik, ternyata malah ketemu yang menyulitkan. Ketemu dengan yang jelek, lagi membuat stress. Di luar dugaan. Disinilah letaknya tuntutan mempunyai kepandaian hati dan pikiran untuk membuat pembanding, sebagai respon atas situasi yang ada dan melanjutkan bibit sikap positif - husnudhon kita yang sudah kita tanam dari awal. Jangan malah membuat situasi layu sebelum berkembang. Sebab modal kita sudah positif. Situasi tak terduga merupakan pupuk husnudhon billah kita. Dengannya kita bisa tampil beda, maka akan lebih berdaya menghadapi manisnya hidup di dunia ini.

Ada bermacam cara respon yang diberikan terhadap situasi di atas. Namun ada satu hal yang paling mujarab guna menghadapinya, yaitu kelihaian mengambil pembanding yang tepat – nandes - agar hati dan pikiran kita terjaga, hidup diliputi sikap yang positif terus, serta benih husnudhon berkembang berbuah dan situasi menjadi terkendali. Artinya hidup kita selalu hasanah, selalu bahagia, yang kita nikamti setiap waktu. Tanpa terpengaruh situasi sekitar di luar diri kita. Salah mengambil pembanding, berbahaya akibatnya. Ingatlah falsafah untungnya wong jowo. Ketika terjadi suatu kecelakaan terus korbannya meninggal, sebagai ungkapan baiknya mereka bilang; untung mati, mungkin kalau hidup pasti nyusahin yang masih hidup dan cacat seumur – umur. Misal korban hidup, mereka juga berteriak untung. Katanya, untung gak mati, kalau mati panjang urusannya. Nyawa nggak ada yang jual. Pasti repot ngurus sana, ngurus sini. Jadi semua disikapi dengan hal yang positif – husnudhon – mental bersyukur yang dahsyat. Dunia tidak tersisa, kecuali baiknya.

Suatu hari, Nasrudin lari terbirit-birit menemui gurunya. Begitu bersua dengannya, dengan napas tersengal - sengal dan tanpa permisi ia langsung nerocos minta tolong; ”Tolong Guru, tolonglah saya. Rumah saya jadi neraka. Ada isteri cerewet, mertua yang banyak maunya, putera – puteri yang ribut serta sepupu – sepupu yang lari kesana – kemari. Apa pun yang Guru sarankan saya berjanji akan saya lakukan, asal nerakanya hilang, surganya datang”.

Yakin Nasrudin akan memenuhi janjinya, Gurunya pun bertanya; ”Apakah kamu punya binatang piaraan?”. Dengan satu tarikan nafas yang dalam Nasrudin menyebut ada tiga angsa, empat itik, lima bebek, enam ayam, tujuh kambing, delapan kelinci serta sembilan burung. Karena itu, sang Guru menyuruh Nasrudin memasukkan semua binatang piaraan itu ke dalam rumah. Dan juga semua manusia harus berada di dalam rumah, kemudian tutup pintu dan jendela rapat – rapat. Selama sebelas hari tidak boleh ada satu pun yang keluar dari rumah, baik itu manusia maupun binatang.

”Tapi, tapi, tapi.....”, sahut Nasrudin dengan nada gugup. Dengan sigap gurunya menjawab; ”Jangan lupa, tadi kamu sudah berjanji”. Dan terpaksalah Nasrudin kembali ke rumah untuk melaksanakan perintah Gurunya dalam rangka mendapatkan surga di rumahnya.

Sebelas hari kemudian, Nasrudin datang dengan langkah jauh lebih kacau dan lebih amburadul dari sebelumnya. Muka ditekuk dan langakah diseret. ”Tolong Guru, tolong, jangankan manusia, bahkan kambing pun sudah hampir gila sebelas hari terkurung di dalam rumah”. Dengan tersenyum bijaksana Gurunya berucap; ”Sekarang keluarkan semua binatang piaraan itu. Ajaklah semua anngota keluarga bergotong – royong dengan penuh kegembiraan. Bersihkan dan bereskan rumah kalian bersama - sama”.

Beberapa waktu kemudian selesai melaksanakan perintah Gurunya untuk bersih – bersih, Nasrudin mendatangi rumah Gurunya dengan wajah damai, tenang dan ceria. Dengan penuh keheningan dia berkata; ”Terima kasih Guru, sekarang rumahnya sudah jadi surga”.

Cerita di atas adalah gambaran bagaimana menyikapi kehidupan dengan mengambil pembanding yang tepat agar mendapatkan manfaat yang besar yaitu kebahagiaan karenanya. Dalam kata lain - mendapatkan surga dunia. Manusia dari dulu selalu punya masalah yang pelik dan susah, sehingga sebuah kehidupan, rumah tangga misalnya, bisa berubah menjadi neraka dunia bagi penghuninya. Untuk membuatnya jadi surga perlu pembanding, yang pada akhirnya bisa merubah sikap dari negatif ke positif. Kalau yang menjadi ukuran itu serba ke atas, lebih kaya, lebih cantik, lebih gagah, lebih tinggi, lebih terkenal, lebih bijaksana, dll, maka kunci surga kebahagiaan tak akan pernah terbuka. Bahkan semakin terkunci rapat. Akan tetapi jika, pembandingnya itu yang serba ke bawah, lebih rendah, maka pintu – pintu kebahagiaan dengan sendirinya terbuka lebar. Dalam lelucon di atas, untuk membuka pintu kesadaran manusia dipersamakan dengan hewan piaraan. Inilah maksud mengambil pembanding itu.

Salah satu resep yang diberikan Rasulullah SAW dalam masalah dunia adalah lihatlah kepada orang yang lebih bawah, jangan melihat orang yang lebih atas. Namun banyak orang yang sulit untuk hanya sekedar menundukkan kepala, melihat ke bawah. Mungkin karena kepala letaknya ada di atas. Bayangkan seandainya kepala itu ada di bawah, tentu tidak susah bagi kita untuk melihat ke bawah. Sayang yang ada di bawah hanya mata kaki, yang tidak bisa melihat apa – apa lagi.

Jadi, kalau kita bisa sabar dan banyak syukur dalam hidup ini, maka surga kebahagiaan dunia yang tampak. Sebaliknya jika, kita selalu mengeluh dan merasa kurang terus, maka tampaklah neraka dunia sepanjang mata memandang dan kepala berpaling. Nah, jika situasi terakhir ini yang terjadi, apa bedanya manuisa dengan binatang...? Pertanyaan yang tak perlu dijawab.